Oleh : Dr. H. Abu Anwar, M.Ag (Ketua STAIN Bengkalis)
Menurut Qurais Shihab, wasathiyah tidak bisa dimaknai secara tekstual sebagai tengah-tengah. Lebih dari itu, wasathiyah adalah ketegasan seseorang untuk bersikap adil. Menurutnya, ibarat seorang wasit di dalam pertandingan sepak bola yang memimpin pertandingan tidak harus selalu berada di tengah, tetapi ia dituntut dapat menegakkan keadilan di lapangan,” terangnya, Rabu (16/11/2022). Lalu bagaimana agar seorang muslim memiliki sikap wasathiyah ? menurut Said Aqil Husein al-Munawwar harus mempunyai keluasan ilmu.
Sebagai Muslim sangat dituntut untuk bersikap moderat (wasathiyah). Kaum muslimin sebagai umat yang moderat harus mampu mengintegrasikan dua dimensi yang berbeda yaitu dimensi ‘theocentris’ (حبل من الله) dan ‘anthropocentris’ (حبل من الناس). Tuntutan tersebut bukanlah tuntutan zaman, tetapi tuntutan al-Qur’an yang mau tidak mau (wajib) dilaksanakan. Makna wasathiyah tidak sepantasnya diambil dari pemahaman para ekstremis yang cenderung mengedepankan sikap keras tanpa kompromi (ifrâth), atau pemahaman kelompok liberalis yang sering menginterpretasikan ajaran agama dengan sangat longgar, bebas, bahkan nyaris meninggalkan garis kebenaran agama sekalipun (tafrîth). Makna Islam sebagai agama wasathiyah harus diambil dari penjelasan para ulama, agar tidak memicu kesalahpahaman atau missunderstanding dan sikap intoleran yang merusak citra Islam itu sendiri. Pemahaman makna wasathiyah yang benar mampu membentuk sikap sadar dalam melaksanakan ajaran Islam yang moderat dengan makna yang sesungguhnya (أمةً وسطًا), mewujudkan kedamaian dunia, tanpa kekerasan, tidak atas nama golongan tertentu, ras, ideologi bahkan agama. Maka dapat dipahami bahwa konsep wasathiyah dalam Islam bukanlah ajaran baru. Bukan pula suatu ijtihad pemikiran yang baru muncul pada abad 20 Masehi atau 14 Hijriah. Melainkan telah dicontohkan langsung oleh Rasulullah SAW sebagai prinsip dasar dalam menjalankan berkehidupan sehari-hari.
Rasulullah pernah menampilkan sikap wasathiyah ketika berdialog dengan para sahabat. Kisah yang direkam dan bersumber dari Aisyah ini menceritakan tiga orang sahabat yang mengaku menjalankan agamanya dengan baik. Masing-masing dari ketiga sahabat itu mengaku rajin berpuasa dan tidak berbuka, selalu shalat malam dan tidak pernah tidur, dan tidak menikah lantaran takut mengganggu ibadah.
Rasulullah pada saat itu menjelaskan secara tegas bahwa beribadah memiliki kadarnya masing-masing. Harus ada keseimbangan antara tanggungjawab keagamaan dan tanggungjawab pribadi. Rasulullah memberika jawaban walaupun dirinya adalah seorang utusan Allah SWT, ia tetap harus berbuka puasa, tidur/istirahat, dan menikah. Dan jelas bahwa Nabi adalah hamba istimewa karena menjadi utusan Allah untuk memperbaiki akhlak umat manusia.
Apa yang dilakukan Rasulullah sejalan dengan semangat Islam untuk tidak berlebih-lebihan (israf) dalam segala aspek kehidupan manusia termasuk ibadah. Demikianlah salah satu prinsip wasathiyah, yaitu tidak condong secara berlebih-lebihan pada sesuatu yang sudah ada takarannya masing-masing. Tidak boleh melampuai batas.
Dalam ibadah, umat Islam dilarang untuk ghuluw (QS. an-Nisa: 171). Dalam muamalah dilarang keras untuk israf (QS. al-A’raf: 31). Dalam perang membela agama pun umat Islam tidak membolehkan melakukan tindakan-tindakan di luar batas seperti merusak tumbuhan, membunuh hewan dan menyakiti anak-anak, lansia serta perempuan (QS. al-Baqarah: 190). Konsep-konsep dasar ini adalah pijakan menjadi seorang muslim yang wasathiyah.
Apa tujuannya? supaya umat Islam terhindar dari bahaya cara berpikir yang ekstrim dan menimbulkan kemudharatan bagi banyak orang sehingga sering menyalahkan orang lain dan menganggap dirinya atau kelompoknya paling benar. Islam mendorong umat muslim untuk menjadi ummat yang selalu ada di tengah supaya tidak berat sebelah yaitu adil.
Dalam kitab al-Mu’jam al-Mufahras li al-Alfazh al-Qur’an al-Karim, Muhammad Fuad Abd al-Baqi, menyebutkan kata wasatha dalam al-Qur’an disebut lima kali dengan segala maksud dan konteks penggunaannya.
Wasathna (وَسَطۡنَ), berarti “berada di tengah-tengah” terdapat dalam QS. Al-Adiyat ayat 5:
فَوَسَطۡنَ بِهٖ جَمۡعًا
“Lalu menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh.”
Wasathan (وَسَطًا), yakni “sikap adil dan pilihan”, terdapat dalam QS.al Baqarah ayat 143:
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا
“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat wasath agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”.
Awsith (اَوْسَطِ), yaitu “tidak berlebih-lebihan” terdapat dalam QS. al-Maidah ayat 89:
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللّٰهُ بِاللَّغْوِ فِيْٓ اَيْمَانِكُمْ وَلٰكِنْ يُّؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُّمُ الْاَيْمَانَۚ فَكَفَّارَتُهٗٓ اِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسٰكِيْنَ مِنْ اَوْسَطِ مَا تُطْعِمُوْنَ اَهْلِيْكُمْ اَوْ كِسْوَتُهُمْ اَوْ تَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafaratnya (denda pelanggaran sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi mereka pakaian atau memerdekakan seorang hamba sahaya.”
Aswathu (اَوْسَطُ), maknanya “yang paling bijaksana”, terdapat dalam QS. Al Qalam ayat 28:
قَالَ اَوْسَطُهُمْ اَلَمْ اَقُلْ لَّكُمْ لَوْلَا تُسَبِّحُوْنَ
Berkatalah seorang yang paling bijak di antara mereka, “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, mengapa kamu tidak bertasbih (kepada Tuhanmu).”
Wustha, kata ini berkaitan dengan waktu-waktu salat, terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 238:
حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوٰتِ وَالصَّلٰوةِ الْوُسْطٰى
“Hendaknya kamu menjaga waktu-waktu salat dan salat wustha..”
Berdasarkan dari segala turunannya, kata wasathiyyah melahirkan konsep Islam moderat. Dengan demikian, jika kita menggali dari uraian para mufassir, wasath atau moderat itu paling tidak mengandung lima pengertian.
Pertama, wasathiyah atau moderat berarti “baik atau menjadi yang terbaik.”
Allah SWT berfirman:
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Ayat di atas sebagai perintah untuk membentuk sebuah perkumpulan yang terorganisir dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar. Bila perkumpulan tersebut dilandasi keimanan kepada Allah dan sukses menjalankan amar ma’ruf nahi munkar, maka janji Allah akan memberinya status sebagai khair al-ummah (umat terbaik). Dalam Sabda Nabi tersirat bahwa khair al-ummah berarti sekelompok manusia yang paling banyak menebar manfaat bagi manusia (khair al-nas anfa’uhum li al-nas).
Karenanya, ciri dari ummatan wasathan yang terdapat dalam QS. al Baqarah ayat 143 adalah sekelompok muslim yang senantiasa memberikan pertolongan kepada orang lain, menyalurkan bantuan-bantuan kemanusiaan pada yang membutuhkan, dan senantiasa memberikan kebahagiaan dan kegembiraan kepada orang-orang di sekelilingnya.
Kedua, wasathiyah atau moderat adalah “menebar nilai utama.”
Islam Wasathiyah senantiasa menebar nilai-nilai utama seperti kepantasan, kebaikan, kelaziman, dan lain sebagainya. Ini diilhami dari QS. Al-Adiyat ayat 5 tentang pasukan berkuda yang menembus ke tengah-tengah musuh. Dari sana timbul pengertian bahwa Islam sebagai sebuah agama harus benar-benar dipahami sebagai penebar nilai-nilai utama di tengah-tengah kemaksiatan dan kezaliman. Nilai utama tersebut telah memiliki konsepnya yang disebut dengan akhlak.
Akhlak adalah kecenderungan jiwa untuk bersikap dan bertindak. Ada yang sifatnya utama disebut dengan akhlakul karimah. Tergambar dari hadis Rasulullah SAW ketika ditanya tentang amalan yang paling banyak mengantarkan manusia masuk surga, beliau menjawab: “Taqwallahi wa husnul khuluq”, yakni bertakwa kepada Allah dan berakhlak yang mulia (HR. Tirmidzi). Akhlak terpuji yang paling dasar ialah jujur, amanah, bertanggungjawab, dan dapat diandalkan.
Ketiga, wasathiyah atau moderat berarti “adil dalam bersikap.”
Allah SWT berfirman:
اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ
“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil.”
Adil adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya. Orang yang adil adalah orang yang memiliki ilmu. Tidak mungkin seseorang yang tidak berilmu mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Karenanya, sebelum menjadi orang yang adil, harus menjadi orang yang berilmu.
Allah SWT berfirman:
يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ ۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Artinya: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Keempat, wasathiyah atau moderat bermakna “seimbang antara dunia dan akhirat.”
Islam wasathiyah berarti mampu hidup secara seimbang antara dunia dan akhirat. Keberhasilan di akhirat dapat dicapai dengan ibadah dan amal kebaikan selama berada di dunia. Tidak terlalu tenggelam dalam pesona materialisme duniawi tetapi juga tidak terlalu hanyut dalam arus spiritualisme akhirat. Singkatnya, ajaran Islam sangat menitikberatkan pada keseimbangan ruh dan jasad, dunia dan akhirat.
Allah SWT berfirman:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.”
Kelima, wasathiyah atau moderat berarti “proporsional dlm ibadah dan muamalah.”
Ciri khas yang paling melekat dari islam moderat adalah tidak berlakunya ifrath atau berlebih-lebihan dan tafrith atau meremeh-remehkan.
Ummatan wasathan adalah mereka yang mampu menempatkan ajaran Islam secara proporsional. Misalnya, dalam hal ibadah, segala hal mulai dari tuntunan, ukuran, waktu, volume, dan lain-lain harus disesuaikan dengan dalil al-Quran dan al-Sunnah. Sementara itu, dalam kehidupan muamalah dan segala kegiatan sosial lainnya dibolehkan kecuali unsur-unsur yang telah tegas dilarang dalam agama. Persoalan ibadah harus memiliki dimensi masa lalu yang kuat dan permasalahan muamalah harus berorientasi ke masa depan yang cerah.
Itulah ciri-ciri dari Islam Wasathiyah yaitu menjadi yang terbaik, menebar nilai-nilai utama, adil dalam bersikap, seimbang antara dunia dan akhirat, dan proporsional dalam menjalankan ibadah dan muamalah.
Semoga kita senantiasa menjadi khalifah Allah di muka bumi yang senantiasa menyebar rahmat dan menghalau mudharat, mempermudah bukan mempersulit, moderat bukal radikal, memahami Islam bukan sekedar tektual tapi harus kontektual.
0000000ooo0000000