Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Judul tulisan ini menjadi kurang biasa dijadi-kan tema kajian. Biasanya, ia menjadi objek, bukan subjek kajian. Meski soal pengurangan yang sangat sederhana, tapi melalui judul di atas, terselip pelajaran yang sangat berarti dalam melihat sisi kehidupan. Ada beberapa pelajaran yang bisa diambil atas fenomena 100-1=0 dan 1-100=1000, antara lain :
Pertama, 100 kebaikan acapkali tak pernah dihargai dan mendapatkan apresiasi. Meski 100 kebaikan telah dilakukan, hampir tak ada yang peduli, mempertimbangkan, dan memperbincangkannya. Sementara pada segelintirnya –acapkali– hanya 1 kesalahan, manusia justeru menjadi tertarik untuk dijadikan bahan pergunjingan dan dasar menimpakan hukuman, bahkan lintas generasi yang konon berpendidikan, cerdas, dan berbudaya.
Kedua, 100 kebaikan tak menjadikan diri memperoleh pujian dan kelak dikenang. Ia akan diapresisasi pada waktunya dan sirna pada masa selanjutnya. Tapi, hanya ketika 1 kesalahan atau tak sesuai yang diinginkan ditemui, maka kesalahan tersebut akan lebih diingat untuk dihujat atau dicibir dalam waktu yang lama.
Meski gunung emas terpampang megah akan dianggap awan yang berlalu. Meski kelemahan tak ditemui, berbagai upaya merekayasa mencari kelemahan akan dilakukan. Bila setitik kekurangan mampu dicari dan dihadirkan, maka ia akan “dilautkan”. Demikian sifat manusia hadir ketika mata dan hati buta oleh kebencian yang menghitam.
Ketiga, 100 kebaikan tak pernah abadi, tapi 1 kesalahan lebih dominan dan abadi. Hadirnya sifat dendam, benci, pengkhianatan –berikut varian lainnya– hadir bukan disebabkan oleh 100 kebaikan, tapi hanya disebabkan 1 kesalahan atau ketidaksempurnaan. Bahkan, bagi pemilik sifat iri dan dengki, kebencian hadir bukan disebabkan kesalahan. Ia hadir karena hati yang mengalami kerusakan.
Pada sifat ini, kebencian membuat mata dan hatinya tertutup melihat sejuta kebaikan yang pernah diukir. Semua tertutup oleh kebencian tanpa alasan. Allah sangat mencela manusia seperti ini. Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “Dan adapun orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit, maka (dengan surah itu) akan menambah kekafiran mereka yang telah ada dan mereka akan mati dalam keadaan kafir” (QS. at-Taubah : 125).
Ibnu Katsir menjelaskan, bahwa manusia pemilik sifat yang demikian akan celaka dan penyakit hatinya menjadi penyebab kesesat-an dan kehancuran pada dirinya. Perihal manusia pemilik sifat ini bagaikan orang yang sedang sakit. Bila disuguhkan makanan apa pun akan terasa pahit dan dimuntahkan. Akibatnya, ia akan semakin lemah dan tak berdaya (mati).
Keempat, Adakalanya justeru berlaku terbalik (1-100=1000) pada diri, kelompok, atau bila ada maksud yang diinginkan untuk “ambil muka” (ada udang disebalik batu). Apalagi bila prilaku diiringi onggokan pundi-pundi gemerlap yang menutup mata dan hati. Ketika alasan ini muncul, maka ia akan “angkat telor” (bila perlu jual iman dan harga diri) untuk mengapungkan 1 kebaikan “inang” agar menjadi gunung menjulang tinggi dan menghapus 100 kesalahan bagai kegelapan tertimpa cahaya. Berbagai dalil digunakan untuk mencari pembenaran dan menutup kesalahan yang ada. Padahal, 100 kesalahan yang ada begitu nyata dan kasat mata. Tapi, semua dianggap tak terlihat atau dianggap wajar belaka. Sifat bak pepatah “tiba di mata dipicingkan, tiba di perut dikempiskan, tiba di dada dibusungkan”. Pepatah yang menukil-kan sifat subyektif manusia dalam menilai sesuai kepentingan yang menguntungkannya atau komunitasnya semata. Manusia tipikal ini lupa bahwa semua prilakunya senantiasa diawasi oleh Allah SWT. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang gaib di langit dan di bumi. Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS. al-Hujurat : 18).
Kelima, penilaian manusia hanya fokus pada kesalahan orang lain (tajassus), bukan pada kebaikan yang dilakukan oleh manusia lainnya. Tapi sebaliknya, bila berkaitan dirinya sendiri, penilaian kebaikan diri terlihat nyata, namun kesalahan diri tak pernah mau diakui. Sifat ini akan menggiring pada fitnah dan ghibah. Allah mencela sifat ini. Hal ini terlihat pada firman-Nya : “Hai orang-orang yang ber-iman, jauhilah kebanyakan prasangka buruk (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka buruk itu dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain” (QS. al-Hujurat : 12).
Sungguh, penilaian manusia acapkali cen-derung melampaui perhitungan Allah Yang Maha Adil. Dalam Islam, Allah menilai kebaik-an (pahala) dengan perkalian berlipat. Hal ini dinyatakan melalui firman-Nya : “Perumpama-an orang yang menginfaqkan hartanya dijalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai. Pada setiap tangkai ada se-ratus biji. Allah melipat ganda-kan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui” (QS. al-Baqarah : 261).
Ayat di atas dijelaskan oleh Rasulullah dalam berbagai redaksi. Semuanya menjelaskan perbuatan kebaikan yang pahalanya dilipat-gandakan. Namun, Allah menghitung prilaku kejahatan (dosa) dengan bilangan yang sama. Hal ini terlihat hukum qishash pada QS. al-Baqarah : 178, 179, dan 194 ; QS. al-Ma’idah : 45. Bahkan, tatkala dosa diakhiri taubat an-nasuha (taubat yang sebenarnya) berkat Rahman dan Rahim-Nya, maka semua kesalahan dihitung menjadi angka 0 (ampunan-Nya). Hal ini dinyatakan pada firman-Nya : “Wahai orang-orang yang ber-iman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya. Mudah-mudahan Tuhanmu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai” (QS. at-Tahrim : 8).
Ayat di atas diperkuat oleh Rasulullah melalui sabdanya : “Bertakwalah kepada Allah di manapun engkau berada. Ikutilah perbuatan dosa dengan amal kebaikan, karena kebaikan itu dapat menghapusnya. Serta bergaullah dengan orang lain dengan akhlak yang baik” (HR. Ahmad).
Pada putaran kehidupan, perhitungan ideal manusia justeru sebaliknya. Sejuta kebaikan begitu mudah sirna tatkala terdapat 1 (satu) kesalahan atau disebabkan (alasan) harapan yang tak dapat diperoleh. Padahal, sejuta harap telah diraih. Namun semua sirna tanpa bekas. Sifat ini dinukilkan dalam pribahasa “Panas setahun dihapus hujan sehari“. Demi-kian sifat segelintir manusia. Mudah lupa sejuta kebaikan sesama. Semua disebabkan tatkala harapannya tak mampu diperoleh (diraih). Hilang muhasabah atas kesalahan diri yang tak mau diakui (disadari). Semua bermuara pada dominasi kerakusan diri. Untuk itu, Rasulullah sangat mencela sifat yang demikian. Hal ini sesuai sabdanya : “Tidak dikatakan bersyukur kepada Allah, bila seorang yang tidak bersyukur (berterima kasih) kepada manusia” (HR. Abu Daud).
Meski firman Allah dan hadis Rasulullah di atas begitu jelas, namun manusia acapkali mengingkarinya. Begitu angkuh manusia dalam menjalani kehidupan. Seakan tak ada lagi tersisa iman dalam dirinya.
Bila fenomena di atas terjadi, maka sungguh prilaku yang telah melampaui keingkaran yang pernah dilakukan iblis. Mungkin Iblis masih menghitung 100-1= masih punya nilai. Sebab, keingkaran Iblis hanya disebabkan oleh sifat keangkuhan atas kesombongannya (QS. al-Baqarah : 34). Akibatnya, hadir sifat dusta, iri, dan dengki terhadap kelebihan nabi Adam. Sementara, sifat manusia kalanya mampu melampaui batas (QS. al-‘Alaq : 6). Manusia bukan hanya sombong, tapi zalim, serakah, pelaku dan fasilitator kemungkaran, menuntupi (benci) kebajikan, memutarbalikan kebenaran dan kesalahan, munafik, pendusta, kufur nikmat, dengki, khianat, menipu, dan varian sifat tercela lainnya. Semua sifat tercela tersebut secara tegas dan jelas telah diingatkan Allah SWT dan Rasulullah SAW. Untuk itu, tak berlebihan bila Allah berulangkali (31 kali) mengingatkan : “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan ?” (QS. ar-Rahman).
Pengulangan ayat di atas memiliki maksud sebagai pengingat kepada jin dan manusia atas kuasa dan nikmat-Nya. Sebab pada dasarnya, setiap kata pengulangan menjadi media untuk pengingat atas potensi laten prilaku pengingkaran yang berulang. Tapi, bila pengulangan tak juga mampu menyadarkan, maka berarti telah tertutup sisi kemakhlukan-nya. Ketika hal ini terjadi, maka manusia akan tergelincir pada tipikal makhluk yang lebih hina (QS. al-A’raf : 179). Kehinaan yang dipilih atas kejahil-an (kegelapan) yang menutup cahaya kebenaran.
Jadilah agen kebajikan yang mencerdaskan untuk membangun peradaban, bukan agen kejahilan yang merusak sendi kehidupan. Agen yang tak pernah melupakan kebaikan orang lain meski sedebu. Agen yang bijak mendahulukan kebaikan bak melihat gunung yang menjulang dan melupakan ketidak-sempurnaan bak melihat secuil debu yang berterbangan.
Secara teori, kreativitas manusia yang mem-bangun peradaban sangat diperlukan. Namun secara implementasi, eksistensinya kurang diperhatikan dan diharapkan. Keberadaannya terkekang oleh kepiawaian manusia rekayasa (munafik). Allah berfirman : “Ketika kamu melihat mereka, betapa mengagumkannya dirimu. Jika mereka bertutur kata, Anda mendengarkan tuturannya (dengan saksama karena kefasihannya). Mereka bagaikan (seonggok) kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa setiap teriakan (kutukan) ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya). Maka, waspada-lah terhadap mereka. Semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari kebenaran) ?” (QS. al-Munafiqun : 4).
Ayat di atas menggambarkan orang munafik “bagaikan kayu yang tersandar”. Sebenarnya, ia tak mampu tegak berdiri di atas kakinya sendiri. Untuk itu, ia selalu mencari tempat sandaran. Untuk itu, kehadirannya bagaikan benalu, katanya manis mengandung racun, pola hidup bagaikan hewan amfibi, dan sikap-nya bagai baling-baling di atas bukit (berputar sesuai arah angin).
Untuk memperkuat posisi dan menyelamat-kan diri, pemilik sifat di atas akan mengguna-kan pendekatan 1-100=1000 ter-hadap “tiang sandarannya”. Tak ada guna akal dan hati, tak pula bermanfaat pendidikan dan gelar, atau status disandang. Semua sirna bersamaan gempita euforia pujian terhadap “sosok sandaran” yang dijadikan –sebatas– inang.
Dunia terus berputar. Terkadang menuju titik terendah dan tertinggi. Ketika sandaran lama tumbang, manusia selalu mencari sandaran yang baru. Bila “sandaran lama” yang tak lagi diperlukan, maka berlaku penilaian 100-1=0. Sementara terhadap “sandaran baru” yang menjadi inang bagi parasit nafsu, justeru berlaku penilaian 1-100=1000. Apakah semua fenomena unik nan nista ini terus dilakukan sepanjang zaman ?. Masihkah ada pemilik akal obyektif 100-1=99 dan 1-100= -99 ??? Entahlah… Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 18 Nopember 2024.