Oleh : Dr. H. Abu Anwar, M.Ag (Ketua STAIN Bengkalis)
Pernyataan Menteri Agama Republik Indonesia, H. Yaqult Cholil Qoumas mewacakan fungsi Kantor Urusan Agama (KUA) menjadi pusat layanan semua agama menuai kontroversi di tengah-tengah masyarakat. Pernyataan tersebut berangkat dari kegelisahan Gusmen bahwa saudara-saudara non-muslim selama ini melakukan pencatatan nikahnya di dukcail. Padahal dalam realita di lapangan, letak geografis daerah yang berbeda beda dan terkadang jauh dari pusat pemerintahan, maka salah satu cara untuk membantu mereka dalam urusan administrasi bidang agama yaitu melalui KUA.
Kementerian agama sebenarnya pengejawantahan dari ideologi pancasila sila pertama yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sila tersebut merupakan perubahan sila pertama pada Piagam Jakarta yaitu “Ketuhanan, dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Perubahan ini merupakan respon politik masyarakat Indonesia timur yang menilai sila tersebut sebagai bentuk diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI mengadakan rapat. Atas kerendahan hati para tokoh Islam seperti Ki Bagus Hadikoesoemo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Teuku Hasan, menyetujui perubahan sila pertama menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kementerian agama sebagai rumah besar umat beragama seharusnya sebagai penyangga cita-cita pendiri negara tersebut diatas, yaitu mengimplementasikan ideologi pancasila dalam kehidupan beragama. Pancasila sebagai ideologi negara dan bangsa merupakan titik temu (kalimatun sawa) antara negara dan agama. Keduanya mempunyai wilayah yang berbeda, tapi pada kontek berbangsa dan bernegara, keduanya mempunyai titik temu dan menjadi perekat yang kuat dalam membangun persatuan dan kesatuan negara republik Indonesia. Dalam persoalan tersebut, agama dan negara memang tidak terpisah, namun tidak berarti bahwa antara keduanya itu identik. Sebab, agama dan negara dalam Islam, meskipun tidak terpisahkan, namun tetap dapat dibedakan. Dengan demikian, dari sudut pandang Islam, pernyataan bahwa Indonesia bukanlah negara sekular (artinya bukan negara yang menganut sekularisme berupa pemisahan negara dari agama) dan bukan pula negara teokrasi (artinya bukan negara yang kekuasaanya dipegang para pendeta, rohaniwan) adalah dapat dibenarkan (Madjid, 2010).
Peran kementerian agama pada tataran ini sebenarnya menjadi sangat penting dan menjadi kementerian yang konsisten menjaga ekistensi NKRI dalam keberagaman. Hal ini berangkat dari sejarah ada tiga kelompok besar ingin membentuk Indonesia dengan dasar ideologi eklsusif. Pertama kelompok Islam mengusulkan agar Indonesia berdasarkan syariat Islam. Sedangkan kelompok sekuler, meninginkan agar republik ini berdasarkan pandangan sekuler. Kedua pandangan tersebut sangat kontradiktif dan tidak ada titik temu. Jika dibiarkan, maka Indonesia akan berpecah belah. Sebagai jalan tengah, para pendiri bangsa tidak setuju pada negara agama dan tidak setuju pada negara sekular, tapi negara beragama yang diikat oleh ideologi pancasila sebagai wujud titik temu sebagaimana yang telah diterangkan dalam Q.S. Ali Imran [3]: 64 berbunyi: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.
Ayat tersebut merupakan common platform dalam kontek keindonesiaan yang membentuk manusia Indonesia yang religius dan tetap bisa konsisten dalam negara kesatuan (Madjid, 2010). Kementerian yang mempunyai peran besar mewujudkan cita-cita besar negara Indonesia adalah Departeman Agama. Ia mempunyai peran besar dalam memperat prinsip persaudaraan sesama manusia, persamaan manusia, dan kebebasan melaksanakan hak-hak yang dijamin dalam konstitusi (Mulia, 2021).
Berdasarkan analisis konstitusi dan agama sebenarnya tidak ada persoalan yang urgen berkaitan dengan wacana gusmen ingin menjadikan KUA sebagai rumah bersama umat beragama dalam kontek hirarki kelembagaan di lingkungan kementerian agama. Sebab salah satu tugas dari kementerian ini adalah membangun kesetaraan dalam keadministrasian sebagai wujud persamaan hak dan kewajiban sebagai sesama warga negara Indonesia.
Meskipun peran KUA pada permulaan kelahirannya hanya khusus untuk administrasi kepentingan umat Islam semata berdasarkan PMA nomor 11 tahun 2007. Namun melihat realita, bahwa kua secara filosofis perpanjangan dari kementerian agama pada tingkat yang lebih atas, maka tidak menjadi persoalan ketika fungsi KUA diperluas lagi atas dasar keadilan sesama warga negara, yaitu bukan hanya melayani persoalan administrasi warga yang beragama Islam, tetapi juga non-muslim yang menghadapi berbagai persoalan teknis seperti jarak jauh kabupaten dan masyarakat yang berada di kecamatan atau pedesaan, kendala letak geografis berupa pegunungan dan kepulauan yang membutuhkan biaya besar.
Jadi, jika wacana Gusmen mengingingkan KUA sebagai tempat untuk kegiatan administrasi dalam melayani kepentingan umat beragama di tingkat kecamatan, adalah ide yang sangat relevan dalam membangun harmonisasi dan kesetaraan pelayanan terhadap keberagaman agama dan keyakinan yang tumbuh di Indonesia. atas dasar pemikiran tersebut, saya secara pribadi mendukung Menteri Agama RI untuk menjadikan KUA sebagai kantor yang mengurus/melayani semua agama di Indonesia.