Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Pulau Bengkalis memiliki sejarah kearifan lokal yang unik, keramat, dan misteri. Ia pernah menjadi pusat ekonomi, politik, dan pendidikan, namun terlupakan. Sejak berabad lamanya, pulau ini berperan sebagai “pelabuhan antara” hasil padi dari hulu sungai Siak, Petapahan, dan Tapung. Kapal yang membawa padi dan hasil bumi lainnya terlebih dahulu singgah di pulau Bengkalis sebelum melanjutkan perjalanan ke Johor dan Malaka. Untuk itu, tak heran bila pulau ini disebut “Negeri Jelapang Padi”. Sebutan yang menandai negeri ini wilayah makmur, strategis secara geo-ekonomi dan politik.
Kondisi di atas menarik perhatian VOC untuk menjadikan pulau ini sebagai ibu kota Sumatera Timur. Wilayahnya ter-bentang mulai dari Tanjungpura, Langkat, Lubuk Pakam, Serdang, Bedagai, Siantar, Batubara, Tanjung Balai, Asahan, Rantau Prapat, Kota Pinang, Kualu, Panai, Bagan, Siak, Pekanbaru, dan Selatpanjang.
Fenomen di atas menjadi bukti sejarah. Namun, eksistensi pulau ini memiliki “kemisterian” nyaris terlupakan. Sebab, kajiannya lebih pada objek immaterial yang terbuka peluang untuk diperdebat-kan. Sebab, informasinya berbekal pada cerita nenek moyang tempo dulu secara temurun, tanpa pernah ditulis. Padahal, eksistensinya tak bisa dilepaskan dengan kearifan lokal yang begitu terjaga di pulau Bengkalis, antara lain :
Pertama, Pulau terapung yang keramat. Dalam hikayat, pulau Bengkalis merupakan pulau terapung dan tak menghunjam ke perut bumi. Meski demikian, eksistensi pulau ini tak hanyut diterpa ombak. Sebab, eksistensinya diikat oleh sebatang pohon jati (Tanjung Jati).
Andai hikayat pulau ini demikian adanya, maka Hukum Archimedes seakan tak berlaku. Sebab, jika setiap yang terapung akan terbawa arus. Meski pulau Bengkalis berada dijalur Selat Melaka yang memiliki ombak cukup tinggi, tapi tak hanyut. Berarti tak semua yang terapung dapat hanyut secara terori. Sebab, ada wilayah realita yang hanya bisa dibuktikan pada ruang disebalik yang ada (ilmiah). Untuk itu, jika ingin menguji misteri keramatnya pulau ini, cobalah khianat dan hadir tak beradab, maka tunggu turunnya azab.
Kedua, Pulau bersemayam para wali Allah. Meski tradisi masyarakat Bengkalis berbeda dengan masyarakat di Pulau Jawa yang begitu tinggi penghormatannya terhadap para wali, bukan berarti Pulau Bengkalis tanpa kehadiran wali Allah. Bahkan, negeri ini menyimpan sejarah para wali utama (masyhur). Adalah Fakih Ghani, Habib Hamid, dan masih banyak lagi wali mastur yang bersemayam di pulau ini sebagai bukti sejarah yang terlupakan. Padahal, bagi segelintir ulama yang memahami dan mengakui kualitas kewaliannya, eksistensinya tak diragukan lagi. Para wali merupakan hamba pilihan yang diamanahkan-Nya di setiap wilayah untuk terjaga adab manusia. Hal ini sesuai firman-Nya : “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman (para wali *pen)” (QS. al-Maidah : 55).
Para wali Allah merupakan hamba pilihan yang istiqamah pada aturan Allah. Pada-nya terjaga adab yang beradat. Andai adab dan adat telah ditinggalkan, maka manusia hilang sisi kemanusiaan dan gugur semua statusnya. Ia akan berubah menjadi sisi kebinatangan. Hal ini diingatkan Allah dalam firman-Nya : “….. mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mem-punyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan-nya untuk mendengar-kan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah” (QS. al-A’raf : 179).
Meski ayat demikian jelas, namun kejahil-an manusia menggiring pada jalan kehina-an. Akibatnya, kehadiran wali Allah akan dilupakan dan diingkari. Seiring semakin liarnya menginjak adat dan adab demi mengharap puji untuk memperkuat posisi.
Ketiga, Pulau bermukim para pejuang, bukan tempat datang para pecundang. Hal ini dibuktikan melalui “Perang Sosoh” (1949). Laskar Rakyat Sabilillah yang dipimpin KH. Imam Bulqin yang berjuang bersama Khalifah Darman, Ali Dasuki, Kiyai Ihsan, ABRI, seluruh ulama dan masyara-kat bersatu melawan agresi Belanda di Desa Pedekik. Peristiwa ini menjadi saksi kepahlawan ulama dan rakyat pulau Bengkalis dalam mempertahankan marwah diri dan NKRI. Dengan senjata apa adanya, tak menyurutkan mereka bersabung nyawa melawan Belanda. Sejumlah pahlawan tertulis dengan tinta emas dalam sejarah. Mereka ikhlas tanpa pamrih, apatahlagi pamer dan ingin dipuji. Darah, nyawa, dan derai air mata pejuang tertumpah di pulau ini. Melalui darah, keringat, tetesan air mata, dan asa para syuhada’ di negeri ini, menghadirkan zuriyat bermental pejuang untuk mengisi kemerdekaan. Zuriyat yang berupaya membangun peradaban dan memikirkan kemashlahatan umat. Sementara bagi pengkhianat dan hanya berpangku tangan melahirkan zuriyat pecundang semata. Mereka hanya hadir menikmati hasil, lalu menghacurkan peradaban yang telah tertata. Kehadiran yang hanya menyebar-kan mafsadah bagi alam semesta.
Keempat, Pulau bertuan yang begitu teduh, bukan tempat pembuangan manusia yang membuat gaduh. Pulau tempat yang damai tanpa mengenal SARA bagi pembawa pesan beradat dan nilai kebaikan. Pulau “bertuan” dengan adat dan adab. Bila datang beradab disambut baik. Tapi, bila tak beradab akan hancur pada waktunya. Sebab, secara historis telah terbukti nyata. Bengkalis pada masa lalu memegang peranan penting dalam sejarah. Daerah ini menjadi tempat pertemuan para pedagang Melayu, Jawa, Arab, Palembang, Minangkabau, Jambi,
Aceh, Kedah, Perak, Johor, Penang, Patani, Siam, Kamboja, dan lainnya. Pilihan pulau Bengkalis sebagai pelabuhan disebabkan secara geografis, pulau Bengkalis berada di Selat Malaka yang teduh. Letak Pulau Bengkalis yang strategis dan terbuka mem-buat eksistensinya menjadi pelabuhan internasional jauh sebelum Sir Stamford Raffles (Inggris) membangun Singapura sebagai basis pelabuhannya.
Meski pulau Bengkalis menjadi tempat pertemuan para pedagang dunia, namun karakter masyarakat Melayu yang inklusif, membangun kenyamanan dan keamanan para pedagang. Karakter Melayu yang teduh selama pendatang membawa bendera persahabatan. Sejarah membukti-kan, pulau Bengkalis tak pernah terjadi gejolak dan pertikaian. Wajar bila sejak dulu negeri ini aman dan damai. Namun, pulau ini bagai “harimau tidur”. Jangan pernah coba mengusik dan membangun-kannya. Dalam sejarah, gejolak perlawan-an hadir tatkala VOC datang membawa niat jahat, kegaduhan, fitnah, menginjak adat, menodai agama, dan sosok “tamu” tak beradab. Bila adat diinjak dan kegaduh-an yang dibawa, maka pantang bagi anak Melayu berdiam diri. Bak pepatah leluhur jadi pengingat : “selangkah berpantang surut, setapak berpantang mundur. Sekali layar terkembang, pantang biduk kembali ke pantai”. Bila baik disambut baik, bila jahat pantang merasa takut. Bila adat dijunjung dan adab jadi pakaian diri, maka ketika amanah telah dipikul, malu bila tak mampu berbuat. Sebab, amanah dipikul dengan harga diri sebagai taruhan. Demi-kian sifat pemilik garis pejuang, mem-bangun negeri tiada berpantang. Berbeda bagi pemilik garis pecundang, ia hadir bak “baling-baling di puncak bukit” angkuh bak batang ilalang. Semua muara sesuai hasrat, tak pernah peduli hukum akibat.
Pulau Bengkalis penuh misteri. Setiap yang hadir akan diseleksi. Bila beradab, selamatlah diri. Bila khianat binasalah badan. Bila yang hadir berbaju adab pasti disambut secara adat. Tapi, bila datang tak beradab, pongah membusungkan dada, dan menginjak adat, maka tunggu “sabda” pulau keramat. Pelaksana hukum Ilahi Rabbi. Seleksi alam begitu dahsyat. Bila tak sadar musnahlah diri.
Sebab, pada waktunya Allah akan memerintahkan alam untuk mengadili. Hamba beradab akan mulia, hamba khianat akan nista dan terhina. Demikian janji Allah dalam al-Quran : “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka bagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. ar-Ruum : 41).
Para mufassir menjelaskan tafsiran yang berbeda terhadap kata ifsad atau fasad pada ayat di atas. Ibnu ‘Abbas mengarti-kan kekafiran. Ada pula mufasir lainnya mengartikan prilaku yang meninggalkan ketaatan pada Allah, melakukan kemung-karan, dan sifat kemunafikan. Bila prilaku fasad dilakukan, maka alam ini akan bereaksi melaksanakan perintah-Nya untuk mengadili setiap manusia atas apa yang diperbuat. Agar pilihan bijak (taqwa) dapat diraih, maka jadilah hamba-Nya secara totalitas (kaffah). Tapi, bila hanya menjadi hamba-Nya sebatas asesories, sedangkan hakikat diri pengikut iblis, maka kehinaan yang akan dipetik.
Bengkalis pulau beradat, damai, dan ber-agama. Hanya hamba amanah, beradab, dan beradat yang akan selamat. Bengkalis pulau keramat, tak akan bisa selamat bila menginjak adat. Apatahlagi bila berniat membabat dan khianat. Sebab, pendiri dan penjaga pulau ini senantiasa menjadikan adat dan agama sebagai pedoman. Setiap langkah selalu dihitung dan diperhitung-kan, kata bukan sembarangan kata tapi untaian fatwa yang mengandung makna, semua prilaku selalu difikirkan terlebih dahulu, karakter cermin adat yang beradab dan adab yang beradat.
Namun, jika langkah sumbang yang diayunkan, prilaku tak bercermin adat yang beradab, hati yang tak bersih, niat yang tak lurus, fitnah yang bernanah, dan kata menusuk rasa, alamat diri akan binasa. Tunggulah negeri ini akan “bereaksi”, menunjukkan kebesaran Ilahi. Begitu munajat para leluhur, pedoman hidup agar berkah dan selamat, atau sebaliknya.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 6 Mei 2024