Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Pada dimensi lain, kemisterian baitullah dapat dilihat pada aktivitas dhuyuf ar-rahman selama berada di haramain ketika melaksanakan ibadah haji, dan “bekasnya” akan terlihat setelah kembali ke tanah air. Sebab, ibadah dhuyuf ar-rahman di haramain terintegrasi dan saling berhubungan antara aspek jasmani dan rohani yang berbuah karakter diri. Hal ini disebabkan, antara lain :
Pertama, Haji merupakan rukun Islam kelima sebagai penyempurna rukun Islam. Hal ini merujuk pada sabda Rasulullah : “Dari Umar RA juga dia berkata : Ketika kami duduk-duduk di sisi Rasulullah SAW, suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah SAW) seraya berkata : “Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam ?”, maka bersabdalah Rasulullah SAW : “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Illah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji (jika mampu)“, kemudian dia berkata: “anda benar“. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenar-kan. Kemudian dia bertanya lagi: “Beritahukan aku tentang Iman”. Lalu beliau bersabda : “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk“, kemudian dia berkata: “anda benar“. Kemudian dia berkata lagi: “Beritahukan aku tentang ihsan“. Lalu beliau bersabda: “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau” . Kemudian dia berkata : “Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda: “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya“. Dia berkata: “Beritahukan aku tentang tanda-tandanya“, beliau bersabda: “Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya“, kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah SAW) bertanya: “Tahukah engkau siapa yang bertanya ?”. aku berkata: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui“. Beliau bersabda: “Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian” (HR. Muslim).
Merujuk hadis di atas, terlihat jelas bahwa ibadah haji diletakkan pada posisi kelima memiliki maksud dan rahasia tersendiri. Penyempurna pondasi ketika pondasi pertama sampai keempat kokoh dalam bangunan karakter hamba. Bagai lima tiang penyangga bangunan rumah, bila salah satu atau beberapa tiang belum kokoh atau “dimakan anai-anai” kesombongan, maka tiang kelima hanya sebatas ada, namun tak mampu memberi kekuatan untuk menopang bangunan rumah. Demikian halnya haji sebagai pondasi rukun Islam kelima untuk menyempurnakan kekuatan empat pondasi lainnya. Pondasi syahadat bukti keislaman seorang hamba. Pondasi shalat bukti telah duduk keimanan seorang hamba. Pondasi zakat bukti telah diraih mukhlis seorang hamba. Pondasi puasa bukti telah dicapai dimensi ketaqwaan seorang hamba. Ketika pondasi Islam, iman, ikhlas, dan taqwa menjadi pilar bangunan karakter diri, maka haji hadir menyempurnakan bukti keempat pondasi pada diri seorang hamba dengan kualitas ihsan. Kelima rukun Islam merupakan penjenjangan anak tangga raihan hamba menuju Allah. Tangga kelima (haji mabrur) tak akan diperoleh bila tangga taqwa tak diraih. Tangga taqwa tak mungkin diperoleh bila tangga ikhlas tak mampu dimiliki. Tangga ikhlas tak mungkin mampu dimiliki bila tangga iman yang kokoh. Sementara tangga iman tak mungkin kokoh bila tangga Islam tak tertanam secara baik.
Hamba yang memiliki Islam yang kokoh ditandai adabnya pada Allah dan Rasulullah sebagai pengejawantahan syahadatain. Tak ada yang dirindukan dan dibesarkan selain Allah. Tak ada diidolakan dan dijadi tauladan dalam seluruh dimensi kehidupan selain Rasulullah. Hamba yang memiliki kualitas mukmin senantiasa memberi kebaikan pada semua manusia dan makhluk ciptaan-Nya wujud bekas shalat yang didirikannya. Hamba yang memiliki kualitas ikhlas sadar untuk berbagi. Ia sadar rezeki yang dimiliki terselip rezeki yang dititipkan Allah pada makhluk-Nya sebagai wujud nyata ibadah zakat. Hamba yang bertakwa senantiasa menjaga Islam (syahadatain), iman(shalat), ikhlas (zakat), taqwa (puasa), dan seluruh sisi dirinya terhadap hal yang menjadi pembatas dirinya dan Allah. Hal ini dilakukan sebagaimana ia menjaga ibadah puasa dari hal yang mengurangi kesempurnaan apatahlagi hal yang membatalkan. Puncak kesempurnaan keempat karakter tersebut hadir dalam aktivitas haji sebagai “tamu yang benar-benar diundang-Nya” (muhsin), bukan tamu yang tanpa undangan-Nya.
Kedua, Melihat kebesaran Allah dan kebenaran ajaran Rasulullah SAW. Di antara bukti nyata kebesaran Allah, bangunan baitullah mampu menjadi daya dorong (magnet) seluruh umat Islam seantero dunia untuk hadir di baitullah. Semua status sosial, jauh atau dekat, berkendaraan atau berjalan, kaya atau miskin, tua atau muda, semua berkumpul di baitullah. Padahal, baitullah merupakan makhluk yang dimuliakan-Nya. Apatahlagi bila mampu menghadirkan diri “bertemu” dengan Zat Yang Maha Agung yang menciptakan baitullah. Kebesaran Allah acapkali terlihat pada jamaah yang menjadi tamu-Nya. Ada kalanya yang sehat sebelum berangkat justeru sakit selama di haramain. Atau sebaliknya jamaah yang menurut syariat kurang sehat justeru sehat dan kuat selama menjadi tamu-Nya. Demikian pula beberapa kejadian yang diperlihatkan Allah atas perilaku manusia selama di haramain. Acapkali terlihat bahwa selama di haramain, hamba acapkali memperoleh “bayaran tunai” oleh Allah atas perilaku dan niatnya yang tersembunyi. Semua bertujuan untuk memperlihatkan kekuasaan-Nya. Tujuannya agar hamba sadar dan menjadi i’tibar (pelajaran) bagi yang lain. Namun, acapkali apa yang terjadi tak membuat manusia sadar dan memperbaiki diri. Bahkan, semua yang dihadirkan Allah ditanggapi hanya sebatas bak “angin lalu” belaka.
Sementara dorongan ziarah di maqam Rasulullah SAW membangkitkan kerinduan dengan junjungan alam. Ketika ular saja ingin melihat Rasulullah ketika beliau bersama sayidina Abu Bakar bersembunyi di Jabal Tsur, apatahlagi manusia sebagai umatnya. Meski tak bisa melihat Rasulullah secara langsung karena berbeda waktu, namun melihat maqamnya saja telah mampu membangun kerinduan dan kebahagiaan seakan bertemu dengan Rasulullah. Mereka yang menikmati getaran ini merupakan umatnya yang beruntung. Hal ini merujuk pada sabda Rasulullah SAW : “…Beruntunglah mereka yang melihatku dan beriman kepadaku dan beruntung juga mereka yang beriman kepadaku sedangkan mereka tidak pernah melihatku” (HR. Muslim).
Kebesaran Allah dan kebenaran ajaran Rasulullah semakin tertanam tatkala rangkaian aktivitas selama di haramain dilakukan oleh hamba yang memiliki kesucian diri. Aktivitas yang dibimbing oleh ilmu akan semakin membekas pada tertanamnya keimanan yang kokoh dan kerinduan yang menggebu.
Ketiga, Napak tilas perjalanan nabi Adam AS dan nabi Ibrabim AS, serta membangun kerinduan pada Rasulullah SAW. Jabal Rahmah merupakan monumen bertemunya nabi Adam AS dan Siti Hawa. Setelah keduanya dikeluarkan dari surga, keduanya terpisah sekian lama. Nabi Adam AS diturunkan di wilayah Gujarat (India) dan Siti Hawa diturunkan di wilayah Jeddah (Arab Saudi). Keduanya diturunkan ke bumi dan terpisah sekian lama sebagai bentuk sanksi Allah karena melanggar larangan-Nya. Pertemuan keduanya di Jabal Rahmah bersamaan waktu wukuf di Padang Arafah mengisyaratkan pertemuan sesama manusia dan hamba dengan Allah secara substansi, bukan asesories.
Adapun pelaksanaan tawaf merupakan napak tilas yang telah dilakukan oleh nabi Ibrahim AS yang telah membangun ka’bah. Perjalanan sa’i antara Shafa dan Marwah, serta meminum air zam-zam merupakan napak tilas Siti Hajar dan nabi Ismail AS. Rangkaian melontar jumrah di areal jamarat (Mina) merupakan napak tilas nabi Ibrahim AS yang melempar Iblis dengan batu karena ingin memperdayanya. Demikian pula penyembelihan hewan qurban mengingatkan peristiwa ketaatan nabi Ibrahim AS dan ketundukan nabi Ismail AS yang diganti oleh Allah dengan seekor kibas. Lambang kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya yang taat dan ikhlas.
Selama menjadi “tamu Allah”, seyogyanya setiap dhuyuf ar-rahman terlebih dahulu membersihkan diri (jasmani dan rohani) dan diperkuat oleh ilmu yang berkaitan dengan rangkaian ibadah selama di haramain. Hanya hamba yang membersihkan diri akan dapat merasakan kesucian haramain. Sementara hamba yang tersisa kekotoran diri akan sulit merasakan dimensi kesucian haramain. Sedangkan ilmu yang berkaitan rangkaian ibadah selama menjadi tamu Allah akan menjadi penyuluh dan menikmati setiap aktivitas yang dilakukan. Urgensi ilmu bagi aktivitas ibadah, dinukilkan Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa, bahwa : “Siapa yang beribadah kepada Allah tanpa didasari ilmu, maka kerusakan yang ia perbuat lebih banyak daripada maslahat yang diperoleh”. Apa yang dikatakan Ibnu Taimiyah sangat relevan, terutama untuk menikmati “hidangan Allah” selama di haramain. Sebab, selama menjadi dhuyuf ar-rahman, mereka bukan sebatas melaksanakan aktivitas ibadah wajib dan sunnah, namun melakukan napak tilas sejarah yang membuktikan kebenaran Islam. Mulai masjidil Haram, ka’batullah, maqam Ibrahim, hijr Ismail, sumur zam-zam, tiang jin [dalam areal masjid Haram], shafa dan marwah, hamparan pemakaman Ma’la, Jabal Nur, Gua Hira’, Jabal Tsur, rumah Abdul Muthalib (tempat Rasulullah dilahirkan), hamparan Padang Arafah, Musdalifah, Mina (lokasi jamarat), Jabal Rahmah, masjid Aisyah, masjid Jin, masjid kucing, dan lainnya.
Sementara napak tilas religius selama di Madinah meliputi Masjid Nabawi, ziarah komplek maqam Rasulullah SAW, Sayidina Abu Bakar as-Siddiq, dan Sayidina Umar Ibn Khattab, pemakaman Baqi’, Jabal Uhud, maqam Sayidina Hamzah bin Abdul Muthalib dan syuhada’ perang Uhud, masjid Quba, masjid Qiblatain, masjid Khandaq, masjid al-Ijabah, masjid Abu Dzar al-Ghifary, masjid Ghamamah, masjid Birr ‘Aly, dan lainnya. Semua napak tilas religius tersebut akan memiliki makna bagi mereka yang memiliki ilmu dan mengetahui sejarah yang terjadi. Semua membukti-kan kebesaran Allah dan kebenaran ajaran Rasulullah untuk menguatkan keimanan dan membentuk karakter peng-hambaan. Berbeda bagi mereka yang hadir tanpa ilmu, perjalanan napak tilas sebatas jalan-jalan, rekreasi, swa foto, berburu oleh-oleh, sibuk mengisi IG, dan semisalnya. Tak ada sentuhan dan getaran yang dirasakan. Berlalu seiring bunyi mesin bus mengantarkan jamaah kembali ke hotel. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “… Katakanlah : Ada-kah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui ?. Sesungguhnya orang yang berakal yang dapat menerima pelajaran” (QS. az-Zumar : 9).
Ayat di atas memiliki makna yang sangat dalam. Makna zahir dan batin, jasmani dan rohani, syariat dan hakikat, serta simbol dan inti. Meski acapkali dimensi ini jarang tersentuh dan dilakukan akibat ketidakfahaman (tanpa ilmu) atau disebabkan karena kesalahan menempatkan seseorang yang bukan ahlinya mendampingi dhuyuf ar-rahman. Akibatnya, amanah yang diemban tak terlaksana secara baik. Semua hanya akan dipahami oleh hamba yang memperoleh bimbingan ilmu melalui ilham-Nya. Namun, bagi hamba yang ditutup hatinya, maka makna yang luas dan jelas tersebut acapkali dipahami secara sempit dan remang-remang sesuai kepentingan, bahkan tak terlihat sama sekali.
Meski misteri baitullah demikian nyata, namun masih tersisa hamba yang memanfaatkannya secara zalim. Semua dengan pongah mempertontonkan keangkuhan, seakan Allah tak melihat apa yang dilakukan. Bila manusia pada wilayah komunikasi vertikal (hamba dengan Khaliq) selama di haramain masih berani melakukan tindakan kezaliman dan khianat, maka dipastikan kebiasaan kezaliman pada wilayah komunikasi horizontal (sesamanya) akan jauh lebih mengerikan. Wajar bila kesucian haramain tak akan pernah menyentuh dan bisa membersihkan diri hamba yang sedemikian kotor.
Mungkin manusia bisa tertipu dan ditipu dengan berbagai dalil retorika yang memukau, serta administrasi yang dikondisikan. Namun, pengawasan Allah melalui malaikat Raqib dan ‘Atid tak akan mampu untuk dikelabui (zahir dan batin). Allah telah mengingatkan melalui firman-Nya : “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; tangan mereka akan ber-kata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan” (QS. Yasin : 65).
Pada waktunya, semua akan diperlihatkan oleh Allah atas buah (bekas) setiap yang dilakukan. Demikian nyata dan pasti janji Allah dalam al-Quran bagi hamba-Nya yang beriman. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 12 Juni 2023