Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Ketika masa kecil, menjelang tidur seorang anak disuguhkan cerita serigala dan domba atau musang dan ayam. Isinya berkisah tentang kelicikan serigala dan musang yang menipu domba dan ayam untuk dimangsa-nya. Kisah tersebut bukan sebatas untaian cerita kosong, tapi susunan nasehat yang penuh makna. Intinya agar selalu waspada pada manusia yang bersifat licik.
Begitu bijak leluhur memberi nasehat pada anak keturunannya. Nasehatnya tersusun dalam kisah dan pepatah. Setiap kisah dan pepatah merupakan gerak fenomena yang terjadi, bukan nasehat “asal jadi” apatahlagi aturan yang tunduk pada pundi-pundi.
Di antara nasehat leluhur yang dinukilkan melalui pepatah adalah “serigala berbulu domba” dan “musang berbulu ayam”. Pepatah ini merupakan ungkapan (idiom) untuk menyebut sifat licik (munafik) yang wujudnya berbeda dengan karakter aslinya. Wujudnya bagaikan “malaikat” tanpa cela. Namun, disebalik semuanya, tersimpan niat jahat yang penuh kepalsuan tiada tara melampaui perilaku iblis yang ingkar. Hamba yang ber-watak demikian memiliki tujuan tersembunyi dan penuh tipu daya. Ungkapan kata dan janjinya penuh dusta, perilakunya wujud kemunafikan, hatinya penuh kebusukan, dan siasatnya licik penuh muslihat.
Melalui cerita tersebut, pesannya menukilkan berbagai varian tipuan yang dilakukan makhluk untuk menutupi keserakahan dan kekejaman yang sebenarnya dimiliki. Karakter manusia yang demikian perlu diwaspadai dan diantisipasi. Untuk itu, dalam sebuah hadis qudsi, Rasulullah SAW pernah bersabda : “Allah Ta’ala berfirman, sungguh telah benar-benar Aku ciptakan makhluk yang lisannya lebih manis dari madu. Namun, qalbunya lebih pahit dari kesabaran. Maka Aku bersumpah dengan diriku, pasti akan Aku timpakan kepada mereka fitnah yang menjadi-kan orang-orang yang telah dewasa tidak bisa menghindar. Apakah mereka hendak menipuKu atau mereka hendak berbuat lancang pada-Ku ?” (HR. at-Tirmidzi).
Demikian jelas dan pasti ancaman Allah terhadap manusia yang munafik. Al-Munawi menjelaskan bahwa secara tersurat, hadis di atas menjelaskan karakter manusia yang suka menipu pada tampilan lahirah dengan aksesoris kebaikan yang bertujuan memper-oleh sanjungan (riya’), sum’ah, dan menutupi sifat buruk lainnya. Mereka memakai baju wol yang kasar agar dinilai ahli ibadah (zuhud). Tutur katanya manis hanya sebatas menutupi cintanya terhadap kenikmatan dunia. Sementara sebenarnya ia sangat benci dan memusuhi pemilik kejujuran. Pada dirinya telah dipenuhi sifat dan syahwat hewan, serta hasrat keserakahan yang meng-gunung. Perilaku manusia yang berkarakter demikian telah diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Dan di antara manusia ada yang pembicaraannya tentang kehidupan dunia mengagumkan engkau (Muhammad), dan dia bersaksi kepada Allah mengenai isi hatinya, padahal dia adalah penentang yang paling keras” (QS. al-Baqarah : 204).
Melalui ayat di atas, Allah mengelompokan manusia dalam 2 (dua) golongan, yaitu orang munafik penuh kelicikan dan orang mukmin yang beramal untuk mencari ridha-Nya. Asbab al-nuzul, ayat di atas diturunkan ber-kenaan dengan seorang munafik bernama al-Akhnas bin Syuraiq al-Åqafi. Setiap ia ber-temu Rasulullah, ia selalu memuji Nabi dan mengucapkan kata-kata sanjungan yang mengagumkan. Bahkan, ia bersaksi kepada Allah mengenai isi hatinya. Ia bersumpah dengan nama Allah bahwa ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, padahal dia adalah penentang yang paling keras dan berprilaku licik. Di akhirat kelak, semua akan terungkap bahwa isi hatinya tidak sesuai dengan ucapannya.
Pasca wafatnya Rasulullah, ada pula salah seorang sahabat yang menutupi watak aslinya. Adalah seorang kaum Khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam. Melalui asesories dan “tanda ibadahnya”, Ibn Muljam dengan kejam membunuh sayidina Ali bin Abi Thalib. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 26 Januari 661 M, saat sayidina Ali memimpin shalat subuh di Masjid Agung Kufah.
Sejarah di atas terus terjadi sepanjang alam terbentang. Hanya beda pada subjek, objek, waktu, dan caranya. Sementara tujuannya tetap sama. Bahkan, semakin modern peradaban, semakin modern pula pendekatan yang dilakukan pemilik karakter “serigala berbulu domba” atau “musang berbulu ayam” yang hadir dalam kehidupan. Pakaian “bulu” yang dipilih sesuai objek yang akan dijadikan mangsa, meliputi pakaian zahir, status sosial, cara komunikasi, keturunan, kekuasaan, dan varian lainnya.
Dalam kehidupan, ada beberapa tipikal manusia yang berkarakter “serigala berbulu domba” atau “musang berbulu ayam”, yaitu :
Pertama, Karakter munafik dan pemilik kelicikan. Pemilik karakter ini dominan bermulut manis dan berperilaku baik, tapi menyimpan kedengkian dan dendam yang menggunung. Kata, janji, dan amanah yang diemban seakan membawa pesan kebaikan, namun semua hanya tampilan lisan semata. Pada tataran implementasi, semuanya tak terlihat dan berwujud. Kelicikannya melebihi “licinnya belut”. Mengobral segudang kata (janji), tapi miskin karya nyata. Sumpah dan katanya membawa nama agama seakan kehendak Allah, tapi sebenarnya sedang menginjak agama untuk menggapai keinginan diri. Untuk itu, agama dan keyakinannya diperjualbelikan guna meraih apa yang diinginkan. Tanda pemilik prilaku keji ini diingatkan Rasulullah melalui sabda-Nya : “Tanda-tanda orang munafik ada tiga, jika berbicara berdusta, jika berjanji meng-ingkari, dan jika diberi amanah mengkhianati” (HR. Bukhari dan Muslim).
Meski demikian jelas firman Allah dan sabda Rasul-Nya, namun tak membuat manusia mempedomaninya. Bahkan, anehnya pemilik sifat “serigala dan musang” kalanya lebih dihargai, dihormati, disanjung, dan dipercaya. Mereka hadir dalam komunitas dan frekuensi yang sama.
Kedua, Fitnah dan adu domba. Untuk mem-peroleh apa yang diinginkan, tak jarang pemilik karakter “serigala dan musang” melakukan fitnah dan adu domba terhadap komunitas yang ingin dimangsa. Hal ini dilakukan untuk melemahkan kekuatan objek yang akan dimangsa agar mudah dilumpuh-kan. Ketika energi lawan terkuras dan melemah, maka ia akan mudah menerkam dan memakannya. Pendekatan ini dianggap lebih efektif tanpa memerlukan biaya besar. Tapi, dampaknya justeru sangat bahaya dan mematikan. Fitnah layaknya senjata pemus-nah peradaban “masa depan” yang bersifat masif. Untuk itu, Allah SWT sangat membenci manusia penyebar fitnah. Untuk itu, Allah berfirman :“…Fitnah itu lebih berat daripada pembunuhan…” (QS. al-Baqarah : 191).
Fitnah pada dasarnya bermuara pada peri-laku adu domba. Melalui cara ini, tumbuh saling membenci, mencurigai, mencari aib sesama, dan putusnya silaturrahim (persatu-an). Hal ini pernah dialami bangsa Indonesia yang terpecah belah oleh kolonial Belanda melalui politik adu domba (devide et impera). Akibatnya, minoritas (kolonial) yang kuat mampu menguasai mayoritas yang rapuh. Untuk itu, Rasulullah mengingatkan bahaya adu domba melalui sabdanya : “Tidak masuk surga orang yang suka mengadu domba” (HR. Muslim).
Fitnah akan berkelindan dengan kepiawaian lidah berbohong, dengki, dan adu domba. Ketiganya hadir saling melengkapi. Hal ini dinyatakan Allah dalam firman-Nya : “Jangan-lah engkau patuhi setiap orang yang suka bersumpah lagi berkepribadian hina, suka mencela, (berjalan) kian kemari menyebarkan fitnah (berita bohong)” (QS. al-Qalam : 10-11).
Menurut Ibnu Katsir, kata qattat pada ayat di atas bermakna orang yang menguping pem-bicaraan orang lain tanpa sepengetahuan orang yang berbicara, lalu ia membawa pembicaraan tersebut kepada orang lain dengan tujuan mengadu domba. Dalam Islam, pemilik sifat ini merupakan tanda manusia fasik. Kata tabayun yang diucapkan sebatas skenario untuk membenarkan diri tanpa mau mendengarkan kebenaran pihak lain. Andai tabayun telah dilakukan, namun tak akan mampu merubah karakter “serigala dan musang” yang telah berurat dan berakar bersemayam dalam dirinya. Sebab, karakter ini sangat sulit dinasehati dan diperbaiki .
Ketiga, Malas dan serakah. Sifat ini men-dorong serigala dan musang menjalankan berbagai siasat agar bisa memangsa ternak yang ditemuinya. Ia malas berusaha tapi mau hidup enak, menguasai, dan menikmati. Ketika peternak sukses berusaha, muncul sifat iri dan dengkinya terhadap peternak. Namun, serigala dan musang sadar tak mampu menipu peternak, maka ia hanya menipu ternak yang lemah untuk dimangsa. Sifat ini merupakan perbuatan tercela. Untuk itu, Rasulullah mengingatkan melalui sabda-nya : “Jangan kamu saling dengki dan iri hati dan jangan pula mengungkit keburukan orang lain. Janganlah saling bermusuhan serta jangan saling menawar lebih tinggi atas penawaran yang lain. Jadilah hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, maka tidak boleh menzalimi, menelantarkan, mendustai dan menghinakan satu sama lain. Seseorang telah dikatakan berbuat jahat jika ia meng-hina saudaranya sesama muslim. Setiap muslim haram darahnya bagi muslim yang lain, demikian juga harta dan kehormatan-nya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ketika serigala dan musang berhasil menikmati hewan ternak yang diincar, maka muncul keserakahan untuk menguasai seluruh ternak untuk disantapnya. Sifat serakah ini menggerogoti dirinya untuk terus melakukan kekejian demi kekejian yang lain. Buruknya sifat serakah ini dinukilkan oleh Rasulullah melalui sabdanya : “Seandainya manusia diberi satu lembah penuh dengan emas, ia tentu ingin lagi yang kedua. Jika ia diberi yang kedua, ia ingin lagi yang ketiga. Tidak ada yang bisa menghalangi isi perutnya selain tanah. Dan Allah Maha Menerima taubat siapa saja yang mau bertaubat” (HR. Bukhari).
Demikian bahaya bila manusia memiliki sifat serakah. Tak ada ruang merasakan cukup atas apa yang ada. Pikirannya hanya untuk senantiasa menambah apa yang ada, meski dengan menghalalkan segala cara.
Keempat, Sombong. Ketika serigala dan musang berhasil menipu mangsanya untuk disantap, muncul sifat sombong pada dirinya. Sombong atas kelicikannya yang mampu menipu objek yang dimangsa. Sifat ini mem-buatnya terus mengulangi perbuatannya. Ia yakin dengan kemampuannya mampu menipu mangsanya dan lepas dari pengawas-an peternak. Sifat sombong yang demikian berpotensi dimiliki semua makhluk, tak terkecuali manusia. Untuk itu, Allah SWT mengingatkan melalui firman-Nya : “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri ” (QS. Luqman : 18).
Sungguh, kesombongan dan keserakahan serigala dan musang membuatnya lengah dan hilang kewaspadaan. Ketika euforia menikmati mangsanya, ia lupa pada jebakan yang disiapkan peternak. Akhirnya serigala dan musang terperangkap dan binasa oleh sifatnya yang malas dan serakah.
Kelima, Hilang rasa malu. Malu adalah sifat atau perasaan yang membentengi seseorang dari perbuatan tercela bak seekor hewan. Dalam Islam, malu merupakan bukti manusia yang berakhlak (adab). Perilaku serigala dan musang pada dasarnya ditopang hilangnya rasa malu. Ia tak malu (bahkan bangga) menikmati hasil yang tak pernah diusahakan-nya. Seakan, semua yang diperoleh dan dinikmati merupakan usaha dan kontribusi-nya. Untuk itu, ia nafikan keberadaan peternak yang telah berupaya membesarkan ternak yang akan disantapnya. Sifat tanpa malu yang dimiliki serigala dan musang membuatnya merasa tanpa bersalah mencuri dan memangsa ternak yang ada secara brutal. Andai sifat malu telah tiada pada diri serigala dan musang (apatahlagi manusia), maka wajar bila ia tanpa sungkan berbuat sesukanya. Sifat tercela ini diingatkan Rasulullah melalui sabdanya : “Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah : Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu” (HR. Bukhari).
Dalam kehidupan dunia, pemilik karakter “serigala berbulu domba” atau “musang berbulu ayam” terindikasi pada ucapannya yang berbeda dengan apa yang dilakukan. Tatkala ia berkata jujur sebenarnya pelaku ketidakjujuran, berkata tak berharap sebenarnya sangat berharap, berkata anti korupsi sebenarnya dalang korupsi, berkata paling adil sebenarnya ia pelaku kezaliman, berkata paling taat hukum sebenarnya ia pelanggar hukum, berkata sosok yang menjunjung tinggi kebaikan sebenarnya ia pelaku kejahatan, berkata membawa nama agama dan Allah sebenarnya ia melecehkan agama dan mempermainkan Allah, berkata sosok yang shaleh sebenarnya ia sosok yang salah, atau berbagai varian positif padahal sebenarnya negatif. Kebaikan bukan untuk disombongkan. Sebab, penilaian kebaikan atau kehebatan bukan milik diri, tapi penilaian orang lain terhadap diri. Bila yang menilai dan mengatakan diri sendiri, maka hadir kesom-bongan dan menunjukan perilaku sebaliknya yang ditutupi. Pada waktunya, semua akan terbuka karena demikian janji Allah dan Rasul-Nya. Untuk itu, selama lidah terbiasa ber-dusta dan nafsu menjadi “raja” di hati, maka akal dan seluruh anggota tubuh tak mampu membantah. Pada gilirannya, kelak Allah mengunci lidah agar tak bisa berkelit, seiring waktunya seluruh anggota tubuh bersaksi atas apa yang dilakukan. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka ; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksian-lah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan” (QS. Yasin : 65).
Acapkali semua ayat Allah dan sabda Rasulullah tak lagi mampu menyadarkan manusia untuk merubah perilakunya. Ketika hal ini terjadi, mungkin jawabannya ada pada QS. al-A’raf : 179. Sebab, Allah telah menempatkannya melebihi sifat serigala dan musang. Begitu jelas firman Allah, namun seakan tak mampu menyadarkan hamba. Atau mungkin hamba telah lupa karena begitu nikmatnya menjadi “serigala dan musang”. Pilihan ini membuat hamba keasyikan dan tak memperdulikan lagi ayat-Nya. Sungguh, menilai sesama sebagai serigala dan musang memang mudah. Namun, menyadari diri sebagai serigala dan musang sangatlah sulit. Tapi, pada waktunya Allah akan memperlihatkan semua buah perilaku yang selama ini disembunyikan. Saat itu, hanya tersisa penyesalan belaka.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 26 Pebruari 2024