Oleh : Dr. H. Ab Anwar, M.Ag (Rektor IAIN Datuk Laksemana Bengkalis)
Saylor & Alexander (1966) menyebut bahwa kurikulum merupakan “upaya total sekolah untuk mencapai hasil yang diinginkan di dalam dan di luar sekolah.” Demikian pula, Smith dkk. (1957) mendefinisikan kurikulum sebagai “serangkaian pengalaman potensial di sekolah yang bertujuan mendisiplinkan anak-anak dan remaja dalam cara berpikir dan bertindak secara kelompok.” Kedua definisi ini memperlihatkan cakupan luas kurikulum, tetapi berisiko menjadi tidak fungsional karena terlalu general. Sebaliknya, definisi yang hanya mencakup tujuan dan isi pembelajaran tanpa memasukkan pengalaman belajar akan terlalu sempit untuk memenuhi kebutuhan kurikulum modern.
Sementara itu, menurut Robert S. Zais (1976) dalam Curriculum: Principles and Foundation, kurikulum dapat didefinisikan dalam tiga perspektif utama: (1) course content, yaitu isi mata pelajaran yang dirancang secara sistematis sebagai inti dari substansi pendidikan; (2) planned learning experience, mencakup pengalaman belajar yang dirancang untuk melibatkan peserta didik secara aktif dalam pembelajaran yang relevan dan bermakna; serta (3) experiences had under the auspices of the school, yaitu pengalaman formal dan informal peserta didik selama berada di lingkungan sekolah, termasuk interaksi sosial dan kegiatan ekstrakurikuler.
Pandangan terhadap kurikulum tersebut menunjukkan bahwa kurikulum bukan sekadar dokumen atau rancangan, melainkan merupakan rencana pembelajaran yang mencakup dimensi pengetahuan, pengalaman, dan pengembangan karakter. Melalui pertimbangan proses belajar, perkembangan individu, dan kebutuhan masyarakat, kurikulum modern harus fleksibel, terpadu, dan mencerminkan urutan perkembangan yang sesuai untuk memastikan efektivitas pendidikan secara holistik.
Cinta dapat didefinisikan sebagai perasaan atau keadaan yang mendorong seseorang untuk menyayangi, mengasihi, atau menghargai orang lain. Cinta dapat mencakup berbagai bentuk, seperti cinta terhadap pasangan, keluarga, teman, bahkan terhadap sesuatu yang lebih luas. Definisi ini dapat dipahami melalui berbagai perspektif, baik dari filsafat, psikologi, sosiologi, antropologi, hingga agama dan sufistik.
Berdasarkan perspektif filsafat, cinta memiliki makna yang mendalam. Plato (428- 348 SM) mengartikan cinta sebagai keinginan untuk bersatu dengan kebaikan yang abadi dan tidak berubah (Plato, 1989). Aristoteles (384-322 SM) melihat cinta secara lebih membumi, yaitu sebagai keinginan untuk kebaikan dan kebahagiaan orang lain (Aristoteles, 2020), sedangkan Jean-Paul Sartre (1905- 1980) menyebut cinta sebagai keputusan untuk memilih dan berkomitmen pada orang lain (Sartre, 1957).
Berdasarkan perspektif psikologi, Sigmund Freud (1856-1939) menganggap bahwa cinta lebih merujuk pada keinginan untuk memuaskan kebutuhan seksual dan emosional (Teori kebutuhan, Freud, 1975), sedangkan Erich Fromm (1900- 1980) menekankan bahwa cinta adalah keinginan untuk memberi dan menerima serta membangun hubungan yang seimbang dan saling menghormati (Fromm, 1956). Lebih rinci, Robert Sternberg (1949-sekarang) memperkenalkan teori cinta yang terdiri atas tiga komponen utama: intimasi, komitmen, dan gairah (Sternberg, 1986).
Dalam sudut pandang sosiologi, Émile Durkheim (1858-1917) mengartikan cinta sebagai keinginan untuk memenuhi kebutuhan sosial dan emosional, yang pada gilirannya membangun hubungan harmonis dengan masyarakat secara utuh (Durkheim, 1915). Pandangan serupa juga diungkapkan oleh Max Weber (1864- 1920), yang memandang cinta sebagai elemen penting dalam menciptakan hubungan sosial yang berimbang dan saling menghormati (Weber, 1930).
Clifford Geertz (1926-2006) dan Sherry Ortner (1941-sekarang), dalam kajian antropologi, memandang cinta sebagai sarana untuk memuaskan kebutuhan kultural dan emosional sehingga memungkinkan lahirnya hubungan yang saling menghargai dalam masyarakat (Geertz, 1973; Ortner, 1989).
Berdasarkan perspektif agama (semua agama), cinta merupakan elemen mendasar dan esensial meski sifatnya lebih mengarah pada dimensi spiritual. Dalam agama Islam, cinta dimulai dengan cinta kepada Allah Swt., yang menjadi sumber utama dari segala bentuk cinta. Hal ini tercermin dalam Al-Qur’an, seperti dalam surah Al-Baqarah ayat 165 yang menyebutkan, “Di antara manusia ada yang mengangkat tandingan-tandingan (kepada Allah) dan mereka mencintainya seperti cinta mereka kepada Allah.” Ajaran Nabi Muhammad saw. juga menekankan pentingnya cinta antarsesama manusia, sebagaimana tercatat dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, “Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.”
Selain itu, Islam masih menyisakan perspektif menarik tentang cinta ini melalui pandangan sufistiknya. Cinta dalam perspektif sufistik memiliki dimensi mendalam, melampaui sekadar hubungan antarmanusia (Ghazali, 1993). Dalam tradisi Sufi, cinta dilihat sebagai jalan menuju Tuhan, di mana cinta tidak hanya terbatas pada bentuk fisik atau emosional, tetapi juga berakar pada rasa kerinduan spiritual yang mendalam terhadap Tuhan (Arabi, 2013). Dalam tingkatan tertentu, cinta pada perspektif ini dipandang sebagai perjalanan spiritual yang penuh dengan pengorbanan diri dan penyucian hati (Gharib, 2012). Puncaknya, cinta dimaknai sebagai kendaraan untuk mencapai fana (kehilangan diri) dalam diri Tuhan (Razi, 2018). Dalam arti sederhana, cinta bukanlah perasaan semata, melainkan sebuah perjalanan spiritual yang melibatkan pengorbanan, ketulusan, dan kesetiaan tanpa syarat melalui pengendalian ego dan nafsu sehingga sampai pada kesucian batin dan menyatu dengan rida Tuhan.
Konsep kurikulum dapat dipahami dalam empat dimensi, yaitu kurikulum sebagai ide (curriculum as intent/ideal curriculum), kurikulum sebagai rencana tertulis (curriculum as plan), kurikulum sebagai implementasi (real curriculum), dan kurikulum sebagai hasil (curriculum as outcome), yang dapat digambarkan sebagai berikut.
Kurikulum sebagai ide merujuk pada konsep atau visi yang ada di balik pengembangan kurikulum. Konsep kurikulum ini lebih mengarah pada tujuan, nilai, dan prinsip yang ingin dicapai melalui proses pendidikan. Pada tingkat ini, kurikulum merepresentasikan harapan dan keinginan masyarakat, pemerintah, atau lembaga pendidikan tentang apa yang seharusnya dicapai oleh peserta didik melalui pendidikan. Kurikulum sebagai ide bersifat abstrak dan merupakan landasan filosofis bagi pengembangan kurikulum yang lebih konkret. Berkaitan dengan hal ini, Dewey (1986) menekankan pentingnya tujuan pendidikan dan bagaimana ide-ide filosofis pendidikan harus menjadi landasan bagi pengembangan kurikulum.
Kurikulum sebagai rencana tertulis mengarah pada bentuk kurikulum yang telah dituangkan ke dalam dokumen tertulis. Ini dapat mencakup Capaian Pembelajaran, Tujuan Pembelajaran, dan Alur Tujuan Pembelajaran yang akan disampaikan. Pada tahap ini, kurikulum telah mengalami proses penyempurnaan dan menjadi lebih konkret sehingga dapat dijadikan pedoman bagi guru dan peserta didik dalam proses pembelajaran. Kurikulum sebagai rencana tertulis dirancang untuk mengarahkan proses belajar mengajar dan memastikan bahwa semua peserta didik memiliki kesempatan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Tyler (2010) mengembangkan apa yang dikenal sebagai “model tujuan” untuk kurikulum yang mencakup langkahlangkah dalam merancang kurikulum sebagai rencana tertulis.
Adapun kurikulum sebagai implementasi mengacu pada proses penerapan kurikulum dalam praktik pendidikan/pembelajaran. Kurikulum bukan hanya dokumen atau rancangan, melainkan sesuatu yang harus diwujudkan dalam tindakan nyata dalam bentuk pembelajaran di kelas dan/atau lingkungan belajar lainnya dengan mengoptimalkan berbagai sumber belajar.
Terakhir, kurikulum sebagai hasil mengacu pada apa yang sebenarnya terjadi dalam proses belajar mengajar dan hasil yang dicapai oleh peserta didik. Ini adalah dampak nyata dari implementasi kurikulum dalam kelas. Pada tahap ini, kurikulum diukur dari seberapa efektifnya dalam mencapai tujuan pendidikan yang telah direncanakan. Hasil dapat dilihat dari peningkatan kemampuan peserta didik, perubahan sikap, atau penerapan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Kurikulum sebagai hasil memberikan informasi tentang seberapa jauh kurikulum yang telah dirancang dan diimplementasikan berhasil dalam mencapai tujuan pendidikan. Sowell (2005) menjelaskan pentingnya melihat hasil belajar sebagai aspek integral dari pengembangan kurikulum, termasuk evaluasi hasil belajar.
Kurikulum Berbasis Cinta dapat dikaitkan dengan beberapa teori kurikulum yang berfokus pada perkembangan sosial, emosional, dan moral peserta didik. Salah satu teori yang paling relevan dengan Kurikulum Berbasis Cinta adalah Teori Kurikulum Humanistik oleh Carl Rogers (1994) yang menekankan pentingnya perkembangan pribadi dan potensi peserta didik sebagai individu yang unik dan bernilai. Teori ini berfokus pada kebutuhan emosional, sosial, dan psikologis peserta didik, serta mendorong mereka untuk menjadi orang yang mandiri, kreatif, dan memiliki rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri dan masyarakat.
Kurikulum Berbasis Cinta dapat dipahami sebagai kurikulum yang dirancang dengan menitikberatkan pada pengembangan karakter, pembelajaran berbasis pengalaman, dan perhatian mendalam terhadap aspek sosial dan emosional dalam pendidikan. Melalui Kurikulum ini diharapkan melahirkan insan yang humanis, nasionalis, naturalis, toleran, dan selalu mengedepankan cinta sebagai prinsip dasar dalam kehidupan.
Di sisi lain, Teori Kecerdasan Emosional yang diperkenalkan oleh Daniel Goleman (2009) juga berperan penting dalam pembentukan Kurikulum Berbasis Cinta. Goleman menyoroti pentingnya pengembangan kecerdasan emosional untuk meraih kesuksesan dalam kehidupan pribadi maupun profesional. Kecerdasan emosional meliputi kemampuan untuk mengenali, mengelola, dan mengekspresikan emosi dengan cara yang positif, serta membangun hubungan yang efektif dengan orang lain. Dalam Kurikulum Berbasis Cinta, penguatan kecerdasan emosional menjadi langkah penting untuk membimbing peserta didik dalam menciptakan hubungan yang penuh kasih sayang dan empati, baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah.
Kurikulum Berbasis Cinta adalah jiwa (soul) dari seluruh penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran pada implementasi Kurikulum Nasional, baik yang melingkupi kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, maupun ekstrakurikuler.
Sebagai sebuah kurikulum, Kurikulum Berbasis Cinta tentunya memiliki komponen tujuan, isi, strategi, dan penilaian. Khusus di lingkungan madrasah, tujuan dan isi Kurikulum Berbasis Cinta sangat beririsan dengan beberapa mata pelajaran yang ada pada Kurikulum Nasional Madrasah, yakni mata pelajaranmata pelajaran kekhasan madrasah, seperti: Al-Qur’an Hadis, Akidah Akhlak, Fikih, dan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Oleh karena itu, implementasi Kurikulum Berbasis Cinta perlu dilakukan melalui penguatan sikap dan perilaku nilai-nilai Kurikulum Berbasis Cinta pada mata-mata pelajaran tersebut. Sementara itu, pada mata pelajaran umum yang ada di madrasah, materi dan nilai-nilai cinta juga harus dilakukan melalui pembiasaan dan penguatan kepada guru-guru yang mengampu mata pelajaran umum tersebut.






