Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Besi merupakan salah satu unsur benda padat (keras) yang ada di alam semesta. Ia bahkan disebutkan secara istimewa dalam al-Quran. Eksistensinya bermanfaat dalam kehidupan manusia. Bahkan, nama besi diabadikan oleh Allah sebagai nama surat dalam al-Quran, yaitu surat al-Hadid. Kata ini diulang oleh Allah sebanyak 5 kali. Di antaranya Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan mem-bawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Alkitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat melaksana-kan keadilan. Dan Kami menciptakan besi yang di atasnya kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya, walaupun (Allah) tidak dilihat. Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa” (QS. al-Hadid : 25).
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir mengatakan bahwa ayat “…Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat...” maksudnya sebagai alat mem-bentengi diri. Sebab, Allah jadikan besi sebagai sarana untuk menjelaskan kebenaran pada orang yang membang-kang terhadap ayat-ayat Allah. Padahal begitu nyata hujah disampaikan dihadapan-nya. Namun semua tetap diingkari. Besi yang keras (peralatan perang) dimungkin-kan sebagai media meluluhkan kerasnya hati manusia saat itu. Sementara di sisi lain, besi menjadi sumber rezeki dan media mencari rezeki untuk mengolah kekayaan yang ada di muka bumi.
Namun, eksistensi besi memiliki keterkaitan dengan sifat kemanusiaan yang digembleng selama bulan ramadhan. Keterkaitan tersebut antara lain :
Pertama, Besi bersifat keras dan bisa dibentuk. Besi yang bisa dibentuk dapat melindungi dan memberi manfaat.
Besi memiliki sifat yang kuat. Kekuatan besi disebutkan melalui kisah nabi Daud AS dan Iskandar Dzulkarnain. Keberadaan besi menjadi ujian bagi manusia. Sebab, dari besi bisa dibuat baju besi, senjata, peralatan pertanian, atau perlindungan diri lainnya. Bila kekuatan besi digunakan untuk membela agama dan Rasul-Nya, maka selamatlah diri. Tapi bila kekuatan dan sifat besi digunakan untuk meng-hadirkan “tangan besi”, maka hina dan binasalah diri.
Ramadhan merupakan bulan ke-9 dalam kalender hijriah yang ditetapkan pada tahun 412 M. Bulan ini merupakan bulan mulia. Kemuliaannya memuat adanya perintah puasa (berikut keistimewaannya), bulan “diturunkan-Nya” lailatul qadar, bulan amaliah dilipatgandakan, serta bulan turunnya wahyu pertama dan diterima oleh Rasulullah SAW secara langsung melalui perantara malaikat Jibril AS.
Secara bahasa, ramadhan berarti panas menyengat atau membakar. Pilihan nama ini disebabkan posisi matahari pada bulan ramadhan jauh lebih menyengat dibanding bulan-bulan lain. Untuk itu, merujuk ayat di atas, Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan “makna panas karena melalui amaliah selama bulan ramadhan akan mengugurkan (membakar) dosa-dosa sebelumnya.” Makna ini lebih tepat untuk mengartikan ramadhan dalam konteks “panas”. Sebab, seiring waktu dan perganti-an musim, kehadiran bulan ramadhan tak selamanya menghadirkan cuaca panas. Untuk itu, makna panasnya ramadhan lebih dipahami secara metaforik (kiasan). Makna ketika selama berpuasa tenggorok-an terasa panas karena kehausan, atau diharapkan dengan ibadah-ibadah yang dilakukan, maka dosa-dosa terdahulu hangus terbakar (mendapat ampunan).
Kedua, Besi keras, namun bila dibakar akan meleleh. Allah SWT berfirman : “Berilah aku potongan-potongan besi. Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulkarnain, ‘Tiuplah (api itu). Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api’, dia pun berkata, ‘Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar aku kutuangkan ke atas besi panas itu ” (QS. al-Kahfi 96).
Ramadhan merupakan bulan menempa karakter hamba (character building). Hal ini dinyarakan Allah melalui firman-Nya : “Dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaan-Nya). Maka, Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan-nya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu dan sesungguh-nya merugilah orang yang mengotori-nya” (QS. asy-Syams : 7-10).
Sungguh, bila ayat di atas difahami secara seksama, hanya hamba terpilih yang akan dianugerahkan hidayah dan ilham-Nya. Keterpilihan ini menghantarkan hamba mampu memanfaatkan ramadhan untuk memiliki karakter kesucian (takwa). Melalui kesucian yang diraihnya, karakter kemuliaan seorang hamba akan terbentuk. Melalui karakter yang mencontoh atau mentauladani akhlak Rasulullah. Namun, tatkala manusia menjauh dari Allah dan Rasul-Nya, maka hidayah dan ilham-Nya akan menjauh dari dirinya. Sebab, ia memasuki ramadhan bagai mandi dalam sungai, tapi tak berupaya membersihkan kotoran pada dirinya. Meski ia keluar dari sungai, ia hanya sekedar basah namun tak mampu membersihkan kotoran yang melekat. Demikian halnya hamba yang diberikan kesempatan bertemu bulan ramadhan, namun gagal membersihkan diri dan membangun karakter yang mulia. Hal ini diingatkan Rasulullah melalui sabdanya : “Barangsiapa tidak menghenti-kan perkataan-perkataan dusta dan melakukan kedustaan itu, Allah tidak butuh dengan lapar dan hausnya” (HR. Bukhari).
Begitu jelas, tegas, dan lugas Rasulullah SAW mengingatkan umatnya agar memanfaatkan ramadhan sebagai media melatih pengendali diri dari ucapan dusta. Namun, sebagian manusia justeru menjadi-kan dusta sebagai pilihan dan trend utama-nya. Sabda Rasulullah seakan tak dipeduli dan peringatan nabi tak dihiraukan. Bahkan, trend berkata dusta menjadi profesi dan karakter manusia sepanjang zaman. Semua dilakukan hanya untuk mengejar gemerlap kehidupan duniawi dan melupakan kehidupan ukhrawi yang abadi. Sumpah yang diucap mengatas-namakan Allah dan Rasul-Nya, tapi pilihan perilaku menantang kalam Allah dan sabda Rasulullah. Begitu kerasnya hati dan nafsu manusia, melampaui kerasnya besi yang masih bisa ditempa dan dibentuk untuk kemashlahatan bersama. Tapi kerasnya hati dan nafsu manusia yang tak mampu “dibakar oleh ramadhan” akan melahirkan malapetaka dan kemudharatan bagi alam semesta.
Menyadari dampak di atas, maka sebaik-nya setiap hamba menyadari dan memper-baiki diri. Mulai lakukan perbaikan diri meski melalui kebajikan sederhana dan membiasakan bersikap jujur pada persoalan kecil dan sederhana. Bila hal yang kecil dan sederhana saja tak mampu dilakukan, maka bagaimana mungkin bisa melakukan hal yang besar. Bila pada diri sendiri saja tak mampu untuk jujur, maka pengkhianatan besar akan dianggap biasa dan mudah dilakukan.
Ketiga, Besi menjadi lunak, terbentuk indah, dan bernilai tinggi ketika hadir kerjasama harmonis antara penjaga api yang amanah dan penempa besi yang berkemampuan tinggi. Keduanya begitu harmonis menjaga ikatan persahabatan-nya untuk menempa besi. Tak ada yang merasa lebih mulia atau hina. Keduanya begitu rukun dalam melaksanakan tugasnya masing-masing. Setelah berhasil menorehkan hasil kerjanya, tersungging senyum puas diwajah keduanya. Bantuan yang dihadirkan begitu tulus telah meng-hantarkan “karya” bernilai tinggi. Hal ini berlangsung dalam waktu yang lama. Keharmonisan keduanya merupakan manivestasi dari firman Allah dan akhlak Rasul-Nya. Ia nuzulkan al-Quran dalam hati dan terpancar pada karakter diri yang beradab. Karakter hamba yang demikian melahirkan hamba yang akan memperoleh kemuliaan dihadapan Allah dan dibangga-kan oleh Rasulullah SAW.
Sungguh, keharmonisan penempa besi yang menghadirkan nilai al-Quran dan mentauladani adab Rasulullah SAW telah menyadarkan sisi kemanusiaan modern yang semakin terkoyak, “telanjang”, dan keagamaan yang bersifat temporer. Hadir seakan harmonis tatkala ada kepentingan dan mumculnya “ketakutan” struktural. Keharmonisan dan kepatuhan yang penuh kepentingan dan tipu daya. Bila keduanya hilang seiring waktu, maka sirna ketakutan bersamaan hilangnya penghormatan semu yang selama ini ditampilkan. Pada saat-nya, hadir nyata karakter asli yang penuh kemunafikan dan tipu daya. Sungguh tak terlihat atsar (bekas) sujud (QS. al-Fath : 29), syahadatain (HR. Bukhari Muslim), puasa (QS. al-Baqarah : 183), zakat (QS. at-Taubah : 103), haji (QS. Ali Imran : 97), ilmu (QS. al-Mujadalah : 11), dan amaliah lainnya yang selama ini telah dikerjakan. Semua tanpa bekas seiring kembalinya sifat asli yang demikian keras tak mampu berubah dan terbentuk oleh semua amaliah yang telah dilakukan.
Andai Ibnu Hajar tersentuh hatinya melalui tetesan air yang mampu melobangi batu cadas yang keras, namun tersisa manusia yang tak mampu membekas kebaikan sedikitpun pada hatinya. Berarti, keras hati oleh kejahilan melebihi kerasnya besi dan batu cadas. Semakin banyak nikmat diperoleh, semakin kokoh kesombongan ditoreh Semakin jelas ayat Allah, semakin nyata minta disembah. Begitu meruginya manusia yang berkarakter seperti ini. Padahal, demikian nyata dan berulangkali Allah ingatkan melalui firman-Nya. Melalui surat ar-Rahman, Allah SWT nyatakan setidaknya 31 kali kalimat “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”. Begitu pula nyatanya ketauladanan yang telah ditampilkan Rasulullah SAW, tapi tak pernah dijadikan pedoman. Segelintir manusia alpa dan seakan ingin mempermainkannya. Sayang-nya, sebagian dilakukan oleh manusia yang berilmu dan mengerti, bahkan mengaku ahli munajat ternyata memilih jalan sesat. Semua terjadi akibat kerasnya hati yang melampaui besi atau batu cadas, bahkan semua benda paling keras lainnya. Ketika bulan ramadhan (panas membakar) tak mampu menghancurkan kejahilan diri, apagahlagi bulan lain di luar ramadhan. Kejahilan semakin membeku, tanpa rasa, dan keras tak bisa dibentuk. Sungguh, jangan mempermainkan dan menjual agama untuk membeli gemerlap dunia. Kelak, Allah akan membuka semua tipu daya dan kebohongan, meski engkau menutupi. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Dan mereka (orang-orang kafir) membuat tipu daya, maka Allah pun membalas tipu daya. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya” (QS. Ali Imran : 54).
Ayat di atas secara tegas mengingatkan manusia bahwa tipu dayanya hanya akan sia-sia. Mungkin pada manusia tipuannya berhasil, tapi tidak dihadapan Allah SWT Yang Maha Mengetahui. Untuk itu, hamba yang bijak akan kembali ke jalan Allah.
Melalui keberkahan ramadhan, ia ketuk pintu kesadaran diri sebagai hamba-Nya, sembari memohon ampunan dan meng-harap syafaat Rasul-Nya. Melalui hidayah-Nya dan syafaat Rasulullah, seorang hamba akan menuju nilai kebajikan. Melalui upaya ini, memungkinkannya manusia mampu melunakkan hati, sifat keangkuhan, tipu daya yang tersembunyi, dan kemunafikan tak bertepi untuk kembali ke jalan Allah (ad-din hanif). Melalui upaya ini, seorang hamba akan mampu “membekaskan” gerak diri (atsar amal) sesuai ajaran-Nya.
Munajat pinta semoga diri ini termasuk hamba yang selalu dianugerahkan untuk menikmati kebersamaan dengan-Mu. Setiap gerak dan untaian nafas ini hanya wujud rindu tanpa huruf hanya pada-Mu yaa Ilahi Rabby.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 1 April 2024