Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Ikan Arwana (osteoglossidae) merupakan salah satu species ikan air tawar yang tersebar di seluruh dunia, mulai dari Afrika, Asia Tenggara, Australia, dan Amerika Selatan. Ikan Arwana digolongkan sebagai jenis ikan air tawar purba. Studi genetik menemukan fosil ikan Arwana setidaknya telah hidup di bumi sejak 220 juta tahun yang lalu. Di kawasan Asia Tenggara, spesiesnya terdiri atas Arwana Hijau, Arwana Emas, Arwana Perak, dan Arwana Merah. Karena bentuk dan warnanya yang cantik dan indah, maka bagi pecinta ikan hias, eksistensi ikan Arwana memiliki nilai jual yang tinggi.
Terlepas asal muasal dan jenis spesies-nya, ikan Arwana memberikan pelajaran bagi manusia dan berkorelasi dalam kehidupan nyata, antara lain :
Pertama, Ikan Arwana memiliki nilai tergantung siapa yang melihat. Bagi tukang ikan di pasar, nilainya hanya puluhan ribu rupiah per kilo gramnya. Bagi penjual ikan hias, harganya berkisar ratusan ribu rupiah. Tapi, bagi pecinta ikan hias, harganya berkisar puluhan juta rupiah, bahkan melampaui harga kewajaran.
Meski objeknya sama, tapi terjadi perbeda-an nilai terhadap ikan Arwana. Demikian pula pada manusia. Meski objek diri yang sama, namun akan terjadi perbedaan penilaian sesuai siapa yang menilai (melihat). Bila yang menilai datang dari “lawan”, maka tak ada kebaikan yang terlihat dan tak ada nilai apa yang pernah dibuat. Semua hanya sebatas “bangkai ikan busuk” yang pantas dibuang. Sebaliknya, bila yang menilai datang dari “kawan”, maka tak ada kekurangan yang terlihat. Semua kekurangan dianggap wajar dan ditutupi. Karya dihargai dengan pujian dan decak kagum kebanggaan.
Kedua kelompok penilai di atas menghadir-kan penilaian subyektif yang sangat mem-bahayakan, baik pada penilai maupun terhadap yang dinilai. Sebab, bagi “pihak lawan” yang membenci, ia hanya akan menghadirkan cemooh dan fitnah atas apa yang dinilai. Mereka hanya menghadirkan permusuhan yang tak bisa didamaikan. Sebab, kebenciannya lebih didahulukan ketimbang kebenaran hati dan akalnya. Mereka hadir secara pribadi dan kolektif. Kelompok ini sangat dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Sebab, kehadirannya hanya membuat kebencian yang menghangus-kan nilai kemanusiaan. Sedangkan bila penilaian hadir dari kelompok “kawan”, maka sanjungan lebih didahulukan. Pujian selalu menggema dan pembelaan selalu dikedepankan. Secara naluriah, kelompok ini selalu lebih disukai dan “mendapat posisi”. Akibatnya, bila diri yang dinilai tak berhati-hati, ia akan terperosok pada sanjungan, merasa paling sempurna, dan paling baik. Bila tidak diwaspadai, maka pribadi yang dinilai akan semakin tersesat melakukan kesalahan. Sebab, ia akan selalu dibenarkan dan dibela oleh “penyanjungnya”.
Sementara bila yang menilai diri berasal dari manusia ideal (ulul albab), akan hadir penilaian yang obyektif. Ketika salah akan dikatakan salah untuk diperbaiki. Bila dinilai benar akan dikatakan benar untuk dipertahankan (istiqamah). Namun, tipe ini kurang disenangi padahal, pemilik sifat ini merupakan wujud firman Allah : “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. al-Baqarah: 216).
Namun, kelompok ini justeru kurang dibutuhkan dan selalu dibenci. Sebab, naluriah manusia hanya ingin dipuji dan dinilai benar atas semua yang dilakukan. Demikian nilai ikan Arwana ternyata berkorelasi terhadap manusia. Sejuta kebaikan dan prestasi yang telah diukir akan dipandang tak pernah ada oleh manusia yang membenci (lawan). Anehnya, meski si pembenci hadir tanpa memberi manfaat bagi peradaban, tapi ia dipandang mulia dan hebat bagi kawan dan pemilik kepentingan. Namun, ketika kepentingan telah sirna atau diperoleh, maka ia akan ditinggalkan para penjilat yang sebelumnya hadir paling depan. Ketika masa ini terjadi, hanya penderitaan yang akan dipanen.
Berbeda dengan manusia ideal yang memiliki nilai hakiki. Meski penduduk dunia menilai tanpa arti, tak peduli, bahkan tak membencinya, tapi penduduk langit akan mencatatnya dengan tinta emas. Sebab, keberadaannya sangat terkenal dan menjadi pembicaraan penduduk langit. Hal ini dapat dilihat dari sosok Uwais al-Qarni. Meski tampilannya menjadi cemoohan penduduk bumi, tapi mulia dan suci menurut penduduk langit.
Kedua, Bila hewan (ikan Arwana) berharga karena bentuk dan warna yang indah, maka manusia berharga karena adab dan taqwa. Dimensi taqwa berwujud peng-hambaan kepada-Nya secara totalitas dan menghadirkan karya yang bermanfaat bagi peradaban. Hal ini merujuk pada firman-Nya :“Sesungguhnya yang paling mulia dihadapan Allah di antara kalian adalah yang paling bertakwa” (QS. al-Hujurat : 13).
Meski manusia berupaya memamerkan keindahan dan keanggunan diri secara fisik, tapi bila tak diiringi keindahan pakaian rohani, maka ia akan sia-sia. Tampilan lahiriyah hanya dipersolek, kata bijak tapi penuh dusta, harta untuk membeli tahta, dan perilaku penuh tipu.
Mungkin semua yang dimiliki akan mem-buat kagum penduduk bumi, tapi hina dan nista dalam pandangan penduduk langit. Sebab, melalui kemunafikan dan kezalim-an yang dikemas anggun. Meski dihadap-an manusia disanjung mulia, namun di sisi Allah ia akan terhina melebihi hewan. Demikian janji Allah dalam firman-Nya: “Barangsiapa dihina-kan Allah, tidak seorang pun yang akan memuliakannya. Sungguh, Allah berbuat apa saja yang Dia kehendaki” (QS. al-Haj : 18).
Ketika kondisi sebagaimana dinyatakan ayat di atas terjadi, maka seekor ikan Cupang mungkin jauh lebih berharga dibandingkan diri manusia yang nista. Untuk itu, Rasulullah SAW mengingatkan melalui sabdanya : “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim).
Meski ayat demikian jelas dan tak sedikit yang tau, namun pada tataran realitas sulit ditemukan. Seakan ayat sebatas bacaan, tanpa dijadikan pedoman dan diamalkan.
Ketiga, Jangan memaksa dan meminta manusia menilai diri sosok yang baik dan mulia. Apatahlagi membeli untuk seakan mulia. Sebab, tugas manusia hanya bisa berusaha berbuat baik dan benar. Kemuliaan hanya milik Allah dan hak-Nya pula untuk memberi kepada hamba yang dikehendaki. Meski mungkin apa yang dilakukan tak pernah dianggap baik dan mulia, tapi yakin bahwa Allah senantiasa melihat dan menepati janji-Nya. Sebab, penilaian manusia didorong hawa nafsu dan kepentingan yang terlempar dari tuntunan agama dan kebenaran.
Keempat, Ikan Arwana, semakin besar semakin menampilkan warna sisiknya yang indah dan enak dipandang. Ia persembahkan warnanya yang terindah dan anggun sebagai wujud ungkapan syukur pada Allah. Ia tampilkan warnanya yang indah untuk membahagiakan semua yang melihatnya.
Sementara tak demikian terjadi pada sebagian manusia. Segelintirnya begitu indah ketika “kecil”, tapi menyakitkan mata dan hati setelah “besar”. Sebab, semakin besar manusia, semakin terlihat warna asli karakter dirinya. Berbahagialah bila ketika “besar” memiliki karakter berwarna indah dan menyejukan mata yang melihat. Tapi, celakalah diri bila semakin “besar”, namun hanya memangsa dan menzalimi sesama.
Secara zahir, warna karakter manusia perusak peradaban hanya akan menyakit-kan mata dan merusak nilai kemanusiaan. Tapi, secara hakikat, warna karakternya tersebut telah merusak dirinya sendiri. Sebab, warna karakternya tersebut telah merusak dan membutakan mata hatinya.
Bila hati telah mati, membuat mata buta dan akal tertutup. Ia tak mampu melihat kesalahan dirinya yang membusuk. Mata-nya hanya melihat dan akalnya selalu cerdas untuk melihat kesalahan lawan. Hatinya menjadi banker dendam yang tak mampu dilunakan kebenaran dan hidayah-Nya. Sifat ini dicela oleh Rasulullah SAW yang dinukil melalui sabdanya :
“Orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang menaruh dendam kesumat (bertengkar)” (HR. Muslim).
Dendam hadir karena kekerdilan diri untuk saling menghargai. Dendam menjadi semakin masif bila didukung komunitas sejenis yang sepakat melanggengkannya. Anehnya, manusia pemilik sifat ini selalu disanjung dan dipuja, padahal ia begitu hina dihadapan Allah dan Rasul-Nya.
Sungguh, warna dan nilai seekor ikan Arwana akan semakin tinggi seiring pertumbuhan fisiknya yang membesar. Sementara, nilai manusia terkadang semakin tak memiliki nilai tatkala semakin “besar” atau merasa besar. Ukuran nilai kemuliaan atau sebaliknya tak bisa dipaksakan pada semua orang. Untuk itu, hadirkan penilaian ikan Arwana pada manusia yang mengerti atas nilainya. Jangan pernah menyerahkan penilaian pada manusia yang tak mengerti dan tak mau mengerti. Sebab, hasilnya akan sia-sia belaka. Bagi manusia seperti ini, kebaikan dinilai salah, apatahlagi kesalah-an akan semakin dinilai salah. Untuk itu, Sayidina Ali bin Abi Thalib RA pernah berpesan : “Tak perlu menjelaskan tentang dirimu kepada siapa pun. Sebab, mereka yang menyukaimu tak membutuhkannya dan mereka yang membenci tak akan pernah mempercayainya” .
Demikian kehidupan di dunia ini. Bagi mereka yang membencimu, meski sejuta kebaikan yang ditoreh, tapi tak pernah dianggap ada. Bahkan, mereka akan selalu menyebarkan fitnah kebencian. Tapi, bagi mereka yang menyukaimu, setetes kebaik-an akan terlihat nyata dan digunungkan melampaui alam semesta.
Kelima, meski ikan Arwana bernilai tinggi, tapi ia tak pernah meminta bagian pundi-pundi yang diperoleh si penjual. Ia hanya menghadirkan keindahan dan kebahagia-an, tanpa pamrih materi dan pujian. Semua dihadirkan sesuai sunnatullah atas ciptaan-Nya. Dengan ketundukan yang dihadirkan oleh seekor ikan Arwana, maka nilainya menjadi tinggi dan ditinggikan-Nya. Ikan Arwana tak pernah minta dinilai berharga, tapi ia dihargai oleh manusia yang mengerti atas kualitas dirinya. Sungguh, ikan Arwana memberi dampak ekonomis bagi kesejahteraan manusia, bukan menghancurkan ekonomi dan merugikan pihak lain. Sementara segelintir manusia justeru memilih sebaliknya. Semakin bernilai, semakin angkuh, melanggar aturan dan adab, serta berupaya mengumpulkan pundi atau kompensasi tanpa peduli agama dan aturan. Bak pepatah “tak ada makan siang yang gratis”. Semua gerak ada hitungannya dan setiap “kebaikan” ada kompensasinya. Hadir hasrat ingin dipuji, tapi melalui jalan tipu muslihat yang keji.
Untuk itu, pasang niat ikhlas dan kembali-kan semua pada Yang Maha Kuasa. Setiap benda ada nilainya, meski tak semua nilai perlu wujud bendanya. Sebab, nilai mulia tanpa wujud adalah kepuasan hamba yang ikhlas tanpa pujian. Biarkan penilaian atas diri hadir alami. Semua penilaian sangat tergantung pada kualitas diri yang menilai.
Serahkan semua penilaian atas apa yang lakukan pada Allah semata. Kembalikan semua pada-Nya untuk mengadili perbuat-an hamba atas semua kezaliman yang dilakukan. Pada waktunya semua yang ditanam akan diperlihatkan. Mungkin diri ini sedang diuji dengan cinta-Nya atas totalitas penghambaan pada-Nya. Yakin selalu terpatri, bahwa Allah akan hadir menunjukan kebesaran-Nya untuk meng-hancurkan semua kebiadaban yang ada.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 20 Mei 2024