Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Dikisahkan, suatu hari Imam Hanafi melihat seorang anak dari keluarga yang sangat miskin sedang bermain. Dengan memakai sepatu kayu, si anak berlari-lari kian kemari. Melihat hal yang demikian, Imam Hanafi mendekati dan menasehati agar anak tersebut berhati-hati dengan sepatu kayunya. “Hati-hati nak, jangan sampai sepatu kayu yang engkau pakai membuatmu tergelincir dan jatuh”. Anak tersebut berterimakasih atas nasehat yang diberikan. Si anak tersenyum sambil bertanya, “siapakah nama tuan ?”. Imam Hanafi memperkenalkan namanya adalah Nu’man. Mendengar Imam Hanafi memperkenalkan diri, si anak kembali bertanya, “jadi, apakah tuan yang bergelar al-Imam al-Adam ?”. “Ya, benar. Gelar yang diberikan masyarakat kepadaku“, jawab Imam Hanafi. Si anak lanjut berkata, “wahai imam, hati-hati dengan gelarmu. Jangan sampai tuan kelak tergelincir ke neraka karena gelar yang diberikan. Sepatuku ini hanya menggelincirkanku di dunia, tapi gelar yang engkau sandang bisa menjerumuskan-mu ke api neraka bila gelar yang engkau miliki diringi kesombongan, keangkuhan, dan kezaliman pada sesama“. Mendengar kata bijak dari si anak tersebut, Imam Hanafi tertunduk dan menangis tersedu-sedu. Ia tak menyangka memperoleh nasehat berharga dari seorang anak dari keluarga yang sangat miskin. Nasehat bernas dan lugas bak batu cadas yang tertuju padanya.
Kisah hikmah di atas mengandung pelajaran bagi hamba yang bijak, tapi tak bermanfaat bagi manusia yang suka “memijak”. Adapun hikmah kisah tersebut antara lain :
Pertama, Sosok anak miskin di atas lambang seorang sahabat sejati, bukan sebatas teman yang memetik manfaat. Sosok “penasehat” yang merdeka, bukan hanya pencari muka, penjilat, atau penjustifikasi kesalahan pemilik “kebesaran”. Teman yang demikian hanya sekedar memanfaatkan “posisi rimbun” untuk berteduh. Bila daun telah berguguran, ia akan menghilang entah kemana. Teman seperti ini bak benalu. Putih tampilan, tapi sebatas menumpang kenikmatan semata.
Sementara sosok pribadi “anak cerdas” yang telah menasehati Imam Hanafi merupakan karakter yang patut dicontoh. Ia “meluruskan dan menyadarkan” punggawa atas status yang dimiliki. Hal ini merupakan tugas mulia yang telah diingatkan Rasulullah melalui sabdanya : “katakanlah kebenaran walaupun pahit” (HR. Ahmad).
Sungguh, sosok pribadi anak di atas menjadi cermin setiap diri. Meski tak memiliki label intelektual, tapi nasehatnya menukik dan berkualitas. Pemilik karakter yang katanya berisi untaian emas seyogyanya dijadikan rujukan. Nasehatnya bernas menunjukan pada jalan kebajikan. Andai pemilik karakter ini yang mengelilingi (rotasi), maka selamat-lah diri dan alam semesta. Untuk itu, saatnya untuk menyingkirkan pemilik mulut yang berkarakter “lipstik”. Seakan manis kata- katanya, tapi hanya berkualitas besi berkarat. Terlihat “menyala” pada tampilan, tapi hanya membakar dan menghanguskan peradaban. Andai pemilik karakter ini yang dipercayakan hadir, maka malapetaka dan kehancuran yang akan dipanen.
Kedua, Ketinggian adab Imam Hanafi dinasehati seorang anak. Ia merasakan nasehat yang sangat berharga. Bahkan, ia malu dan meneteskan air mata mendengar nasehat si anak. Nasehat yang begitu meng-hunjam di dasar hati dan pikirannya. Padahal, ia merupakan ulama besar yang kata dan prilakunya menjadi “suluh” dan diikuti, tapi merasa kecilnya diri, “tertampar” dirinya dengan nasehat seorang anak miskin yang tak dikenal orang. Tapi, ternyata Allah tak melihat melalui hamba-Nya yang mana pesan hidayah akan diberikan.
Adab Imam Hanafi yang demikian mempedo-mani akhlaknya Rasulullah. Sebab, Rasulullah pernah bersabda : “Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat tempat duduknya denganku pada hari berhenti adalah mereka yang paling baik akhlaknya di antara kalian” (HR. Tirmidzi).
Meski hadis di atas begitu jelas, namun segelintir manusia tak menghiraukannya. Hanya sibuk mengejar “atribut (asesories)” berupa gelar, kedudukan, pangkat, jabatan, atau ilmu agar memperoleh penghormatan. Namun, kesemua yang dimiliki hampa nilai adab (akhlak) yang diajarkan oleh Rasulullah. Bahkan, segelintirnya sangat memahami dan tau agama, tapi tak memiliki “ruh agama”. Akibatnya, ia tampil bak “vampir”. Mereka memiliki jasad tanpa “ruh dan rasa”. Untuk itu, wajar bila kehadirannya senantiasa “manakut-kan dan menghisap darah” semua makhluk yang ada di alam semesta.
Ketiga, Nasehat kalanya datang dari manusia “biasa-biasa saja”, tapi berisi nilai yang luar biasa. Bagi pemilik ilmu dan adab mulia, mutu nasehat tak dilihat dari siapa yang memberi nasehat, tapi kualitas “berlian” nasehat yang diberikan. Demikian cara Allah menyampaikan hidayah-Nya pada hamba yang memiliki kualitas qalbun salim.
Sementara ada kalanya nasehat berasal dari manusia “luar biasa”, tapi berisi nilai yang hanya “biasa-biasa saja”. Anehnya, nasehat tersebut diapresiasi dan didengar, dihargai dan dipedomani. Padahal, kualitas nasehat-nya tak memiliki makna.
Apa yang dilakukan Imam Hanafi yang mendengarkan nasehat seorang anak (miskin) merupakan adab pemilik ilmu. Hal ini merupakan sikap hamba pilihan yang dinyatakan Allah dalam firman-Nya : “Mereka yang mendengarkan perkataan (nasihat) lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya (al-Quran). Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal” (QS. az-Zumar : 18).
Ibnu Katsir menafsirkan ayat di atas sebagai berita gembira kehidupan dunia dan akhirat bagi manusia yang bertakwa. Mereka memahami dan mengamalkan ajaran-Nya. Hamba yang mempunyai sifat ini akan mendapat petunjuk-Nya di dunia dan di akhirat. Sebab, mereka mempunyai akal yang sehat dan fitrah yang lurus.
Dalam pepatah Arab menyebutkan “lihatlah apa yang disampaikan, dan jangan melihat siapa yang menyampaikan”. Nasehat yang mengandung pesan mendalam. Demikian isi akhlak Rasulullah yang seyogyanya selalu ditauladani oleh umatnya. Namun anehnya, manusia justeru kalanya (umum) hanya melihat siapa yang berbicara, bukan terhadap kualitas atas apa yang dibicarakan. Hanya saja, penilaian yang demikian hanya akan berlangsung selama “kuasa” digenggam. Tatkala kuasa terlepas, sosok dan katanya hanya menjadi “sampah” belaka.
Keempat, Gelar kehormatan yang diberikan pada Imam Hanafi diberikan oleh masyarakat atas kualitas dirinya. Gelarnya tak pernah diminta, dibeli, apalagi direkayasa. Untuk itu, wajar bila ketika ia memperkenalkan diri pada si anak tersebut, ia menyebut nama aslinya (Nu’man), bukan gelar yang disematkan masyarakat padanya. Begitu sifat tawadhu’ hamba pilihan dan akhlak pemilik ilmu yang sebenarnya. Begitu berbeda dengan prilaku manusia tak berilmu yang justeru minta diberi gelar, beli gelar, dan pamer atas gelar yang disandang. Ia selalu menyebutkan gelarnya dibanding namanya. Ia seakan ta’jub dan bangga atas gelar yang diperoleh, sementara tak berkorelasi dengan ilmu dan adab yang menyertainya.
Kesombongan menjadi penyebab iblis dikeluarkan (turun) dari surga dan tergelincir menjadi penghuni neraka.
Bila Imam Hanafi diberi nasehat agar hati-hati atas gelarnya, iblis dimurkai-Nya atas asal kejadiannya, sementara manusia berpotensi sombong pada ruang yang lebih luas. Kesombongan manusia bisa hadir pada status keluarga, deretan gelar, kedudukan, ibadah, ilmu, ketampanan atau kecantikan, kehebatan, kekuatan, kekayaan, kuasa, dan varian sombong lainnya. Sifat ini merupakan pilihan tercela. Allah mengingatkan melalui firman-Nya : “Janganlah memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi ini dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi sangat membanggakan diri” (QS. al-Baqarah : 18).
Dalam Tafsir al-Misbah, Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata mukhtālan diambil dari akar kata yang sama dengan khayā atau khayal. Karenanya kata ini pada mulanya berarti orang yang tingkah lakunya diarahkan oleh khayalan, bukan kenyataan yang ada. Manusia semacam ini acapkali berjalan dengan angkuh dan merasa dirinya memiliki kelebihan dibandingkan orang lain. Akibatnya, sifat angkuhnya tampak secara nyata dalam realita sehari-hari. Untuk itu, kata mukhtālan bermakna kesombongan yang hadir pada diri berupa sikap dan prilaku yang ditampilkan. Sedangkan kata fakhūran bermakna mem-banggakan diri layaknya seekor kuda yang cara berjalannya mengesankan keangkuhan. Untuk itu, kata fakhūran bermakna hadirnya kesombongan yang muncul (terlihat) pada ucapan, sikap, dan prilakunya.
Kalanya, kedua sifat sombong di atas berjalan secara terpisah. Namun, ada pula yang berjalan beriringan pada pribadi seorang manusia. Bila salah satu sifat kesombongan dimiliki berakibat murka-Nya, apatahlagi bila kedua sifat mukhtālan fakhūran melekat erat pada diri. Ia setara dengan kesombongan iblis yang telah dilaknat-Nya, bahkan mungkin melampaui. Watak manusia seperti ini sangat sulit dinasehati, apatahlagi untuk diperbaiki.
Andai pemilik kedua sifat tersebut mendapat amanah “mengurusi umat”, maka kehadiran-nya hanya akan menjadi malapetaka. Pemilik sifat ini akan menghalalkan segala cara untuk menjadi sosok “Fir’aun atau Namrudz” modern. Namun, anehnya ia acapkali mem-peroleh peluang meraih “amanah” yang di-inginkan. Sebab, ia akan berprilaku “bunglon” untuk menarik simpati dan menutupi karakter dirinya yang asli. Tapi, “sampul bunglon” yang dipakai tak akan berlangsung lama. Tatkala asa meraih “amanah” telah diperoleh, maka wujud karakter aslinya akan kembali tampil menyelimutinya. Hanya saja, melalui kekuat-an (keampuhan) amanah yang diperoleh, prilakunya hanya mampu dirasa tanpa mampu didekati. Sebab, semua lidah menjadi kelu, tangan-tangan terikat, dan akal sehat telah diracuni. Sungguh nyata murka Allah yang diberikan melalui istidraj yang diberikan. Andai nikmat manusiawi berubah menjadi nilai istidraj Ilahi, maka celakalah diri yang tak mampu menangkap dan mengenal ayat-Nya. Sebab, ia hanya mendapat wujud nikmat, tapi hakikatnya merupakan laknat.
Sungguh, kisah di atas menjadi cermin besar melihat diri. Sebab, cerita tersebut berpotensi hadir pada semua manusia atas gelarnya. Ia jadi cermin bagi hamba yang ingin meraih cinta-Nya. Tapi, bagi hamba yang lupa diri, cerita di atas hanya sebatas “penghantar tidur” yang membuat dirinya “semakin nyenyak” dengan mimpi hembusan angin murka-Nya. Bahkan, mungkin pula cerita yang tak pernah terbaca. Cerita bermutu tapi kalah menarik dibanding berita fitnah (hoax) yang justru lebih dipercayai atau info flexing yang mempesona. Tentu semua pilihan tergantung dan sekaligus cerminan kualitas setiap diri. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 10 Februari 2025