Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Eksistensi al-Quran merupakan Kalam Allah yang dianugerah-kan-Nya untuk memperkenalkan kuasa-Nya kepada seluruh makhkuk ciptaan-Nya. Pada hakikatnya, seluruh ciptaan-Nya merupakan al-Quran yang patut dibaca untuk lebih mengenal Sang Pencipta. Ada kalam-Nya yang terhampar (kauniyah) dan ada pula yang tertulis (qauliyah). Sungguh, kebenaran ayat-Nya (tanpa batas) diperuntukkan pada makhluk, khusus pelajaran bagi manusia guna mengingatkan diri sebagai hamba dan khalifah-Nya di muka bumi. Untuk itu, semuanya perlu dibaca dan disyukuri tiada henti. Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “Seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan (menjadi tinta) ditambah tujuh lautan lagi setelah (kering)-nya, niscaya tidak akan pernah habis kalimatullah (ditulis dengannya). Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana” (QS. Luqman : 27).
Demikian luas kalam Allah, laksana lautan tak bertepi, bahkan melebihi seluruh ciptaan-Nya. Gambaran kuasa dan cinta-Nya pada makhluk yang tak berhujung, melamoaui semua yang ada. Demikian jelas semuanya bagi manusia yang terbuka hijab untuk melihat kuasa-Nya. Tapi, bagi manusia yang tertutup oleh hijab kejahilannya, maka meski kebenaran dipelupuk matanya pun tak mampu dilihatnya. Meski mata zahir mampu melihat dan mengetahui atas apa yang dilihat, namun tatkala mata hati dan akalnya tertutup oleh kesombongan, maka hilang semua kebenaran kalam-Nya. Bahkan, acapkali terkesan al-Quran sebagai kalam-Nya yang mulia secara sadar atau tak sadar, secara nyata telah dipermainkan dan didustakan (QS. al-Ma’un : 1).
Dalam beberapa kasus, ketika kitab al-Quran dipermainkan, dibakar, dikoyak, dan diinjak-injak oleh kaum kafir, maka sontak sisi keimanan seluruh umat Islam di muka bumi serentak meronta dan bangun membela kitab sucinya. Sebuah sikap keimanan yang patut dibanggakan dan dipertahankan. Sebab, sikap ini menunjukkan masih terjaganya iman pada diri dan siap tampil gagah berani menjaga kemuliaan ajaran Islam yang diyakininya. Sikap yang sangat mulia ini ditunjukkan seluruh umat Islam, tanpa melihat strata dan wilayah.
Namun, sikap mulia tersebut terbangun bila berkaitan dengan prilaku antar umat beragama dalam tataran fisik (syariat). Sementara pada prilaku intern umat beragama dalam tataran prilaku individu (hakikat) yang “memperjual-belikan” ayat al-Quran terkadang banyak yang tak peduli dan mendiamkannya. Padahal, sebenarnya masih tersisa prilaku individu intern pemeluk agama Islam yang –sengaja atau tak sengaja– telah mempermainkan al-Quran.
Ada beberapa tipikal prilaku pemeluk (intern) terhadap al-Quran, antara lain : Pertama, Tipikal umat yang gemar membaca, mempelajari, mengerti, dan mengamalkan al-Quran. Tipikal ini merupakan manusia yang menjadikan al-Quran sebagai pakaian (lahir dan batin) dirinya. Dalam hal ini, Allah mengingatkan melalui firman-Nya : “Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil)…..” (QS. al-Baqarah : 185).
Seluruh aktivitas dirinya merujuk pada tuntunan al-Quran. Ia jadikan al-Quran sebagai nutrisi bagi kesehatan iman dan pakaian atas totalitas prilaku atau adabnya. Kesemua dilakukannya sebagai pengejawantahan cerminan akhlak Rasulullah. Hal ini merujuk pada pernyataan Siti Aisyah RA (saat beliau ditanya oleh para sahabat tentang bagaimana akhlak Rasulullah), maka ia katakan bahwa : “Akhlak Rasulullah SAW adalah al-Quran” (HR. Muslim).
Jika wujud akhlak agung Rasulullah adalah al-Quran, maka mentauladani akhlak agung beliau adalah dengan mengamal-kan seluruh isi al-Quran. Tak hanya dalam urusan individu, keluarga, masyarakat, politik, berbangsa dan bernegara, serta seluruh dimensi kehidupan. Bukan hanya sebatas kata, tapi berikut perbuatan. Bukan hanya sebatas kata dan perbuatan, tapi berikut getaran hati dan fikiran, serta seluruh aliran darah berisi nutrisi kandungan al-Quran. Bila nutrisi al-Quran qauliyah bertemu dengan vitamin al-Quran kauniyah (diri dan alam), maka akan terpancar pertemuan kedua sisi kebenaran hakiki. Tatkala hal ini terjadi, maka akan diperoleh kenikmatan pertemuan hamba dan Rabbnya dalam pertemuan saling merindukan.
Untuk sampai ketingkatan di atas, minimal dimulai dari membaca yang tertulis, memahami, dan mengamalkannya. Namun, langkah tersebut perlu terus ditingkatkan sampai nutrisi al-Quran mengisi kalbu dan akal untuk menemukan inti berikut isi al-Quran yang terpampang dalam diri.
Dalam hadis qudsi, Allah berfirman : “Siapa saja yang disibuk-kan oleh membaca Al-Qur’an, hingga tak sempat dzikir yang lain kepada-Ku dan meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberinya balasan terbaik orang-orang yang meminta. Ingatlah, keutamaan Al-Qur’an atas kalimat-kalimat yang lain seperti keutamaan Allah atas makhluk-Nya” (HR. Baihaqi).
Menurut penulis, makna al-Quran pada hadis qudsi di atas merupakan wujud al-Quran tertulis (mushab) dan terhampar (diri dan alam). Sementara maksud “dibaca atau membaca” mengisyaratkan makna lahir dan batin, baik isyarat makna kata maupun makna disebalik kata. Pendekatan makna ini merupakan impian setiap hamba yang mengharapkan al-Quran bukan sebatas bacaan, ilmu, pedoman, atau nutrisi, tapi sebagai jembatan mengenal dan bersama-Nya. Ketika hamba ingin mengenal dan bersama-Nya, maka cerminan hidup adalah ketauladanan Rasulullah sebagai manivestasi al-Quran yang sebenarnya.
Kedua, Tipikal umat yang membaca dan mempelajari, tapi tanpa mengerti isi al-Quran. Tipikal ini belum mampu menjadikan al-Quran sebagai pedoman hidup, mengamalkan, dan menikmati manisnya nutrisi al-Quran. Untuk itu, perlu upaya menemukan nutrisi al-Quran melalui pencarian ilmu dan pengharapan hidayah-Nya. Meski capaian tipikal ini belum memperoleh inti nutrisi, namun kemuliaan atas apa yang dicapai perlu dipertahankan. Hanya saja, bila tidak diiringi sifat tawadhu’ dalam memahami al-Quran, maka akan hadir sisi kesombongan atas apa yang dilakukan. Ketika kesombongan hadir, maka begitu mudah iblis menggelincir-kannya pada sifat kerakusan, khianat, subyektif, dan prilaku negatif lainnya dengan berselindung dengan al-Quran. Padahal, semua sifat tercela yang dimiliki bertentangan dengan al-Quran.
Ketiga, Tak pernah membaca, mempelajari, dan mengerti, tapi siap mati membela al-Quran. Meski terkesan sebagai pemandangan umum, namun eksistensi pemilik tipikal ini masih memperlihat sisi keimanan yang menggelora. Untuk itu, perlu upaya menyelamatkannya melalui ajakan dan mengajarinya untuk membaca dan mengerti al-Quran. Sebab, bisa jadi ketidaktahuannya membaca al-Quran disebabkan tak ada yang mau.menuntunnya untuk bisa membaca dan mengerti al-Quran. Tapi, semangat keimanan yang dimiliki untuk membela al-Quran tak perlu diragukan.
Atas pemilik ketiga tipikal di atas, al-Quran akan tetap terjaga kemuliaannya. Meski berbeda kualitas, namun cinta dan adabnya terhadap al-Quran tak pernah berubah dan tetap terpelihara. Namun, ada pula prilaku ekstern dan intern segelintir oknum pemeluk agama. Paling tidak, pada pemilik 2 (dua) tipikal berikut, perlu disikapi secara serius. Pemilik 2 (dua) tipikal dimaksud adalah :
Pertama, Tak pernah mempelajari, membaca, mengerti, tapi “menginjak-injak” al-Quran. Adalah Salwan Momika dan Salwan Najem (warga Swedia keturunan Arab). Mereka menginjak kitab suci umat Islam itu, lalu membakar halaman-halamannya sebelum menutupnya. aksi pembakaran Al-Qur’an dilakukan Danske Patrioter (kelompok anti Islam) selama tiga hari berturut-turut. Aksi tersebut dilakukan di depan Kedutaan Turki ke Kopenhagen (Denmark). Demikian pula Salman Rushdie melalui novel The Satanic Verses (1988), melakukan penghujatan tentang Islam yang memicu kemarahan umat Islam seluruh dunia. Ada pula Rasmus Paludan (Belanda) yang menyobek al-Quran, dan beberapa oknum pembenci Islam lainnya di beberapa belahan dunia. Sungguh, mereka telah menginjak-injak al-Quran secara zahir (fisik). Kebiadaban mereka yang menghina al-Quran secara fisik dilakukan oleh individu pemeluk yang tak memahami (bahkan mungkin tak membaca) al-Quran secara baik. Tipikal sikap nista ini sangat mudah terlihat dan ditentang seluruh umat Islam. Penistaan yang dilakukan terhadap al-Quran secara fisik mudah dibuktikan. Sebab, ia melakukan-nya secara terang-terangan dan sengaja dipublikasikan. Antipati dan kebencian terhadap kitab suci umat Islam lebih didahulukan (ditonjolkan) ketimbang berfikir obyektif atas kebenaran yang terkandung di dalam al-Quran. Sikap bejat yang tak layak dilakukan oleh seorang manusia yang berakal.
Padahal, bagi segelintir umat non Islam yang berfikir obyektif (manusia berakal sehat), justeru takjub setelah membaca dan mempelajari al-Quran. Bahkan, mereka menemukan kebenaran yang dapat dibuktikan secara ilmiah. Mereka antara lain Neil Armstrong, Alfred Kroner, Mourice Bucaille, Durja Rao, dan lain-lainya. Mereka mengakui kebenaran al-Quran sebagai wahyu mulia yang relevan dalam seluruh dimensi kehidupan dan dapat dibuktikan secara ilmiah.
Kedua, Tipikal yang gemar membaca, mempelajari dan mengerti al-Quran, tapi tataran prilakunya justeru terindikasi mempermainkan al-Quran. Keanggunan dan kedekatannya dengan al-Quran hanya sebatas “topeng” menutupi karakter asli yang “memalukan” dan bertentangan dengan al-Quran. Ia bagaikan menyantap makan dan minum yang sehat, tapi tak berpengaruh pada kesehatan tubuhnya yang ternyata tetap sakit. Semua nutrisi makanan yang disantap hilang dimakan oleh “virus kanker” kesombongan yang menggerogotinya. Tipikal ini merupakan karakter umat yang meski menjunjung tinggi al-Quran secara syariat, akan tetapi telah menginjak-injak al-Quran secara hakikat. Namun, tipikal ini justeru selalu mendapatkan kepercayaan untuk “mengawal” al-Quran. Padahal, sikapnya bak pepatah “pagar makan tanaman”. Diharap kehadirannya untuk menjaga al-Quran, tapi ternyata hanya “menjual dan menginjak-injak” al-Quran. Tipikal ini merupakan prilaku yang memalukan dan menjijikan. Namun anehnya, eksistensinya sulit dapat dibuktikan. Ia bagaikan angin. Eksistensinya terasa ada tapi sulit dinyatakan (ditangkap). Apatahlagi tatkala asesoris “kebaikan” penjaga al-Quran telah dipakai, maka akan semakin sulit pula untuk disadarkan. Padahal, aromanya demikian jelas tercium membusuk dan berbelatung. Akibatnya, prilaku “menginjak-injak” al-Quran secara hakiki menempatkannya tak tersentuh kritik dan celaan sebagaimana terhadap prilaku menginjak-injak al-Quran secara zahir (syariat).
Sungguh, pemilik tipikal kedua ini sangat berbahaya. Ia tega menjual kebenaran dengan seribu dalih, menjual harga diri untuk memperoleh pundi dan prestasi, menjual rasa malu untuk memperoleh apa yang dituju. Topeng kebaikan di-pakai hanya untuk mengelabui agar karakter dirinya yang rusak tak terlihat. Menyebar fitnah dengan mencari kambing hitam menutupi aib ketidakmampuan.Tak lagi hadir ketakut-an atas ayat dan ancaman Allah, seiring hilangnya malu dan kuatnya dorongan kepentingan yang berkelindan. Karakter yang demikian menghantarkannya telah mengkhianati al-Quran secara hakiki.
Idealnya, bagi hamba yang beriman, senang membaca al-Qur’an (dalam makna yang luas), memahami, dan mengamal-kannya, diibaratkan seperti mengkonsumsi buah yang harum, manis, dan menyehatkan. Bagi hamba yang beriman, suka membaca al-Qur’an, tapi tak memahami dan tak pula mengamalkannya, diibaratkan seperti buah yang rasanya manis dan harum tapi tak menyehatkan. Bagi kaum fasik yang senang membaca al-Qur’an tapi tak mengamalkannya digambarkan seperti buah yang aromanya harum, namun rasanya pahit dan memabukkan. Bagi kaum fasik yang tidak suka membaca al-Qur’an dan mengamalkannya, digambar-kan seperti buah yang tidak beraroma, rasanya pahit, dan beracun. Sementara yang berbahaya bila gaya ala hidup bersama al-Quran, tapi prilaku justeru menginjak al-Quran.
Bila dianalisa secara seksama, membaca al-Quran perlu dipahami dalam 2 (dua) makna, yaitu : (1) makna lughawi dengan membaca secara zahir. Meski pilihan ini merupakan aktivitas mulia, namun perlu ditingkatkan untuk meraih al-Quran menjadi pakaian diri. (2) makna hakiki bukan sebatas membaca, tapi juga memahami, mengamalkan, dan menik-mati indahnya bersama dengan al-Quran. Pilihan ini merupa-kan capaian ideal yang seyogyanya diraih para penjaga al-Quran. Pilihan bijak perlu dilakukan untuk menjaga al-Quran, bukan pilihan menginjak-injak dalam makna berprilaku yang bertentangan dengan al-Quran.
Nutrisi al-Quran bagi manusia yang membaca, mempelajari, dan memahami untuk bisa menikmatinya seyogyanya menyehatkan akhlak (adab) dirinya. Bukan sebaliknya, dekat dengan al-Quran (berikut varian atributnya), namun ternyata menampilkan karakter pribadi tanpa adab dan berpenyakit hati kronis. Kondisi ini menunjukkan nutrisi al-Quran tak mampu bersentuhan untuk memberi pengaruh pada kesehatan adab diri. Hal ini pertanda tak bertemunya nutrisi al-Quran yang suci dengan diri yang “kotor”. Alangkah merugi dan nista hamba yang bersama al-Quran (bacaan dan memahami isinya), tapi tak menerangi dirinya dari kejahilan. Sosok manusia yang demikian dinukilkan bagai pepatah “ayam mati dilumbung padi”. Mereka akan merugi karena tak mampu menikmati nutrisi al-Quran secara utuh, padahal ia hidup bersama al-Quran. Sementara, prilakunya justeru ber-tentangan dengan al-Quran. Hal ini diingatkan dalam firman-Nya : “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan suatu kebohongan terhadap Allah atau yang mendustakan ayat-ayat-Nya ? Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu tidak beruntung” (QS. al-An’am : 21).
Sungguh, setiap diri bisa menutupi karakter “kejahilan” atas al-Quran, namun tak mampu menipu Allah dan Rasul-Nya. Bila nutrisi al-Quran belum mampu menyehatkan adab diri, maka berikhtiar dan bermunajat mohon ampunan pada Sang Pemilik Kalam. Berarti diri belum layak untuk menjadi “penjaga al-Quran”. Bila telah dianugerahkan untuk dapat menikmati nutrisi al-Quran yang mewarnai adab diri, maka tawadhu’ dan hiduplah bersama al-Quran secara totalitas (kaffah). Pilihan untuk menyadarinya senantiasa ada, tapi pertanggungjawaban kelak pasti akan diminta atas semua yang dipilih dan dilakukan.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 13 Nopember 2023