Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Penggunaan kata oposisi selalu dipasangkan dengan kata koalisi. Istilah yang acapkali muncul dan dipakai dalam sistem demokrasi dan posisi politis lainnya. Bahkan, pada tataran sosial kemasyarakatan, kata ini acapkali dipakai untuk memetakan “lawan dan kawan”. Secara sederhana, oposisi adalah sikap berseberangan. Sebaliknya, kata koalisi berararti sikap mendukung. Kedua istilah ini selalu dipahami sebagai dua sisi yang berlawanan. Padahal, oposisi dan koalisi bagai 2 (dua) tangan. Keduanya berbeda letak, berbeda fungsi, tapi memiliki kesamaan tujuan untuk membantu tugas manusia. Meski kedua tangan terlihat “berseberangan”, tapi manusia mengharmoniskannya secara serasi dalam kedamaian. Oposisi dan koalisi seyogyanya bagai posisi kedua tangan atau kaki yang berbeda, tapi memiliki tujuan yang sama. Keduanya perlu menyadari fungsinya untuk memberi keseimbangan agar tubuh mampu berjalan tegak sampai ke tujuan. Ketika tangan kanan ke depan, tangan kiri ke belakang. Ketika tangan kiri ke depan, tangan kanan ke belakang. Harmonisasi dan kesadaran cerdas tangan kanan dan kiri mengikis sifat egois keduanya.
Bayangkan, bila salah satu atau kedua tangan memiliki sifat egois, maka keseimbangan manusia tak akan terwujud. Apatahlagi bila kedua tangan berkoalisi memusuhi kedua kaki yang letaknya di bawah, atau sebaliknya. Akihatnya, manusia tak bisa berjalan dengan sempurna akibat ketidakseimbangan. Bila keseimbangan tak dimiliki, maka manusia akan terjerembab dan tersungkur.
Sungguh, oposisi tangan kiri dan kanan atau kedua tangan dan kedua kaki, ternyata sangat diperlukan agar terjadi keseimbangan. Tentu hanya oposisi yang obyektif dengan niat (tujuan) untuk membantu tubuh melaksanakan tugas untuk tercipta kesehatan seluruh anggota tubuh. Oposisi anggota tubuh tak diposisikan sebagai “lawan” yang harus disingkirkan. Sebab, dalam melaksanakan tugasnya, setiap anggota tubuh saling melindungi dan membantu tanpa mempersoalkan perbedaan posisinya (kanan dan kiri).
Ternyata, demikian indah Allah mengajarkan manusia melalui anggota tubuhnya. Tentu pelajaran yang hanya bisa ditangkap bagi manusia yang berakal sehat. Untuk itu, Allah memuji manusia menggunakan akal untuk menemukan kebenaran dan mencela manusia yang tak menggunakannya dengan baik. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah” (QS. al-A’raf : 179).
Meski sikap oposisi dan koalisi acapkali dipahami ber-seberangan dan terkesan “berlawanan”, namun pada tataran politik, keduanya acapkali bagai “onggokan awan” yang menyelimuti cahaya matahari sampai ke bumi. Ketika awan dihembus angin, awan tebal berlalu dan panas mentari kembali menerangi bumi. Sungguh demikian fleksibel sikap oposisi dan koalisi, bahkan acapkali bisa berubah posisi. Sikap ini diingatkan Rasulullah melalui sabdanya : “Seseorang tergantung pada agama teman dekatnya, maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat siapa yang dia jadikan sebagai teman dekat” (HR. Abu Dawud).
Bila dilihat pada tataran realita, sikap oposisi dan koalisi bagai sebuah mobil dan penumpang, antara lain :
Pertama, Oposisi penumpang mobil. Koreksi dan pengawas-an terhadap supir dilakukan lebih soft (kata yang lembut). Kelembutannya bukan karena keikhlasan. Mulutnya terkunci karena kekhawatiran kalau supir akan menurunkannya di tengah jalan. Padahal, dalam hatinya menumpuk “makian” atas tindakan supir yang melakukan manuver berbahaya. Sifat ini merupakan indikasi kemunafikan yang akan mem-bahayakan semua. Hal ini diingatkan Rasulullah dalam sabdanya : “Ada empat tanda, jika seseorang memiliki empat tanda ini, maka ia disebut munafik sejati. Jika ia memiliki salah satu tandanya, maka dalam dirinya ada tanda kemunafikan sampai ia meninggalkan perilaku tersebut, yaitu: (1) jika diberi amanat, khianat; (2) jika berbicara, dusta; (3) jika membuat perjanjian, tidak dipenuhi; (4) jika berselisih, dia akan berbuat zalim” (HR. Muslim).
Bahkan, begitu bahayanya sifat munafik, Rasulullah meng-ingatkan lagi melalui sabdanya : “Setiap pengkhianat akan mendapat bendera (penanda) di hari kiamat, disebutkan ini penghianatan si fulan dan ini penghianatan si fulan” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Meski demikian tegas dan jelas Rasulullah mengingatkan, namun umat seakan memandang remeh. Kemunafikan semakin nyata, jelas terpampang, dan berulang kali terjadi. Hilang rasa malu, runtuh harga diri, dan punah akal sehat. Semua sirna bersamaan hadir sifat serakah, matrialisme, asa kuasa, dan harap “melahap” yang ada. Namun, bagai posisi penumpang mobil, eksistensi sifat tersebut hanya sebatas “api dalam sekam”. Tatkala supir masih menguasai mobil, semua umpatan hanya tersimpan dalam hati. Namun,
Ketika tujuan telah tercapai atau supir berganti, semua kelemahan supir akan dibuka lebar. Sanjungan berubah menjadi cemoohan, kemuliaan berubah menjadi hinaan, dan penghormatan berubah menjadi pengkhianatan. Penumpang akan mencari mobil dan supir lain yang dinilai dapat menjamin keselamatan dan mengantarkannya pada tujuan.
Ada pula penumpang bagai “seekor serigala”. Awalnya diam, tapi sembari mencari titik lemah supir. Ketika supir lengah, supir akan diterkam dan digigitnya. Akibatnya, supir hanya sibuk menyelamatkan diri dan tak peduli dengan mobil dan nasib penumpang lainnya. Hal ini berdampak terjadinya kecelakaan yang membinasakan semuanya.
Kedua, Opisisi “kondektur atau kernet” (posisi antara dalam dan luar mobil). Tanpa koreksi tapi sama-sama mengawasi “penumpang” yang naik mobil dengan tujuan materi setelah penumpang ikut di mobilnya. Acapkali hanya untuk men-dapatkan penumpang, keduanya melanggar rambu-rambu jalanraya dan membahayakan pengguna jalan lainnya. Saling kejar dan berebut “penumpang”, berjalan zig-zag, dan tetap menaikan penumpang meski kursi telah penuh. Baginya, tujuan utama hanya untuk mendapatkan penumpang, mengejar trip, dan “pundi setoran”. Ia jarang berpikir atas kerusakan mobil dan keselamatan orang lain.
Ketiga, Opisisi “tukang parkir”. Suaranya begitu lantang mengarahkan dan seakan pemilik mobil. Ia akan diam bila telah diberikan uang dan marah-marah bila tak diberikan uang. Suara nyaring bila belum mendapatkan apa yang diinginkan, namun tersumbat (membisu) bila tujuannya (materi) tercapai. Apatahlagi bila materi yang diberikan melebihi harapan, senyum tersungging dan sebutan “bos” pun keluar dari mulutnya.
Bila dianalisa, ketiga tipikal oposisi dan koalisi ala mobil di atas terbangun hanya oleh kepentingan. Bila kepentingannya tercapai sesuai yang diharapkan, maka ia akan berpihak dan menyatakan berkoalisi. Namun, bila kepentingannya tak ter-capai atau tak sesuai yang diinginkan, maka meski awal ber-koalisi akan berubah menjadi oposisi. Demikian sebaliknya. Sikap ini diingatkan oleh Rasulullah SAW : “Cintailah orang yang kau cinta dengan sewajarnya, boleh jadi suatu hari dia menjadi orang yang kau benci. Dan bencilah kepada orang yang kau benci sewajarnya, boleh jadi suatu hari dia yang kau benci menjadi orang yang kau cinta” (HR. Tirmidzi).
Keempat, Oposisi ala pedal rem. Ia tidak akan “cawe-cawe” bila supir hanya menginjak pedal gas tatkala mobil melaju. Pedal rem akan selalu siap bila ada bahaya yang muncul. Pedal gas tak pula iri bila ia dilupakan. Ia sadar, kehadiran rem bertujuan membantu melakukan penyelamatan tatkala bahaya datang menghampiri.
Pedal gas dan rem harmonis karena memiliki tujuan yang sama agar selamat sampai ketujuan. Demikian seyogyanya pada manusia. Hal ini diingatkan Rasulullah SAW : “Ruh-ruh itu bagaikan pasukan yang dihimpun dalam kesatuan. Jika saling mengenal di antara mereka, maka akan bersatu. Bila saling merasa asing di antara, maka mereka akan berpisah” (HR. Muslim).
Demikian jelas sabda Rasulullah. Hanya ruh kebaikan akan bertemu dengan pemilik kebaikan. Sementara ruh munafik akan bertemu dengan komunitas sejenisnya. Semua komuni-tas di dunia akan dipertemukan kelak di akhirat. Bila yang dilakukan semata-mata untuk Allah dan Rasul-Nya, maka mereka akan dikumpulkan di surga-Nya. Namun, bila sebaliknya, maka mereka akan dikumpulkan di neraka-Nya.
Kelima, Oposisi mekanik mobil. Posisi ini meletakkan oposisi sebagai teknisi untuk memperbaiki dan mengawal sistem kerja mobil agar tetap sehat dan berjalan lancar. Ia hanya memperbaiki, bukan mengambil alih tugas supir, apatah merusak mobil. Ia hadir untuk merawat mobil agar sampai ke tujuan. Dalam proses perbaikan, mekanik melihat aspek kerusakan dan menginformasikan pada supir atau pemilik mobil atas kerusakan yang terjadi. Ada alat yang rusak hanya perlu diperbaiki dan ada pula yang harus diganti. Supir atau pemilik mobil yang cerdas akan mengikuti saran mekanik. Tapi, bagi supir atau pemilik mobil yang berfikir “konyol” akan menilai mekanik sebagai musuh yang harus disingkirkan. Pada dirinya tertanam kecurigaan terhadap mekanik. Sikap ini merupakan arogansi dalam memandang nasehat sesama, apatahlagi ahlinya yang menuntun pada kebenaran. Untuk itu, Rasulullah mengingatkan melalui sabdanya : “Sesungguh-nya termasuk dosa yang paling besar adalah ketika sese-orang berkata kepada saudaranya, ‘Takutlah kepada Allah’, lalu dia menjawab saudaranya itu : ‘Urus saja dirimu. Aku pula yang kamu suruh” (HR. Baihaqi).
Dalam sejarah, Rasulullah SAW tidak melihat siapa dan dari golongan mana sumber yang memberi nasehat, tapi yang dilihat hanya pada kualitas kebenaran (isi) nasehat yang diberikan. Hal ini juga disampaikan Sayidina Ali bin Abi Thalib melalui pesannya : “Jangan melihat siapa yang bicara tapi lihatlah apa yang dibicarakan”. Sungguh, kebenaran dan kebijakan bukan diukur dari segi usia, titel, posisi orang tua, keturunan, dan semisalnya, tapi semata lebih pada kematang-an memahami makna kebenaran ayat-ayat-Nya.
Dari paparan di atas, terlihat eksistensi oposisi menjadi keciscayaan. Namun, makna dan fungsi oposisi dan kloalisi perlu dipahami secara lebih beradab. Keduanya perlu menge-depankan kebenaran dan disampaikan secara bijak. Hal ini dinyatakan Allah SWT : “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhan-mu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk” (QS. an-Nahl : 125).
Demikian jelas yang digariskan Islam bila sebagai oposisi agar mendahulukan adab. Kehadirannya untuk penyeimbang, nasehat yang dihadirkan penuh adab, dan kritikannya cerdas untuk membangun. Namun, bila oposisi bak “baling-baling di puncak bukit”, hadirnya hanya sebatas bumerang bagi per-adaban. Pencitraannya hanya sebatas kepentingan pribadi atau golongan. Sifat manusia seperti ini diingatkan Allah pada firman-Nya : “Apabila engkau melihat mereka, tubuhnya mengagumkanmu. Jika mereka bertutur kata, engkau men-dengarkan tutur katanya (dengan saksama karena kefasihan-nya). Mereka bagaikan (seonggok) kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa setiap teriakan (kutukan) ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya). Maka, waspadalah terhadap mereka. Semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari kebenaran) ?” (QS. al-Munafiqun : 4).
Meski ayat demikian jelas, namun manusia berulangkali masuk dalam rayuannya. Meski jelas ancaman Allah, namun dianggap angin lalu dan tak dipedulikan. Demikian keras hati manusia, tak lagi berguna ajaran agama, hilang akal dan beku semua pancaindera. Semua tertutup kepentingan semu dan kebencian yang mengkristal.
Bila dianalisa kelima bentuk posisi oposisi di atas, agaknya pilihan keempat dan kelima di atas akan membawa kebaikan bagi membangun peradaban yang beradab. Semua pilihan tergantung dan menunjukkan kualitas diri. Pilihan keliru (salah) hanya dimiliki manusia pelaku kekeliruan (kesalah-an). Sedangkan pilihan bijak hanya dimiliki manusia pemilik kebijaksanaan. Retorika mungkin bisa dibangun untuk mengelabui sesama dan kadigjayaan mungkin mampu meredam gelombang. Tapi, semuanya tak akan mampu menipu hati nurani dan pengawasan Ilahi Robbi sang pemilik diri. Sebab, tak akan mungkin pernah bertemu air dan minyak, sebagaimana tak bertemunya pemilik kebenaran dan pelaku kesalahan (kejahatan) bila tidak sefrekuensi. Untuk itu, jangan sibuk melihat dan menilai orang lain, tapi lihat dan nilailah diri sendiri. Bagaimanakah kualitas karakter yang dimiliki setiap diri ? Sebab, begitu jelas terlihat di pelupuk mata ayat-ayat dan firman-Nya yang berulangkali mengingat-kan : “Maka, nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan ?”.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 23 Oktober 2023