Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Setiap tumbuhan hidup memiliki akar. Eksistensi akar merupakan organ vital bagi kelangsungan hidupannya. Akar pada umumnya merupakan bagian tumbuhan yang terletak paling bawah dan menjunam dalam tanah. Namun, ada pula jenis tumbuhan yang memiliki akar yang hanya muncul di atas tanah. Secara ilmu tumbuhan, akar adalah organ yang berperan penting dalam menahan tumbuhan tegak, menyerap air dan nutrisi ke dalam seluruh tubuh tumbuhan. Dengan akar, memungkinkannya tumbuh dan berkembang. Untuk itu, kualitas akar menjadi penentu bagi kualitas seluruh bagian pohon.
Meski eksistensi akar diketahui semua orang, namun tak semua memiliki waktu memperhatikan pelajaran dari akar pohon. Padahal, melalui akar pohon, Allah menitipkan ayat-Nya agar manusia memikirkannya. Adapun pelajaran yang dapat diambil dari akar antara lain :
Pertama, Posisi akar yang senantiasa ke bawah mengajar-kan agar hidup senantiasa “sujud” dan tak lupa diri. Meski pohon tumbuh tinggi menjulang “mencecah awan”, pohon sadar ia berasal dari benih yang “tersimpan” dalam tanah, memerlukan nutrisi dari tanah, dan kelak ketika mati akan membusuk menjadi tanah. Hal ini sesuai firman-Nya : “Dari-nya (tanah) itulah Kami menciptakan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan dari sana Kami akan mengeluarkan kamu pada waktu yang lain” (QS. Thaha : 55).
Tanah bagi tumbuhan bagai rahim seorang ibu. Tumbuhan hidup dari nutrisi yang dialiri dan kelak mati dalam pelukan-nya (tanah). Demikian pula yang akan terjadi pada manusia dan semua makhluk di bumi ini. Selama akar tak pernah meninggalkan tanah, ia akan hidup subur dengan nutrisi yang dibutuhkan. Tapi, bila akar terhalang batu keras yang menghambatnya bertemu tanah, apatahlagi “akar yang lupa diri”, maka pohon akan mati. Demikian manusia, bila diri lupa pada asal dan awal kejadiannya, maka ia telah “mati” sebelum kematian menjemputnya.
Andai manusia lupa asalnya, maka manusia menjadi “durhaka” atas alam yang telah memberikan nutrisi bagi kelangsungan hidupnya. Kedurhakaan yang menimbulkan malapetaka dan kezaliman pada alam semesta. Hanya manusia yang mampu menjaga akarnya agar senantiasa sehat dan mengakar dengan keikhlasan (bukan sebatas style kemunafikan), maka akhir kehidupannya akan dijaga oleh tanah dalam pelukan-Nya Yang Maha Rahman dan Rahim.
Kedua, Akar memberi kehidupan, tapi tak pernah pamer dan menonjolkan diri karena telah memberi. Kehadirannya tak pernah disebut. Ia memberi dengan ikhlas atas apa yang telah diperbuat. Apa yang dilakukan akar tercermin pada sabda Rasulullah SAW : “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal perbuatan kecuali dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridha-Nya” (HR. Abu Daud dan Nasa’i).
Akar dan tanah mengajarkan berbuat baik dalam “sepi”. Ia tak iri pada pohon yang tegak menjulang. Meski pohon tumbuh rindang dan berbuah, tanah dan akar tak pernah dilupa. Pohon hadir menjadi “citra makhluk berbudi”. Pohon melindungi akar dan tanah dari panas mentari. Ia turunkan daun sebagai pupuk. Ia gugurkan buah untuk berbagi rezeki pada makhluk yang ada di bawahnya. Bahkan, meski buahnya membusuk akan menjadi penambah nutrisi bagi dirinya dan tumbuhan sekitarnya. Hubungan akar, tanah, dan pohon demikian harmonis dan saling mengisi untuk menghasilkan buah yang berkualitas. Sementara segelintir manusia justeru saling berseteru dan lupa diri. Kritik pedas tanpa solusi. Padahal, kritik membangun pasti hadir dari mereka yang pernah membangun (berbuat). Sementara kritik pedas hanya dilancarkan mereka yang tak pernah berbuat. Demikian Allah menampilkan semua ayat-Nya. Namun, manusia acapkali melupakan dan tak mengetahui.
Ketiga, Akar mengajarkan sifat tawadhu’ dan tidak jumawa (sombong). Sebab, akar yang kuat selalu menjunam ke dalam dasar tanah. Ia “membumi” bukan mendongak sombong ke langit. Sementara akar yang lemah justeru muncul kepermukaan, memperlihatkan diri, dan akhirnya pohon pun roboh. Demikian sifat akar yang perlu menjadi i’tibar bagi manusia. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri” (QS. Luqman : 18).
Secara teori, Iblis menyombongkan diri atas apa yang dimiliki. Ia sombong asal penciptaannya dari api. Ia sombong atas kemuliaannya karena kualitas amal yang dilakukan. Sementara pada tataran praktis, ada manusia (segelintirnya) sombong atas apa yang dimiliki (derajat, pangkat, kemuliaan, amal, harta, keturunan, dan varian lain-nya), tapi sebagian lain justeru sombong atas apa yang tak dimiliki. Sombong atas apa yang tak dimiliki menggiring pada penyakit iri hati, khianat, fitnah, mencari kesalahan sesama, dan varian sejenisnya. Ia tak akan pernah sejalan dengan kebenaran yang ada, meski kebenaran dari Allah dan Rasul-Nya, apatahlagi “kaum” yang dibencinya. Meski bantu-an berulangkali diberikan atau kebaikan diperoleh, namun karena akar hatinya telah membusuk, semua tak mampu membuat hatinya menjadi baik. Apatahlagi bila tak ada pertolongan atau kebaikan yang diterimanya. Bagi manusia tipikal ini, kebaikan dan kebenaran hanya miliknya. Sedang-kan terhadap manusia di luar diri atau “berseberangan” dengannya, kesemuanya tak ada kebaikan dan kebenaran.
Keempat, Akar penopang utama kehidupan. Ia bagaikan iman pada diri seorang hamba. Akar iman menjadi utama dan perlu selalu dipupuk. Kekuatan dan sehatnya akar menjadi faktor utama bagi seluruh unsur tumbuhan. Menyadari kondisi ini, para petani selalu menjaga akar tumbuban dengan memberi tanah yang baik, pupuk, dan air yang cukup. Ketika akar rusak, tidak kuat, dan rapuh, maka pohon akan tak sehat dan mati. Untuk itu, hati-hati pada upaya yang membunuh pohon dengan memutus dan meracuni akarnya. Kehancuran peradaban terjadi melalui pembunuhan karakter manusia dengan merusak imannya. Bila ingin merusak peradaban, rusak idealisme ilmuannya. Sedangkan, bila ingin menghancurkan suatu negara, rusak generasi masa depannya, apatahlagi melalui perusakan sistemik dengan contoh kerusakan mental dan prilaku generasi sebelumnya. Hal ini diingatkan Allah SWT : “Ingat-lah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari” (QS. al-Baqarah : 12).
Demikian vitalnya akar bagi pohon, iman bagi manusia, ilmuan (ulama) bagi peradaban, dan generasi bagi negara. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Ingatlah ketika (Allah) menjadikan kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah ‘Ad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu membuat pada dataran rendahnya bangunan-bangunan besar dan kamu pahat gunung-gunungnya menjadi rumah. Maka, ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu melakukan kejahatan di bumi dengan berbuat kerusakan” (QS. al-A’raf : 74).
Kelima, Akar hidup untuk saling berbagi. Ia alirkan air dan nutrisi yang dimiliki keseluruh pohon tanpa terkecuali. Ia hadir untuk melindungi dan menyayangi secara berkeadilan. Ia nafkahi seluruh sisi pohon. Akar tak memiliki sifat “pilih kasih”, apatahlagi membangun “sekte” pemecah belah keharmonisan. Demikian indah dan harmonisnya sebatang pohon untuk saling berbagi. Sungguh, sifat akar dan tanah terhadap pohon telah mengimplementasikan firman-Nya : “Apa saja yang kalian nafkahkan (sedekahkan) ataupun yang kalian nazarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. Orang-orang yang berbuat zalim, tidak ada seorang pun pelindung baginya. Apabila kalian menampakkan sedekah (kalian), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kalian menyembunyikannya dan kalian berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagi kalian. Dan Allah akan menghapuskan dari kalian sebagian kesalahan-kesalahan kalian; dan Allah mengetahui apa yang kalian kerjakan” (QS. al-Baqarah : 270-271).
Bahkan, tatkala hadir “benalu” yang menggerogoti pohonnya, akar memilih mati agar “benalu” tak merusak pohon yang lain. Ia ikhlas “mundur” dari kehidupan untuk menyelamatkan kehidupan peradaban pohon lainnya.
Keenam, Akar yang kuat menjunam memperkuat tanah, tanpa merusak lingkungan. Semakin kuat akar menjunam dan menopang pohon, maka tanah akan semakin terjaga. Sungguh, ketika akar mampu “menyembunyikan” dirinya, maka akar semakin tawadhu’ atas semua bantuan yang diberikan. Sementara akar yang “sombong” akan keluar kepermukaan dan merusak tanah bahkan menghancurkan tanah atau semua yang ada disekitarnya. Bahkan, akar yang timbul kepermukaan dapat merobohkan bangunan yang tinggi dan megah. Demikian dasyat yang ditimbulkan bila akar muncul kepermukaan. Hal ini telah diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik” (QS. al-A’raf : 56).
Ketujuh, meski akar berada di tanah, ia saring air tanah yang kotor menjadi bersih dan nutrisi yang sehat. Ia bersihkan semua unsur kotor yang ada sebelum diberikan keseluruh batang. Demikian luhur dan berbudinya akar. Meski ia berada dikubangan kotor, tapi ia salurkan sesuatu yang bersih pada batang untuk menghasilkan buah yang bersih dan segar. Sementara segelintir manusia bersikap terbalik atas apa yang dilakukan akar. Bila memperoleh sesuatu kemuliaan, justeru ingin dimiliki sendiri. Bila ingin berbagi hanya berupa sisa yang tak lagi berguna. Apatahlagi bila memperoleh kesengsaraan, ia berupaya mencari “kambing hitam” untuk menimpakan kesalahan yang dimiliki atau paling tidak mengalirkan “racun” (kotoran) ke seluruh wilayah di luar dirinya. Bila kebahagiaan inginnya dimiliki sendiri, tapi bila kesengsaraan ia berupaya menarik orang lain untuk ikut mengalami kerusakan.
Akar bagaikan sifat seorang ibu terhadap anaknya. Ia tak pernah mengharap pujian, kehadirannya memberikan yang terbaik untuk kebahagiaan seluruh unsur pohon. Ia bahagia tatkala pohon tumbuh subur dan berbuah lebat nan ranum untuk dinikmati seluruh makhluk. Sebaliknya, akar akan menangis bila tak mampu memberikan nutrisi terbaik dan menjadi penyebab pohon mati.
Begitu nyata dan berulangkali Allah ingatkan manusia atas firman-Nya, baik tertulis maupun terbentang. Akar dan tanah telah ikut “berbicara” pada manusia. Demikian nyata kasih sayang Allah pada manusia. Meski Allah berulangkali meng-ingatkannya, namun manusia acapkali mengingkari sampai kembali ke tanah. Bahkan, segelintirnya “menantang” Allah dengan kezhaliman yang demikian nyata. Padahal, Allah mengingatkan azab yang telah menimpa umat sebelumnya, namun semua dinafikannya. Allah berfirman : “Ingatlah ketika (Allah) menjadikan kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah ‘Ad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu membuat pada dataran rendahnya bangunan-bangunan besar dan kamu pahat gunung-gunungnya menjadi rumah. Maka, ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu melakukan kejahatan di bumi dengan berbuat kerusakan” (QS Al A’raf: 74).
Begitu nyata azab menimpa kaum ‘Ad, Fir’aun, Namrudz, Qorun, Abu Jahal, dan lainnya. Mereka menonjolkan “akar” dipermukaan tanah. Akibatnya, mereka tumbang oleh keang-kuhannya. Begitu nyata pula nikmat yang Allah anugerahkan pada pemuda ashabul kahfi dan hamba-Nya yang shaleh dengan “akar” iman menjunam dalam tanah. Kedua typikal ini terlihat nyata dalam kehidupan manusia sepanjang sejarah.
Sungguh, akar menuntun agar hidup selalu ikhlas dan mem-berikan kebaikan. Akar dan tanah tak pernah minta balasan atas apa yang dilakukan. Meski ia acapkali dilupakan, tapi ia hadirkan kebaikan melalui pohon yang subur berbuah lebat. Akar dan tanah mengajarkan bahwa “manusia tak akan pernah baik, bila senantiasa mengingat kesalahan sesama-nya. Manusia tak akan pernah benar, bila tak pernah berbuat hal yang benar selama hidupnya”. Untuk itu, Allah mrngingat-kan melalui firman-Nya : “Dan Dia telah memberikan kepada-mu dari segala apa yang kamu mohon-kan. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menghitung-nya. Sesungguhnya manusia sangat zalim dan suka menging-kari (nikmat-Nya)” (QS. Ibrahim : 34).
Meski semua ayat Allah demikian jelas, pilihan tergantung kualitas akar (iman) setiap diri. Tampilan kemunafikan bisa menyilaukan dan menipu sesama, tapi tak pernah mampu menipu Allah Yang Maha Mengetahui. Sementara kebaikan yang hadir, meski penduduk bumi berupaya menutupinya, namun semua akan gagal. Sebab, apa yabg diberikan akan selalu dicatat dan diingat oleh penduduk langit. Ketika ber-kaca pada akar pohon saja, ternyata begitu kecil apa yang telah diberikan manusia dalam kehidupan ini. Apatahlagi bila berkaca pada seluruh ayat-ayat Allah yang luasnya tanpa batas. Hanya pilihan bijak dan keikhlasan diri yang akan menghantarkan hamba meraih cinta-Nya.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 2 Oktober 2023