Oleh : Saifunnajar (Dosen STAIN Bengkalis)
“Qarun itu adalah termasuk kaum Nabi Musa ‘AIaihis Salam”. (QS. Al-Qashash, Ayat:76).
Kemudian ditafsirkan sendiri oleh Al-Qur’an pada kalimat berikutnya bahwa Qarun itu adalah manusia yang sombong dan zalim kepada rakyatnya, dan dia diuji oleh Allah dengan berbagai jenis kekayaan, sehingga jadilah seorang hartawan yang digambarkan anak kunci gudang penyimpanan hartanya sangat berat dipikul oleh orang-orang yang memiliki postur kuat waktu itu.
Kata yang digunakan Al-Qur’an di sini “Mafatihahu”, Jamak Taktsir, artinya ada banyak anak kunci, dan barangkali penekananya untuk menarik perhatian pada kuantitas dan kualitas anak kunci dan kekayaan yang dimiliki qarun.
Dengan kekayaan yang diberikan oleh Allah Swt kepada Qarun, ia kemudian menjadi lupa diri, melupakan Allah, dan bersifat sombong kepada sesama manusia. Sampai Qarun berkata bahwa kekayaan yang ia miliki saat itu karena hasil kepandaiannya (ilmunya) sendiri. Qarun akhirnya mendapat kritik dan nasehat dari masyaratnya “janganlah sampai bersifat sombong, karena berjiwa sombong itu Allah tidak menyukainya”. Namun Qarun tidak mau mendengar dan peduli dengan nasehat tokoh masyarakatnya waktu itu.
Suatu kali Qarun pamer kekayaan (baca QS. Al-Qashash, Ayat 79). Dengan mengadakan pawai keliling kota, dengan memakai pernik perhiasan yang menarik rakyatnya. Sehingga banyak rakyatnya terpengaruh dan berkhayal, ingin mendapatkan kesenangan dunia serta berkata “Alangkah baiknya kalau kita ada kekayaan seperti yang didapati Qarun itu. Sesungguhnya Qarun adalah seorang yang bernasib baik”. Namun waktu itu ada pula rakyatnya yang masih berfikir waras, diberi ilmu oleh Allah, dengan mengatakan “janganlah kamu berkata demikian. Sebenarnya pahala yang Allah berikan lebih baik bagi orang beriman dan beramal sholeh, dan tidak akan dapat menerima pahala yang demikian itu kecuali bagi orang-orang yang sabar” .
Maka tidak lama setelah kejadian itu, Qarun dibinasakan oleh Allah dengan dilenyapkan ke dalam bumi termasuk rumahnya, sehingga dijelaskan oleh Allah tidak ada siapapun yang dapat menolong menyelamatkan dirinya, dan ia sendiri tidak dapat berbuat apa-apa.
Melihat kejadian bencana itu, orang-orang yang tadinya terpengaruh berangan-angan seperti Qarun barulah sadar dengan berkata “Aduhai, benarlah kiranya Allah Swt lah yang melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya dan membatasi bagi siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Seandainya Allah tidak melimpahkan karunia-Nya kepada kita, tentu Dia telah membenamkan kita pula. Aduhai, benarlah tidak akan beruntung orang-orang yang mengingkari nikmat Allah.
Allah memperingatkan dengan firman-Nya surah Al-Qashash, ayat 77 : “Carilah karunia pahala Allah untuk negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepada kamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia, dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan”.
Jadi begitu, harus diingat bahwa tujuan kehidupan ini untuk mengingat jangka panjang di akhirat. Mencari kehidupan dunia juga perintah dan syariat yang harus dijalani. Asal saja tidak pokus untuk tujuan dunia semata seperti yang dilakukan qarun, dia lupa bahwa kekayaannya hanya titipan dan sebagai ujian dari Allah, seharusnya dengan kekayaannya itu digunakan untuk berbagi dan menolong kepada sesama rakyatnya.
Dengan kesadaran bahwa yang dia miliki itu perbuatan baik dari Allah. Bukan untuk dijadikan alat kesombongan dan berbuat sekehendaknya (Fasada fil Ardhi).
Apa yang digambarkan oleh Allah dalam Al-Qur’an hanya sebagai contoh saja. Qarun telah binasa berabad-abad yang lalu. Namun pada abad ini, kalau dilihat substansi ceritanya, kisah Qarun tetap masih relevan untuk menjadi peringatan bagi kita, baik yang hidup kaya atau yang tak berpunya. Bagi yang merasa hidup miskin janganlah merasa terlalu kecewa dan bagi yang merasa kaya jangan terlalu gembira. Hidup miskin kaya sudah ada dalam catatan buku besar kita masing-masing. Namun Allah meminta kita agar berilmu, beriman dan beramal sholeh. Beramal Sholeh dalam hal ini berusaha, bekerja menapaki kehidupan masing-masing, namun serahkan hasilnya kepada Allah Swt dan harapkan pahala di sisi Allah Swt dengan balasan surga. Bukan untuk disombong-sombongkan. (Lihat juga QS. Al-Hadid, Ayat 23).
Allahu A’lam bi al-showab.