Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Pepatah kuno mengatakan “Bagai kulit dan isi” yang men-jelaskan harmonisasi kehidupan dan saling menjaga. Tipikal ini perlu dipelihara dan dimiliki secara bijak. Ada pula “Bagai kacang lupa kulitnya” yang menjelaskan sifat manusia yang lupa asal usul, lupa diri, lupa balas budi, atau varian lainnya. Tipikal ini jangan sampai diberi kepercayaan dan kesempat-an kedua kali. Sebab, ia “bagai menolong anjing terjepit”. Kebaikan yang diberikan justeru ketika telah diperoleh akan balik menyusahkan orang yang telah membantunya. Semua akan terlihat ketika Allah membukanya. Untuk itu, pepatah Melayu mengingatkan “Buka Kulit, Tampak Isi” (terbuka sisi lahiriyah akan terlihat sisi batiniyah). Apatahlagi bila Allah yang membuka sifat asli manusia, maka tak ada yang sanggup menutupinya. Semua akan terlihat nyata sesuatu yang tampak di luar (kulit), belum tentu menunjukkan isi (hati) sebenarnya yang selama ini diperlihatkan, baik sisi positif maupun negatif.
Meski pepatah kuno, namun masih relevan sepanjang masa. Pepatah yang mengakar dengan ajaran Islam yang menekan-kan harmonisasi jasmani dan rohani, dunia dan akhirat.
Makna kata “kulit” merupakan simbol aktivitas lahir yang nampak, baik perkataan, perbuatan, atau ketetapan yang dilakukan. Sedangkan “isi” merupakan simbol kualitas rohani yang tersembunyi pada setiap diri berupa keikhlasan atau kemunafikan, bijak dan arif atau mudah menerima informasi tanpa koreksi, korelasi kata dengan hati atau kata seakan bijak tapi menyimpan hati yang busuk, atau varian lainnya. Sungguh, kebaikan yang ditampilkan lahiriyah seyogyanya berkorelasi dengan kebaikan yang tertanam dalam rohaniyah. Semua terlihat nyata atas apa yang dikatakan oleh lisan berkorelasi atau tidak atas apa yang tersimpan dalam hati (isi).
Dalam konteks di atas, seyogyanya kata dan hati (batin) berjalan seiring dan seimbang. Bahkan, Rasulullah menganjurkan agar manusia mampu memiliki batin lebih baik dari tampilan lahiriyah. Hal ini terlihat pada sabda Rasulullah SAW : Dari Aisyah RA, Rasulullah pernah bersabda “Orang yang paling dibenci oleh Allah adalah orang yang pakaiannya lebih baik daripada amalnya” (HR. ad-Dailami).
Pakaian pada hadis di atas bermakna majaz yaitu tampilan lahiriyah. Sedangkan amal merupakan tampilan batiniyah yang terimplementasi pada seluruh dimensi kehidupan. Jangan menjadikan “pakaian” sebatas asesoris yang menampilkan keshalehan, namun berbeda dengan amaliah diri yang justeru bergelimang kesalahan. Untuk itu, Rasulullah selalu memanjatkan doa : “Ya Allah, jadikanlah batinku lebih baik daripada lahirku, dan jadikanlah lahirku (dalam keadaan) baik pula” (HR. at-Tirmidzi).
Demikian sabda dan doa Rasulullah mengingatkan umatnya untuk mewaspadai lahir dan batin yang berseberangan. Sebab, kondisi ini akan menggelincirkan manusia dari sifat istiqomah dalam menjalankan ajaran yang dibawanya.
Namun, apa yang disabdakan Rasulullah dan pepatah di atas yang memiliki makna mendalam, seakan tak lagi banyak yang peduli, terutama manusia modern. Semua manusia memiliki peluang ditimpa “penyakit” yang membuatnya tergelincir. Hal ini diingatkan Rasulullah SAW melalui sabdanya : “Ingatlah, dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Kalau segumpal daging itu baik, maka akan baiklah seluruh tubuhnya. Tetapi, bila rusak, niscaya aka rusak pula seluruh tubuhnya. Segumpal daging itu bernama qolbu” (HR Bukhari dan Muslim).
Hadis di atas mengingatkan, tak ada jaminan antara “kulit dan isi” berkorelasi. Hal ini bisa menimpa pada semua manusia tak terkecuali para ulama, kaum intelektual, penguasa, atau yang berasal dari keturunan (zuriyat) terpandang. Sebab, Allah tak bisa ditipu dan berkuasa membuka “kulit dan isi”. Semua menjadi pelajaran bagi hamba untuk meraih keutamaan diri. Manusia hanya berikhtiar dan bermunajat agak kulit dan isi diri senantiasa berkorelasi untuk kebaikan sesuai yang difirmankan-Nya.
Ada beberapa dimensi “Buka Kulit Tampak Isi” pada pepatah kuno ini bila dilihat pada fenomena buah-buahan, yaitu :
Pertama, Kulit yang mulus dan isi yang manis akan memberikan kenikmatan dan menyehatkan. Kulit mulus bersih seiring hati yang tulus dan ikhlas. Tampilan lahiriyah bersih yang berkorelasi dengan batiniyah yang suci. Dalam konteks yang sederhana, tampilan kata yang dimunculkan berkorelasi pada karakter dan ihsan diri yang terjaga. Korelasi keduanya merupakan tampilan ideal yang sepatutnya terjaga dan dimiliki setiap manusia.
Kedua, Kulit yang terlihat jelek, tapi menyimpan isi yang putih bersih dan manis. Bagai buah manggis yang kulitnya hitam, tapi isinya putih dan lezat. Jangan terlena atau tertipu dengan sisi lahiriyah. Mungkin, tampilan bagus dan kata bijak, namun tersisa noda pada hatinya. Atau pada pemilik pakaian yang sederhana dianggap sepele dan rendah. Namun, dalam pakaian yang sederhana dan kedudukan yang rendah, tersimpan kualitas diri yang anggun dan tinggi (mulia). Firman Allah : “Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah pula kamu bersedih hati, padahal kamulah orang orang yang paling tinggi derajatnya jika kamu beriman” (QS. Ali Imran: 139).
Demikian jelas janji Allah atas firman-Nya. Tampilan sederhana yang mungkin dianggap rendah oleh manusia, sesungguhnya menyimpan gemerlap intan yang bercahaya menyinari alam semesta. Sosok manusia seperti ini akan memperoleh kemuliaan di sisi Allah SWT.
Ketiga, Kulit yang terlihat mulus dan bersih, tapi isi yang busuk berulat dan masam. Tipikal ini acapkali menjadi trend yang dipilih manusia. Asesoris diri dengan pakaian dan kedudukan (konon mulia) ternyata bertolak belakang dengan isi (karakter) diri yang sebenarnya. Pakaian yang mahal, namun dipakai oleh diri yang berkualitas murahan. Kedudukan tinggi, namun memiliki hakikat diri yang rendahan. Lahiriyah yang indah sengaja disepuh agar anggun untuk menutupi watak asli yang membusuk. Tipikal ini akan memperoleh penghormatan manusia dengan kualitas semu. Bila asesoris lahiriyah tak lagi dimiliki, maka akan terlihat berpalingnya mereka yang memuja. Tipikal ini hadir pada kaum pemilik “frekuensi yang sama” dan dipertemukan-Nya pada karakter yang sama pula. Tipikal ini merupakan kaum “munafik”, ambisius, ingin dipuja, dan pemilik tipu daya.
Meski demikian nyata terlihat dan benar janji Allah, namun manusia acapkali mudah tertipu dan suka ditipu oleh tampilan kulit, tanpa peduli isi. Akibatnya, manusia lebih fokus pada upaya mempercantik “kulit” agar dimuliakan. Mereka tak peduli atas “isi” yang dimiliki. Sebab, ia faham bahwa manusia akan melihat dan memuliakannya ketika mampu menampilkan “kulit” yang anggun. Apatahlagi bila tampilan “kulit” yang dimiliki dihias gemerlap asesoris duniawi (kekayaan, kuasa, titel, tampilan amal, atau keturunan). Masalah “isi” yang dimiliki masam, busuk, atau beracun tak lagi jadi persoalan. Semua bisa dipoles oleh “kulit” yang menawan.
Keempat, Kulit yang jelek, seiring isinya yang busuk dan berulat yang sama sekali tak bisa memberi manfaat. Tipikal ini merupakan kelompok yang hina. Lahiriyah yang kotor dengan kualitas karakter yang busuk.
Bila kulit dan isi dikaji dalam konteks keimanan vertikal terhadap dinamika wujud watak manusia secara horizontal, maka akan terlihat beberapa dimensi, yaitu : (1) Dimensi positif. Semakin dibuka sisi lahiriyah, semakin terlihat kualitas isi batinnya yang bersimpuh pada Allah dengan mengikut akhlak Rasulullah. (2) Dimensi negatif. Semakin dibuka Allah sisi lahiriyah yang terlihat seakan baik dan ikhlas, namun akan terlihat berbeda dengan sisi batinnya (berkualitas rendah) dan berseberangan dengan tampilan lahiriyahnya. (3) Dimensi ujian. Semakin dibuka sisi lahiriyah, semakin terlihat keikhlasan batinnya. Namun, Allah ingin menguji kualitas dan istiqomah yang dimiliki hamba akibat “sedebu kesalahan” yang dilakukan. Hal ini terlihat pada kisah Juraid sang ahli ibadah. (4) Dimensi hinaan. Semakin dibuka sisi lahiriyahnya yang ditutupi, semakin terbuka kebusukan batin yang disembunyikan. Hal ini terjadi pada sosok Qobil dan Kan’an (zuriat atau keturunan), Hamman (intelektual), Qorun (kekayaan materi), Fir’aun (kuasa), dan lainnya. Manusia acapkali tak mampu menutup karakter negatif justeru tatkala memperoleh “kelebihan” (nikmat). Dengan nikmat yang diperoleh, semakin terbuka karakter diri yang sebenarnya. Apa yang dimiliki digunakan untuk mem-perkuat kepentingan diri, bukan untuk kemaslahatan. Semua tergelincir atas apa yang dimiliki. Akibatnya, kebusukan dimensi lahiriyah dan batiniyahnya membuat semua yang dimiliki tak memberikan manfaat kebaikan, tapi justeru membawa mafsadah bagi diri dan alam semesta.
Meski semua manusia bergegas memperbaiki dimensi lahiriyah, namun acapkali lupa memperbaiki dimensi batiniyah. Atau, pada sisi lain terlalu menghumbar kebaikan dan kehebatan dimensi lahiriyah, sehingga lupa menjaga pondasi dan kesucian dimensi batiniyah. Akibatnya, dimensi batiniyah mengalami “sakit dan kurang gizi”. Sebab, dimensi lahiriyah yang “keasyikan pujian” membuatnya lupa mengawal batiniyah. Dimensi lahiriyah yang demikian sekilas mampu menutup jiwa yang tak sehat. Tapi, janji Allah untuk memperlihatkan sisi batin yang tak terjaga pada manusia yang ta’asub pada lahiriyah akan diperlihatkan pada waktu dan hamba yang dikehendaki-Nya.
Sungguh, manusia acapkali mudah tertipu oleh tampilan lahiriyah, sementara sisi batiniyah tak mampu istiqomah. Makna dimensi lahiriyah bisa dalam bentuk tampilan “pakaian”, moralitas, kekayaan, kehebatan, keilmuan, sampai ibadah. Hanya saja, semua sebatas asesoris yang tak membekas dan berkorelasi pada dimensi batiniyah yang lepas dari sifat tawadhu’ dan ihsan yang seyogyanya dijaga.
Sebab, Rasulullah mengingatkan melalui sabdanya : “Allah tidak mengarahkan pandangan-Nya ke arah fisikmu dan tidak pula melihat ke arah wujud rupamu, tetapi Allah melihat ke arah hati dan perbuatanmu” (HR. Muslim).
Hadis di atas bukan melarang manusia untuk menampilkan sisi lahiriyah yang baik, tapi perlu berkorelasi (bahkan lebih) pada kebaikan sisi batiniyah. Sebab, hal ini disenangi Allah dan Rasul-Nya. Meski manusia mampu menampilkan sisi lahiriyah yang anggun untuk memperoleh pujian sesama atas keshalehan dirinya, namun dihadapan Allah semuanya akan sia-sia. Hal ini dinyatakan Allah : “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan” (QS. Yasin : 65).
Tak ada lagi kuasa yang menutupi sisi diri dihadapan Allah. Tak ada lagi kepiawaian retorika, tak mampu lagi bersilat lidah, tak berlaku kesalehan untuk menutupi kesalahan, tak pula berguna silsilah keturunan yang dibanggakan. Semua sirna, kecuali hanya takwa dan keikhlasan yang dipersembah-kan pada Allah Yang Maha Kuasa.
Demikian mudah Allah membuka semua yang disembunyi-kan. Semua untuk menguji kualitas hamba dan pelajaran bagi yang lain. Jangan menilai diri paling baik dan mulia. Sebab, bisa jadi sebaliknya atau suatu ketika Allah palingkan menjadi kehinaan. Untuk itu, tak ada hak hamba membuka aib dan menilai sesama. Sebab, mungkin yang membuka lebih hina dibanding yang dibuka. Apatahlagi bila hal ini dilakukan atas dorongan “pundi-pundi” dan kepentingan duniawi. Allah mengingatkan secara tegas melalui firman-Nya : “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS. al-Hujurat : 12).
Demikian nyata ancaman Allah, maka Rasulullah mengingat-kan umatnya untuk menjaga diri atas aib yang dimiliki. Hal ini sesuai sabdanya :“Barangsiapa menutupi aib seorang Muslim, Allah akan menutupi aib orang tersebut di dunia dan akhirat” (HR. Ibnu Majah).
Hadis di atas secara logika mantiq, barangsiapa yang mem-buka aib saudaranya (muslim), maka Allah akan membuka aib dirinya di dunia dan akhirat. Janji Allah yang disampaikan Rasulullah merupakan kebenaran yang dapat dilihat secara nyata. Demikian banyak kaum yang membuka dan mencari-cari aib sesama, pada waktunya pasti Allah akan buka aib diri dan koleganya secara luas. Bahkan, aib yang dibuka Allah bersifat kolektivitas dan masif. Meski demikian nyata kebenaran janji Allah, namun manusia bersifat dan berprilaku jahiliyah selalu melupakannya. Bahkan, segelintirnya justeru membuka, mencari, dan “menciptakan” aib sesama menjadi profesi untuk memperoleh pundi-pundi duniawi. Sungguh demikian nyata keingkaran yang ditampilkan manusia atas ayat-ayat-Nya. Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesunguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” (QS. al-Ahzab : 58).
Begitu jelas Allah menyampaikan, namun pilihan manusia acapkali bertolak belakang dari apa yang difirmankan-Nya. Kata manis bagai diri tanpa dosa, namun pada sisi “isi” diri justeru akan terlihat demikian kotor dan bernajis. Semua disebabkan oleh kepentingan nafsu duniawi. Apatahlagi bila berselindung dengan asesoris seakan mengikut ajaran para nabi, tapi menjual dan menginjak-injak kebenaran Ilahi. Hal ini dinukilkan Allah melalui firman-Nya : “Sungguh, orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah (yaitu kitab) dan menjualnya dengan harga murah, mereka hanya menelan api neraka ke dalam perutnya dan Allah tidak akan menyapa mereka pada hari Kiamat, dan tidak akan menyucikan mereka. Mereka akan mendapat azab yang sangat pedih” (QS. al-Baqarah : 174).
Sungguh, bila Allah membuka “kulit” hamba, maka akan gamblang terlihat “isi” yang sebenarna. Sebaiknya, secara linier “kulit” mencerminkan “isi”. Meski tak selamanya “kulit” mampu menggambarkan “isi”. Untuk itu, jangan tertipu pada “kulit”, apatahlagi bila “kulit” yang dibangun bingkai riya’, ujub, kejahilan, dan penuh kepentingan. Semua pilihan pasti ada kosekuensinya. Tergantung kualitas setiap manusia mau memilih yang mana atas “kulit dan isi” yang dimiliki. Sebab, bila keikhlasan dan tawadhu’ tak dimiliki, maka pada waktunya Allah pasti akan membuka “kulit” dan tampaklah “isi” yang dimiliki selama ini. Bukan hanya aib diri, tapi bisa jadi aib kolektif pada wilayah yang luas. Semua sudah nyata menganga lebar, hanya kesadaran untuk berbuat baik yang sulit dihadirkan. Semua akibat dominasi kesombongan, khianat, iri hati, merasa paling benar, dan keserakahan yang menguasai diri.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 1 Mei 2023