Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Tidur merupakan kebutuhan hidup asasi setiap manusia. Untuk itu, Allah sediakan malam untuk hamba-Nya tidur. Namun, ada yang memilih tidur pada waktu di luar kebiasaan (sunnatullah). Sebab, ada yang bekerja pada waktunya tidur, tak bisa (sulit) tidur, bahkan selalu tidur pada waktu sedang bekerja. Normal bila tidur sebatas kebutuhan. Tapi, bila “tidur” akal, iman, malu, harga diri, dan kemanusiaan, maka hanya muncul peradaban tanpa ruh ala zombi atau vampir.
Hanya untuk memenuhi kebutuhan tidur, tak sedikit manusia harus mengeluarkan biaya besar. Mulai menyediakan tempat yang nyaman, sampai obat-obatan atau vitamin kualitas premium yang harus dikonsumsi agar memperoleh mutu tidur yang maksimal. Ke depan, mungkin akan ditemukan obat agar manusia memperoleh mimpi yang diinginkan. Meski ada yang rela mengeluarkan biaya untuk bisa tidur, tapi bagi segelintir manusia yang berada di bawah garis kemiskinan, kebutuhan tidur menjadi pilihan untuk mengusir lapar yang mendera. Meski pada pemilik kekayaan justru tak bisa tidur karena memikirkan hartanya yang menggunung.
Sungguh, Allah menyediakan tidur dan mimpi milik semua manusia tanpa biaya. Tapi, dalam realita tak semua manusia dapat memiliki dan menikmati tidur nyenyak dan mimpi yang indah. Padahal, tidur dan mimpi merupakan bentuk kasih sayang Allah dan menyimpan pelajaran pada manusia yang berfikir (ulul albab). Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah tidurmu di waktu malam dan siang hari serta usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan“ (QS. ar-Ruum : 23).
Selain malam sebagai waktu yang terbaik untuk tidur, ulama ada yang membagi waktu tidur yang sering dimanfaatkan manusia dalam tiga waktu : (1) Tidur siang pada tengah hari saat matahari bersinar terik. Tidur ini biasa dilakukan Rasulullah SAW. (2) Tidur pada waktu dhuha. Tidur ini sebaik-nya ditinggalkan. Sebab, membuat manusia malas dan lalai untuk menjemput keberuntungan dunia dan akhirat. (3) Tidur pada waktu ashar. Waktu ini merupakan waktu tidur yang jelek dan membuat fisik menjadi lemah. Anugerah waktu malam untuk tidur (istirahat) dinyatakan Allah melalui firman-Nya :“Dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebagian dari karunia-Nya (pada siang hari) dan supaya kamu bersyukur“ (QS. al-Qashash : 73).
Merujuk ayat di atas, tidur dan mimpi mengandung beberapa makna dan pelajaran yang bisa dipetik, antara lain :
Pertama, Tidur merupakan nikmat-Nya yang wajib disyukuri dan digunakan secara baik. Meski ada segelintir manusia yang tak menggunakan waktu malam untuk istirahat, namun digunakan untuk menumpuk harta seakan tak cukup waktu baginya mengejar dunia. Dalam ilmu kesehatan, tidur ber-manfaat untuk menenang-kan dan mengistirahatkan seluruh organ tubuh setelah seharian melakukan aktivitas. Allah mengingatkan melalui firman-Nya : “Dan Kami jadikan tidur-mu untuk istirahat“ (QS. an-Naba’ : 9).
Kebenaran firman Allah di atas dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu medis membuktikan, salah satu cara paling efektif untuk menjaga kesehatan adalah tidur (istirahat) yang cukup. Cara ini sangat mem-bantu penguatan sistem kekebalan (imun) tubuh. Tidur disediakan Allah agar manusia dapat menyempurnakan proses pencernaan makanan yang telah masuk dalam tubuh. Pada waktu tidur, panas alami badan meresap dalam tubuh dan membantu mempercepat proses pencernaaan.
Secara ilmiah, empedu aktif bekerja antara jam 11 malam hingga jam 1 dini hari. Sementara hati, mulai aktif bekerja mulai jam 1 malam. Apabila pada rentang waktu tersebut manusis masih belum tidur, apalagi masih asyik meng-konsumsi makanan, maka sebenarnya ia telah merusak alur kerja tubuhnya sendiri. Demikian jelas manfaat tidur (malam) bagi manusia. Namun, manusia terkadang lupa untuk mensyukuri dan memanfaatkannya secara bijak.
Kedua, Tidur merupakan kematian mini (dini). Ketika tidur, hampir tak ada beda antara tidur dan kematian. Hanya bedanya, manusia tidur masih terdapat nafas yang keluar dan masuk. Ketika bangun, Allah kembalikan ruh bersama jasad. Semen-tara ketika mati, ruh tak kembali lagi ke jasad.
Ketika tidur, tak ada yang bisa dilakukan manusia dan tak ada jaminan ia akan bangun lagi. Untuk itu, Rasulullah SAW mengajarkan umatnya untuk membaca doa ketika bangun tidur, yaitu : “Segala puji bagi Allah Yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan kepadanya seluruh makhluk kan dibangkitkan” (HR. Bukhari).
Tidur seyogyanya membangunkan kesadaran akan waktu kematian. Ketika tidur, tak ada beda antara kaya dan miskin, pejabat dan penjahat, atau varian status duniawi lainnya. Semua hadir dalam kepasrahan pada Allah Sang Penentu Kehidupan. Tak tersisa kesombongan, tak pernah hadir keangkuhan, tak pula muncul iri dan dengki. Semua larut pada ketundukan atas semua ketetapan-Nya. Sebab, begitu mudah Allah memberi dan mengambil ruh setiap hamba.
Ketika tidur, bangun kesadaran bahwa bekal menuju janji Allah yang belum cukup. Kesadaran yang mengikis sifat keserakahan dan kezhaliman dalam diri. Ternyata, begitu tipis jarak antara hidup dan mati, antara kaya dan miskin, antara kuasa dan nestapa, antara kuat dan lemah, atau varian lainnya. Semua bisa dilihat ketika tidur dan terjaganya hamba. Ketika kesombongan hadir saat terjaga, lihatlah diri ketika tidur. Tak tersisa kuasa, hanya kepasrahan atas mereka yang hidup dan Sang Pemilik Kehidupan (Allah).
Ketiga, Tidur merupakan gambaran alam kubur. Ada manusia yang tidur tenang dan menikmati nyenyaknya tidur. Baginya, malam begitu singkat hadir dengan mimpi indah. Tak terasa, siang menjelang menerangi alam dengan penuh keindahan. Namun, ada pula manusia yang tidurnya resah, gelisah, tersiksa, dan ingin siang datang lebih cepat. Baginya, begitu panjang waktu malam berlalu. Ternyata, meski tidur hak semua, tapi tak semua diberi kenikmatan dalam tidurnya.
Keempat, Tidur bukti kelemahan manusia yang tak berdaya. Andai si pemilik kuasa menyadari tidurnya, maka akan muncul kesadaran lemahnya diri sebagai manusia. Kesadar-an tatkala tidur saja tak bisa melindungi diri meski dengan kuasa yang dimiliki. Ia perlu orang lain untuk menjaganya. Apatahlagi bila ketika tidur abadi (kematian) menjemput. Semua kehebatan dan ketangguhan, kekuatan atau kuasa
tak lagi berguna. Hanya harap bantuan sesama –yang mungkin di antara mereka yang pernah dizhalimi– untuk memandikan, mengkafani, menshalatkan, dan menguburkan-nya. Tak lagi berfungsi “telunjuk sakti” yang selama ini digunakan. Tak lagi membantu para “pengawal” yang memanjakan diri bagaikan raja. Tak lagi hadir para “konglomerat” untuk memberi tumpukan pelicin. Tak lagi bersama para ahli retorika yang membantu menjawab per-tanyaan malaikat Munkar dan Nakir. Meski mereka semua akan hadir seketika dan kembali melupakan apa yang ada.
Kelima, Tidur merupakan cermin dan parameter keadilan atas hak diri atas organ tubuh. Bagi manusia yang adil, ia akan berikan hak jasmani dan rohaninya untuk menikmati istirahat. Sebaliknya, jika pada dirinya saja ia melakukan kezhaliman, apatahlagi pada sesamanya. Allah mengingat-kan melalui firman-Nya : “Dan janganlah kebencian kamu terhadap suatu kaum membuat kamu tidak mampu berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. al-Maidah : 8).
Merujuk ayat di atas, keadilan meliputi keadilan kepada Allah, keadilan dengan diri sendiri, keadilan dengan sesama manusia, dan keadilan dengan alam semesta. Manusia yang bijak memanfaatkan waktu tidur merupakan cermin sikap adil. Sebelum seseorang berlaku adil kepada orang lain, ia perlu terlebih dahulu berlaku adil kepada dirinya. Selama ia tidak mampu berlaku adil pada dirinya, maka ia tidak bisa berlaku adil pada sesama dan menyebarkan kebahagiaan pada seluruh alam semesta. Rasulullah mencontohkan pemanfaatan waktu tidur untuk memberikan hak istirahat bagi jasmani dan rohani. Beliau biasa tidur di awal malam dan bangun di sepertiga malam terakhir. Hal ini dilandaskan dari Aisyah RA, ia berkata, “Rasulullah SAW tidur pada awal malam dan bangun pada penghujung malam. Lalu beliau melakukan shalat” (HR. Muttafaqun ‘alaih).
Pola hidup sehat melalui tidur yang ditunjukkan Rasulullah pada umatnya begitu jelas. Keadilan pada hak tubuh dan ruh merupakan tampilan karakter diri yang menjadi timbangan kualitas setiap hamba.
Keenam, Tidur memberi peluang manusia bermimpi. Hanya manusia yang tidur mampu memiliki mimpi. Tanpa tidur, tak akan ada mimpi. Sebab, pepatah mengatakan, “mimpi adalah bunga tidur”. Meski mimpi gratis, tapi tak semua manusia bisa bermimpi, apatahlagi mampu meraih mimpi.
Secara teori, mimpi merupakan aktivitas otak bawah sadar. Sebab, saat tidur otak masih bekerja. Manusia bermimpi ketika ada stimulus membangunkan emosi dan menghantui fikiran, kenangan lama yang tersimpan di bawah otak, atau sesuatu yang tanpa pernah difikirkan.
Meski mimpi hanya sebatas “bunga tidur” dan subyektif, namun ada mimpi berisi kebenaran yang dianugerahkan pada hamba-Nya. Sebagaimana ketika Allah menyampaikan wahyu-Nya kepada nabi Muhammad SAW melalui mimpi. Atau, ketika Allah anugerahkan hamba-Nya bertemu dengan Rasulullah dalam mimpinya. Hal ini disampaikan Rasulullah melalui sabdanya : “Barangsiapa yang melihatku saat mimpi, maka ia akan melihatku dalam keadaan sadar dan setan tidak dapat menyerupai diriku” (HR. Bukhari).
Sungguh, mimpi mengajarkan agar manusia memiliki harapan ( asa optimis dan dinamis), bermimpi realitas unruk menyongsong masa depan yang diinginkan (lebih baik).
Hanya manusia yang memiliki mimpi akan berupaya untuk mewujudkan mimpinya. Sebab, mimpi mendorong manusia untuk membangun peradaban masa depan yang lebih baik. Tapi, manusia tanpa mimpi (pesimis dan stagnan) bagai peradaban hewan atau robot yang sekedar menjalankan rutinitas belaka. Namun, ada pula mimpi dalam konotasi negatif yang tak mungkin mampu dicapai (mustahil). Seperti mimpi ingin kaya tapi malas bekerja, mimpi surga tapi tak pernah berbuat amal, mimpi ingin dihargai tapi hobinya justru menzhalimi, tak mampu berbuat tapi hanya menebar kebencian, atau varian lainnya. Untuk itu, Rasulullah meng-ingatkan melalui sabdanya : “Orang yang paling benar ucap-annya, maka paling benar pula mimpinya” (HR. al-Thabrani).
Demikian jelas sabda Rasulullah atas korelasi ucapan dan mimpi. Untuk itu, tidur dan mimpi memberi ruang bagi setiap hamba untuk mengoreksi diri. Sebab, tersisa ruang manusia yang “tertidur” meski terjaga. “Tertidur” meski mata terbuka lebar tapi sekedar melihat, telinga sebatas mendengar, dan mulut hanya berisi makanan. Semuanya terjajah tak berkutik oleh hasrat “ketidakpedulian” dan hanya mampu “tertidur” yang tak pernah bangun. Sebab, mulutnya penuh terisi, perut kenyang dengan diiringi hembusan angin semilir membuat “mata terpejam”. Pilihan tipikal ini menghantarkannya menjadi manusia yang tak memiliki mimpi, sekedar bermimpi tanpa berbuat, atau tak bisa bermimpi tapi mencela orang yang memiliki mimpi. Manusia seperti ini hadir sebatas ada (jasmani), tapi sebenar-nya telah tiada (rohani yang mati). Lalu, di mana posisi dan pilihan setiap diri. Hanya setiap diri yang bisa menjawab atas tidur dan mimpi-mimpinya. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 4 September 2023