Oleh : Samsul Nizar
Pepatah mengatakan “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Pepatah yang mengisyaratkan agar manusia memiliki kearifan lokal di mana pun mereka berada. Namun, tulisan ini bukan membahas pepatah tersebut. Akan tetapi belajar dengan langit dan bumi untuk menjadi i’tibar dalam kehidupan sesaat.
Langit meski tinggi, namun tak pernah angkuh karena ketinggiannya dan tak pernah memanfaatkan ketinggiannya untuk menzhalimi makhluk dibawahnya. Bahkan, langit justru memberi keteduhan dengan menampilkan warna yang indah nan menyejukkan untuk dinikmati oleh mata. Langit dengan ketinggiannya bagai pelindung dengan mencurahkan sejumlah rezeki kepada seisi bumi.
Langit menurunkan hujan yang sangat didambakan oleh semua makhluk hidup. Meski tinggi, langit tak pernah meremehkan apatahlagi berkata kasar pada bumi yang letaknya jauh di bawah. Demikian indahnya gambaran yang diajarkan langit dengan posisinya yang tinggi.
Sedangkan bumi, meski berada di bawah, tak pernah merasa iri, apalagi melancarkan rangkaian fitnah pada langit agar dirinya terangkat. Bumi, meski dipijak dan dikotori oleh makhluk, namun bumi tak pula pernah dendam apatahlagi membalas perlakuan makhluk atasnya. Meski makhluk berlaku zhalim padanya, namun bumi siap “memeluk dalam perutnya” tatkala makhluk mati. Bahkan, bumi “memuncratkan” sejuta kenikmatan rezeki untuk dimanfaatkan oleh semua makhluk yang mendiaminya.
Bumi sadar akan kontribusi langit atas dirinya dengan curahan hujan dan melindunginya dari panasnya matahari. Bumi seakan tak mau hanya menjadi “tangan di bawah” dengan posisi pasif atas langit. Akan tetapi bumi menyumbang kekuatan yang ada pada dirinya pada langit. Dengan berbagai tumbuhan yang tumbuh kokoh dipundaknya, bumi memberikan kontribusi pada langit nilai-nilai kesejukan dan alami. Langit dan bumi keduanya saling mengerti. Bila langit gagal melaksanakan tugasnya, berarti bumi ikut berkotribusi tak memberikan “suplemen” pada langit.
Demikian pula sebaliknya, bila bumi kering kerontang, maka langit ikut berkontribusi atas kegagalan bumi melaksanakan tugasnya karena langit tak pernah menurunkan hujan setetespun ke bumi.
Langit dan bumi mengerti benar fungsi dan kedudukan masing-masing sebagai hamba yang diciptakan Allah. Mereka saling mengisi dan bekerja sesuai tugas dan fungsinya. Keduanya saling berintegrasi tanpa melihat posisi masing-masing. Keduanya sibuk dengan tugasnya masing-masing sebagai ciptaan Allah untuk memberikan yang terbaik pada semua makhluk.
Sepertinya langit dan bumi ingin mengajarkan pada manusia agar bijak mengambil i’tibar dari komposisi dan posisi keduanya. Meski beda, namun perbedaan tak membuat keduanya saling iri. Tampilan keduanya merupakan komposisi ciptaan Allah yang memunculkan nilai-nilai rahmatan lil ‘aalamiin.
Langit dan bumi yang demikian besar dan luas tak menganggap dirinya hebat dengan saling melempar fitnah dan kezhaliman. Lalu, bagaimana makhluk (antaranya manusia) yang dilihat pada ukuran demikian kecil dan dilihat pada letak berada di antara langit dan bumi ? Masihkan sanggup pongah dengan posisi, saling iri dan mencaci maki, melancarkan fitnah yang bertubi-tubi, merasa paling benar dan suci, merasa paling adil dengan pesan sponsor yang mengitari, membangun opini tanpa koreksi, atau selalu menyalahkan tanpa pernah memperbaiki ? Kalau masih sanggup berlaku demikian, maka wajar bila malaikat ragu atas kekhalifahan manusia. Seyogyanya manusia yang dianugerahkan akal dan hati menjawab keraguan malaikat dengan benar-benar melaksanakan tugas kekhalifahan yang diamanahkan oleh Ilahi..
Wa Allahua’lam bi al-shawwab.
Tulisan ini terbit di harian Riau Pos tanggal 5 September 2018