Oleh : Samsul Nizar
(Guru Besar IAIN Datuk Laksemana Bengkalis dan Waketum PB-ISMI)
Beragama merupakan janji (hak) dan fitrah setiap manusia (QS. al-A’raf : 172). Melalui agama, kehidupan manusia akan lebih terarah. Semua aturan agama tertuang jelas dalam kitab suci. Meski kitab suci bisa dibaca dan dipelajari semua kalang-an, tapi pemahaman cahaya isi kitab suci hanya terbuka pada hati yang suci (qalbun salim). Sebab, hanya pada hati yang suci (rindu Ilahi), kunci memahami agama se-cara benar akan terbuka lebar. Kebersihan hati akan membangun rasa cinta, kasih sayang, saling menghargai, berkeadilan, kejujuran, ketulusan, serta varian sifat dan prilaku mulia lainnya.
Kesucian hati mengacu pada keadaan hati yang bersih dari segala penyimpangan (iri, dengki, zalim, dendam, khianat, munafik, dan varian lainnya). Hanya saja, manusia acapkali mudah tertipu dan menipu dirinya sendiri. Beragama hanya sebatas status, tanpa bekas. Tampil anggun lewat kata be-gitu santun, sosok yang taat, berjalan lembut seakan “melayang di udara”, serta mengaku berhati seputih salju. Begitu terang penjelasan halal dan haram disampaikan, teriring kalam-Nya yang begitu fasih disenandungkan. Sosoknya tampil memukau (kata dan asesories), seakan begitu sempurna tanpa celah cela sedikit jua. Namun, terkadang semua “bahasa surga” dan tampilan saleh bak malaikat hanya hadir ketika di atas podium (mimbar). Begitu tampil tanpa podium, maka terlihat nyata sifat aslinya.
Semua kemuliaan yang dipertontonkan jadi sirna dan rusak bak “susu terkena tumpahan nila“. Karakter “nila” yang tampil di atas podium telah menipu dan mengotori ruang peradaban. Keanggunan ketika tampil di podium. Padahal, tersembunyi hati yang busuk dan prilaku bak berharap neraka.
Ada beberapa indikasi sosok manusia yang hanya beragama “di atas podium”, antara lain :
Pertama, Beragama sebatas simbol tanpa ruh. Agama hanya sekedar status (sosial atau keagamaan) dan “pakaian” (topeng) untuk menutupi kemungkaran yang dilaku-kan. Tipikal ini hanya mengedepankan simbol kesalehan melalui asesories lahiriah, kata yang tersusun indah, dan untaian ayat-Nya yang begitu fasih di-ucapkan. Kata lembut seakan penghuni surga. Namun, tanpa “podium” katanya bak penghuni kerak neraka, karakter yang menginjak ayat Allah dan “menjualnya” sebagai komoditas meraih keuntungan duniawi. Padahal, banyak ayat-Nya yang melarang hamba mempermainkan agama (istihza’ bi ad-din). Di antara larangan atas sifat dan prilaku manusia yang istihza’ bi ad-din termaktub pada QS. al-Baqarah : 58-59 ; QS. an-Nisa’ : 140 ; QS. at-Taubah : 65 -67. Mereka tampil sebagai pemeluk agama, tapi “mempermainkan ayat-Nya” untuk berselindung dari kejahatan yang dilakukan. Anehnya, pelakunya kadangkala justeru mengetahui semua firman-Nya, tapi senang melakukan pelanggaran atas ajaran-Nya dan berdampak kerusakan masa depan peradaban (mafsadah lil ‘alamin). Manusia berkarakter demikian sangat dicela oleh Allah. Hal ini tertuang pada firman-Nya : “Tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agamanya sebagai permainan dan kelengahan, dan mereka telah tertipu oleh kehidupan dunia. Peringatkanlah (mereka) dengannya (al-Qur’an) agar seseorang tidak terjerumus (ke dalam neraka), karena perbuatannya sendiri. Tidak ada baginya pelindung dan pemberi syafaat (pertolongan) selain Allah. Jika dia hendak menebus dengan segala macam tebusan apa pun, niscaya tidak akan diterima. Mereka itulah orang-orang yang dijerumuskan (ke dalam neraka), karena perbuatan mereka sendiri. Mereka mendapat minuman dari air yang mendidih dan azab yang pedih karena mereka selalu kufur” (QS. al-An’am : 70).
Ayat di atas mengingatkan agar menjauhi orang-orang yang menjadikan agama se-batas senda gurau (topeng). Meski lisan bersumpah atas nama Allah, tapi justeru mempermainkan dan mendustai-Nya. De-mikian manusia berkarakter munafik yang dimurkai dalam firman-Nya : “Katakanlah, patutkah nama Allah dan ayat-ayat-Nya, serta Rasul-Nya kamu memperolok-olok dan mengejeknya ?” (QS. at-Taubah : 66).
Begitu jelas prilaku orang yang memper-mainkan Allah dan Rasul-Nya. Mereka manjadikannya sebagai permainan agar leluasa melakukan kejahatan. Padahal, semua yang dilakukan merupakan bentuk kekufuran yang nyata. Anehnya, pemilik karakter ini justeru disanjung mulia.
Kedua, Tampil sempurna bila berada di atas “podium” dan media sosial, tapi –seakan– tak beragama bila “tanpa podium” dan dikehidupan nyata. Semua sekedar berharap pengakuan (pujian) dan pencitra-an melalui publikasi, tanpa keikhlasan berbagi kebenaran untuk menerangi peradaban. Tampil ujub dan riya’ atas semua yang dilakukan. Prilaku yang demikian merupakan perbuatan yang dimurkai-Nya. Hal ini diungkap melalui QS. al-Baqarah : 264 dan QS. al-Ma’un : 4-6.
Ketiga, Selama manusia tampil di atas “podium”, sosok hina terlihat mulia, prilaku cela menjadi sempurna, salah dinilai saleh (benar), pelanggaran dianggap wajar, dan tepukan gemuruh meski tak tau apa yang disuruh (prestasinya). Akibatnya, manusia berebut posisi tanpil di atas podium. Deng-an polesan atribut podium, tampil manusia nista berharap dipuja dan dimuliakan.
Sungguh, “podium” membuat deretan gelar begitu diperlukan, topeng ilmu jadi acuan, lilitan atribut kesalehan jadi kebanggaan, kepiawaian lidah mengukir kata lembut begitu mempesona, status sosial dan keagamaan penguat ke-aku-an, dan lantunan sumpah atas nama agama yang membahana sebatas topeng semata. Semuanya sebatas flexing kesalehan yang menyilaukan mata manusia pemilik sifat serupa. Tapi, ia tak bisa disembunyikan dari pengawasan-Nya. Sebab, semua hanya wujud kepalsuan belaka. Pada waktunya, Allah akan memperlihatkan wujud asli yang disembunyikan. Tak ada lagi tersisa ruang kesadaran atas kesalah-an. Sebab, hatinya telah terkunci. Hal ini diingatkan melalui firman-Nya : “Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat pedih” (QS. al-Baqarah : 7).
Meski sumpah berbalut nama Allah ter-ucap bak buih dilautan, tapi semua sirna ditelan ombak nafsu duniawi. Rasulullah telah mengingatkan : “Dosa-dosa besar ialah menyekutukan Allah, mendurhakai kedua orang tua, membunuh jiwa, dan sumpah palsu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Demikian pengaruh “podium” dan sumpah atas nama agama. Ketika podium berada di tangan dan mulut manusia munafik, maka bencana akan menimpa semesta. Fenomena ini menjadi perhatian serius Muhammad Abduh selama perjalanan –intelektual– diberbagai belahan dunia. Menurutnya, “Aku pergi ke negara Barat. Aku melihat Islam, namun tidak melihat orang muslim. Ketika aku pergi ke negara Timur, aku melihat banyak orang muslim, namun begitu sulit melihat Islam.
Ungkapan Abduh di atas menjelaskan ten-tang fenomena manusia yang dilihatnya. Komunitas yang mayoritas muslim, tapi begitu lemah bila melaksanaan nilai-nilai ajaran Islam. Hal ini terlihat pada rendah-nya kedisiplinan dan menghargai waktu, kebersihan yang tak terjaga, bekerja tanpa memiliki profesionalitas atau profesionali-tas tanpa amanah, dan varian lainnya. Aki-batnya, suguhan “podium” hanya ditempati manusia tanpa ruh. Wajar bila tampil para vampir peradaban “penghisap darah”.
Sementara, negara yang mayoritas non muslim, tapi pelaksanaan kehidupan yang diterapkan mencerminkan nilai-nilai Islam. Hal ini terlihat pada kedisiplinan dan meng-hargai waktu yang tinggi, kebersihan yang terjaga, mengedepankan profesionalitas, menjunjung tinggi amanah dan harga diri, jujur, dan varian lainnya. Tampil manusia pemilik harga diri (muru’ah). Bertanggung-jawab pada amanah dan malu bila tak mampu melaksanakannya.
Semua fenomena yang dilihat oleh Abduh di atas dipengaruhi kualitas inner beauty setiap diri atas implementasi nilai ajaran agama. Meski komunitas non muslim, tapi mampu mengimplementasi ajaran Islam. Sebab, implementasi ajaran agama (Islam) diperoleh bila manusia menggunakan akal dan hatinya secara bersamaan. Hal ini me-rupakan fitrah manusia yang hakiki untuk menemukan ad-diin haniif. Hal ini dinyata-kan melalui firman-Nya : “Maka, hadapkan-lah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam sesuai) fitrah (dari) Allah yang telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah (tersebut). Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. ar-Rum : 30).
Jumhur mufassir memaknai fitrah sebagai ad-diin haniif. Hanya manusia yang meng-gunakan akal dan hati secara seimbang yang mampu menampilkan prilaku bernilai kebaikan. Tapi, bila beragama sebatas identitas dan topeng kesalehan bila di atas podium, maka perwujudan prilaku nista di luar podium terlihat nyata. Sebab, prilaku yang dipilih akan bertentangan dengan akal dan hatinya (seluruh potensi) telah dibelenggu oleh murka Allah (QS. al-Baqarah : 7). Manusia yang demikian akan semakin jauh dari ajaran agama.
Hanya keindahan batin (inner beauty) bisa menemukan cahaya hati yang hakiki. Bila cahaya-Nya mampu ditemukan, maka eksistensinya lebih terang dibanding penampilan zahir (fisik). Kesucian hati merupakan esensi hamba yang sejati. Ia tak bisa direkayasa. Ia akan tercermin pada prilaku dan kemuliaan adab mulia yang memancarkan nilai kebajikan, kejujuran, kebijaksanaan, dan welas asih.
Sementara hati yang kotor hanya mampu hadir melalui sentuhan “gemerlap podium” dan polesan asesories topeng kesalehan semu yang penuh kemunafikan. Sebab, tampilannya hanya beragama ketika tampil di atas podium. Namun, ketika hadir tanpa podium, sifat dan karakter asli terlihat nyata. Menyeruak bau “busuk menyengat”. Bau yang dijaga oleh manusia berkarakter serupa (busuk). Pembela yang tetap dan terus memuliakan, percaya, dan berusaha mencari berbagai alasan pembenaran.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.


