Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Pepatah Melayu telah mengingatkan, bahwa “mulutmu harimaumu”. Meski “lidah tak bertulang”, namun “lidah lebih tajam daripada pedang”. Ungkapan yang mengingatkan bahwa tarian lidah (verbal dan non verbal) bagai pisau atau sembilu yang tajam. Jika salah dalam menggunakannya, maka akan melukai hati orang lain. Apalagi bila yang berkata begitu lihai merangkai kalimat, mahir memutar balik fakta, asesoris memukau, mulutnya begitu manis, tapi ternyata tersimpan racun yang mematikan. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Mereka sama sekali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka ; mereka hanya mengatakan (sesuatu) kebohongan belaka” (QS. al-Kahfi : 5).
Sebenarnya, setiap yang keluar dari mulut (dikatakan) atau varian lainnya hadir sebagai cerminan dan wujud nyata sisi dalam diri (karakter). Sebab, setiap kata yang keluar merupa-kan dorongan otak dan wujud karakter yang tersimpan pada setiap diri. Untuk itu, wajar tatkala wujud hati dan kebiasaan yang dilakukan akan terlihat atas apa yang dikatakan. Jika mulut yang selalu bertasybih, maka akan keluar wujud keagungan-Nya yang selalu disenandungkan. Tapi, bila mulut yang selalu berbohong dan memfitnah, maka kebohongan dan fitnah pula yang selalu dimunculkan.
Kata yang dikeluarkan melalui mulut (verbal atau non verbal) bagaikan muntah. Semua yang keluar akan memperlihatkan jenis dan kualitas apa yang dimakan. Sebab, kebenaran dan kesalahan hanya akan diterima dan mendekati pada kualitas dan pemilik frekuensi yang sama. Kebenaran hanya keluar dari mulut yang benar dan diterima oleh pemilik frekuensi kebenaran. Sedangkan kesalahan hanya keluar dari mulut yang salah dan berinteraksi pada frekuensi pelaku kesalah-an. Demikian fenomena sunnatullah yang ditunjukkan oleh minyak dan air. Minyak hanya berinteraksi bersama minyak dan air hanya berinteraksi bersama air.
Sungguh, mulut (berikut variannya) menunjukkan kualitas akal yang dimiliki. Meski posisi keduanya berdekatan, tapi acapkali tak bertemu harmonis. Seyogyanya, keduanya berkorelasi bagai dua sisi mata uang untuk menunjukkan nilai pemilik. Mulut tanpa kualitas akal, bagai seekor burung beo semata. Berucap untuk menarik simpatik yang hanya betujuan menaikkan nilai jual dirinya semata. Padahal, beo tak paham sedikit pun atas apa yang dikatakan, apalagi berbuat atas apa yang diucapkan.
Secara teori, kualitas akal menunjukkan tihgkat IQ yang dimiliki. Hasil penelitian terhadap gorila yang bernama Koko mampu menguasai lebih dari 1000 bahasa isyarat (dengan tangan) disebut memiliki IQ 75-95. Sedangkan IQ manusia normal rata-rata di atas 100. Terlepas pro dan kontra atas data ini, pelajaran berharga layak untuk dijadikan cermin kehidupan. Dengan IQ yang dimiliki, gorila hanya beraktifitas tanpa berfikir. Sementara dengan kualitas IQ nya, manusia berfikir terlebih dahulu sebelum beraktifitas. Demikian nyata perbedaan kualitas IQ dan perilaku keduanya bila digunakan secara benar.
Di era digital, ketajaman mulut manusia (lisan dan variannya) hadir melampaui kemampuan oral yang disampaikan secara tradisional. Jejaring aktivitas media sosial melalui status-status yang ditulis mampu menyamai kecepatan cahaya. Sudah semestinya, sebagai manusia yang berakal, perlu berfikir ketika berbicara melalui di media sosial yang tak menyinggung, apatahlagi memfitnah orang lain. Hal ini diingatkan Rasulullah melalui sabdanya : “Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan kalimat tanpa dipikirkan terlebih dahulu, dan karenanya dia terjatuh ke dalam neraka sejauh antara timur dan barat” (HR. Muslim).
Untuk itu, manusia dituntut menggunakan mulutnya secara bijak dan benar. Sebab, dampak yang diakibatkan oleh mulut sangat besar. Semua yang keluar dari mulut akan diminta pertanggungjawaban dihadapan Allah SWT. Hal ini sesuai firman-Nya : “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (QS. Qaaf : 18).
Dalam menjelaskan ayat di atas, Rasulullah mengingatkan melalui sabdanya : “Sesungguhnya seseorang benar-benar mengucapkan suatu kalimat yang diridai oleh Allah Swt. tanpa diduganya dapat menghantarkan kepada kedudukan yang diraihnya hingga Allah mencatatkan baginya keridaan dari-Nya untuk dia, berkat kalimat itu hingga hari ia meng-hadap kepada-Nya. Dan sesungguhnya seseorang benar-benar mengucapkan suatu kalimat yang membuat Allah murka tanpa diduganya dapat menjerumuskan dirinya ke dalam kemurkaan-Nya, hingga Allah SWT mencatatkan kemurkaan-Nya terhadap dia disebabkan kalimat itu hingga hari ia menghadap kepada-Nya” (HR. Ahmad).
Demikian besar peran dan dampak mulut (berikut variannya) bagi kehidupan. Meski mulut mampu membelokkan kebenaran, namun ia tak akan pernah mampu membohongi pemilik kebenaran. Eksistensi manusia pemilik mulut yang berkadar IQ gorila hanya akan membawa musibah. Namun, bagi mulut manusia yang istimewa, untaian yang keluar dari mulutnya sebaran emas yang bernilai dan akan membawa kebajikan bagi sesama. Hal ini diingatkan oleh Rasulullah melalui sabdanya : “Keselamatan manusia tergantung pada kemampuannya menjaga lisan” (HR. Bukhari).
Demikian strategis mulut bagi manusia. Ia bukan sebatas media makan dan minum, tapi alat interaksi yang sangat urgen. Semua tergantung kualitas IQ yang dimiliki sebagai cermin manusia yang beradab. Untuk itu, gunakan mulut secara bijak dan seperlunya. Rasulullah bersabda : “Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendak-lah ia berkata baik atau diam. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia menghormati tetangga. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamu” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis di atas mengingatkan agar bijak menggunakan mulut dengan pedoman akal, terutama ketika berinteraksi dengan tetangganya agar merasa nyaman. Untuk itu, perhatikan pikiranmu yang menjadi kata-kata, perhatikan kata-katamu yang menjadi tindakan, perhatikan tindakanmu yang menjadi kebiasaan, perhatikan kebiasaanmu yang menjadi karakter, dan perhatikan karaktermu yang akan menjadi takdirmu.
Bila mulut digunakan tanpa akal (IQ) sebagai manusia yang sempurna (normal), maka mulut akan menjadi petaka bagi diri dan alam semesta. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, tanpa ada kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh, mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” (QS. al-Ahzab : 58).
Agar manusia terjaga sebagai ciptaan-Nya yang sempurna, maka perlu memperlihatkan kualitas diri dengan beberapa indikator perilaku, antara lain :
Pertama, Gunakan mulut dan akan untuk memberikan nasehat dan informasi kebaikan, bukan hasutan keburukan dan kebencian pada sesama. Apatah lagi bila nasehat yang diberikan berbaju politik “belah bambu” dengan menyebar fitnah untuk kemenangan sepihak. Jangan gunakan mulut untuk saling menyakiti sesama. Sebab, Allah mengingatkan melalui firman-Nya : “Siapapun gemar menceritakan atau menyebarluaskan kejelekan saudara Muslim kepada orang lain diancam dengan siksa yang pedih di dunia dan di akhirat” (QS. an-Nur : 19).
Kedua, Niatkan untuk mengenalkan kebenaran ajaran Allah dan Rasulullah, bukan untuk pamer kehebatan, kebaikan, dan harap simpatik (posisi). Untuk itu, mulut (berikut variannya) perlu selaras dengan akal sehat yang dikontrol oleh niat kebajikan. Sebab, akal yang sehat akan menuntun pada kebaikan. Namun, tatkala akal telah dijangkiti penyakit negative thinking pada sesama dan ujub pada diri sendiri, maka penilaian terhadap sesama sebatas menggunakan “kacamata kuda” yang melihat kebenaran sesuai keinginan dan perintah “sang kusir” (nafsu). Apatahlagi bila niat ikhlas sebagai alat kontrol bergeser pada kepentingan sesaat.
Ketiga, Gunakan mulut dan akal untuk menyampaikan pesan kebenaran dengan bijaksana tanpa terkesan menggurui, apatahlagi jangan sampai mempermalukan orang yang dinasehati. Bila hati dan akalnya masih dibuka oleh Allah, maka kebenaran akan mampu diterimanya. Namun, bila hati dan akal telah terkunci dari hidayah-Nya (QS. al-Baqarah : 7), maka kebenaran akan ditolak dan justeru kesalahan yang akan diterima, bahkan menjadi kesenangannya.
Meski yang disampaikan berupa kebenaran, namun perlu dilakukan dengan cara yang ahsan (QS. an-Nahl : 125). Sebab, meski niat dibangun dalam bingkai kebenaran, namun cara yang digunakan melalui mulut dan variannya tidak memiliki adab yang baik, maka apa yang akan disampaikan akan menyakitkan perasaan sesama.
Keempat, Berikan jalan keluar yang cerdas, bukan memper-keruh tatanan yang ada. Lihat sisi kebaikan yang telah diberikan pada sesama, bukan hanya melihat sisi kejelekan-nya semata. Sebab, manusia tak ada yang sempurna. Atau sangat mungkin yang dinilai hina justeru jauh lebih mulia di sisi Allah ketimbang yang menilai.
Kelima, Jangan menganggap diri paling benar, mulia, dan berjasa. Sebab, akan mudah bagi iblis menghasut untuk memunculkan kesombongan. Sebab, hidup merupakan hubungan kausalitas dan kontinuitas. Tak ada yang hebat bila tak ada proses sebelumnya yang ikut mendukung untuk menjadikan diri hebat. Keberhasilan diperoleh bukan sekonyong-konyong atau bagai membalik telapak tangan. Sebab, setiap keberhasilan adalah kelanjutan capaian yang telah disiapkan generasi sebelumnya dan uluran tangan banyak pihak yang ikut berkontribusi. Banyak tetesan keringat dan air mata telah tercurah. Banyak tenaga dan pikiran yang telah dikerahkan, banyak biaya yang telah dikeluarkan, dan banyak pula rintangan dan fitnah yang datang menghadang. Keberhasilan merupakan kompleksitas kerjasama banyak pihak yang sebelumnya telah berbuat tanpa pamrih.
Meski demikian, ada pula segelintirnya yang hadir hanya bermental pecundang dan “menembak di atas kuda”. Ketika suasana derita mendera, semua sembunyi dan cuci tangan. Namun, tatkala keberhasilan dan pundi membayang di depan mata, ia tampil berlagak “sebagai pahlawan kesiangan”. Kilau-an pundi yang menyilaukan mata keserakahan. Mereka hadir tanpa ikhtiar dan upaya, tapi mengangkat “tropi” seakan jawara yang juara. Katanya melangit dan akalnya mencari celah agar memperoleh pujian yang menggelegar, sembari mencari alas menutupi kaum “pejuang” agar tak dikenang. Bahkan, jika perlu dianggap tak pernah ada atau dicari alas-an agar tak lagi ada. Fenomena karakter yang demikian ini hanya mampu mempertontonkan sosok “penikmat hidangan” yang akan menghancurkan peradaban dan adab kemanusia-an. Ia hanya bisa sekedar “berebut dan memakan isi hidang-an”, namun tak pernah “memasak” dan menjaga makanan.
Alangkah mulia hamba yang menggunakan mulut dengan akalnya. Tauladani kemuliaan akhlak Rasulullah. Dengan tauladan tersebut akan lahir hamba yang berkata bijak dan bermartabat. Ia akan membangun peradaban tanpa menyakiti dan tak harap puji. Meski mereka acapkali tertelan oleh masa seiring perpindahan dan kualitas penerus estafet. Tapi eksistensinya akan selalu dikenal penduduk langit.
Namun, begitu hina hamba bila mulut tanpa akal dan hati. Ia hanya mampu membangun peradaban rendahan. Ia hanya lebih mempercayai kata-kata mereka yang pandai mengolah retorika dengan bumbu asesoris kebaikan semu. Demikian cepat kesimpulan dibuat dan diterima, tanpa berfikir jernih dan obyektif atas kualitas apa yang diucapkan. Padahal, apa yang dikatakan dan informasi yang diterima tenyata ber-muatan fitnah, dengki yang membusuk, dan kebohongan. Semua disebabkan hadirnya keinginan atau kebencian atas apa yang diinginkan. Tapi, bila apa yang diinginkan tercapai, mulut manis hadir melampaui manisnya gula. Hanya saja, ketika manis telah sirna, mulut berubah demikian cepat dan nyata. Hilang semua “manis gula” yang telah ditelan, tinggal pahit yang tersisa dan diingat. Anehnya, untaian kata pahit lebih mudah diterima dan digemari oleh hamba yang memiliki frekuensi atau kualitas yang sama (sederajat).
Agar manusia terpelihara kemuliaannya, maka Allah SWT mengingatkan untuk bijak dalam bertindak (QS. az-Zumar : 9). Untuk itu, jangan terlalu mengidoladan mengagungkan suatu kaum, sebab bisa jadi kelak mereka yang akan meng-hancurkan peradaban. Jangan pula terlalu membenci suatu kaum, bisa jadi kelak mereka yang membangun peradaban.
Kata bijak perlu direnungkan agar mulut mampu terjaga dari kehinaan, bahwa “Pilih kata-katamu dengan bijak, siapkan akal dan hatimu sebelum beraksi.” Kata bijak yang menyen-tuh sisi kemanusiaan bagi pemilik IQ sebagai manusia normal. Namun, semua tentu tergantung pilihan yang akan diambil. Pilihan antara mulut (berikut variannya) dengan IQ gorila atau mulut dengan IQ manusia sebagai hamba yang dimuliakan-Nya. Sebab, dihadapan Allah, setiap diri akan mempertanggungjawabkan atas apa yang dikatakan dan dilakukan.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 7 Agustus 2023