Oleh : Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M. Ag
Ketua STAIN Bengkalis
Ramadhan adalah bulan tarbiyah yang di dalamnya mengandung seribu hikmah untuk menjadi i’tibar bagi hamba-Nya yang ingin meraih kemenangan menjadi hamba yang bertaqwa. Ramadhan menjadi media introspeksi internal sekaligus alat ukur keimanan insan. Bukankah Rasulullah pernah bersabda : Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah bersabda “Barangsiapa yang berpuasa dengan penuh keimanan (membernarkan dan meyakini) dan mengharapkan pahala (ridha Allah), maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Mutafaq ‘alaih ; Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760).
Ada beberapa standard diri yang patut dijadikan sebagai self evaluation hamba di bulan ramadhan ini, antara lain : Pertama, bagaimana kualitas keimanan dan ketaqwaan bisa mengalami penambahan selama ramadhan. Bila dalam bulan ramadhan kemunafikan dan subyektifitas tetap dilaksanakan, bagaimana pula di luar ramadhan yang bisa dipastikan semakin parah. Bayangkan, bila di bulan ramadhan sikap negatif ini masih dipertahankan, berarti kemuliaan ramadhan tak mampu memberi arti sama sekali, bahkan mengotori kesucian ramadhan. Hal ini dapat dipastikan akan semakin parah bila di luar ramadhan. Lalu, apa yang diharapkan bila sikap ini dipertahankan ? Masihkah merasa suci dengan janji panggandaan amal yang dijanjikan Allah selama ramadhan ?
Kedua, bila ramadhan berangkat dari dimensi keimanan, maka puasa akan menjadi alat kontrol yang efektif untuk menjaga totalitas diri, baik hati, pikiran, panca indera, dan seluruh prilaku untuk dekat pada Allah dan ajaran Rasulullah. Ketiga, bila ramadhan berangkat dari dimensi perut, maka ramadhan akan menjadi waktu untuk memperturutkan pemenuhan dorongan perut. Hal ini bisa dilihat bila puasa berangkat pada dimensi perut dan syahwat, maka dominasinya akan lebih diperturutkan.
Contoh sederhana bisa dijadikan alat ukur prilaku manusia selama ramadhan adalah aspek konsumtif manusia selama ramadhan, yaitu ; (1). Tingkat penggunaan dan perputaran uang selama ramadhan. Selama ramadhan, keramaian komunitas interaksi ekonomi manusia meningkat tajam, terutama di pusat-pusat ekonomi. Bahkan, lonjakan interaksi ekonomi bergerak tajam selama ramadhan. Berbagai alasan untuk membenarkan prilaku yang demikian. Hal ini berbeda terbalik dengan kehadiran manusia selama ramadhan di rumah ibadah untuk memperbanyak amaliah dan merasakan manisnya bermunajat pada Allah. (2) tingkat sampah bekas komsumsi manusia bertambah banyak hampir dua kali lipat selama ramadhan. Hal ini menjadi indikator betapa puasa tak mampu dijadikan bulan tarbiyah untuk mendidik manusia mengontrol keinginan materi dan pemenuhan kebutuhan perut dan selera materi. Padahal, setelah berbuka puasa, semua keinginan selera tersebit menjadi hilang sirna. Akibatnya, terjadilah pemubaziran rezeki dan terbuang di tong sampah dan menjadi makanan belatung. Lalu, bagaimana dan sudahkah kita berpuasa dengan sebenar-benarnya puasa seraya secara bijak menjadikan ramadhan sebagai bulan tarbiyah? Jawaban atas pertanyaan Zat Yang Suci hanya bias dijawab obyektif oleh hati yang bersih.
Wa Allahua’lam bi al-shawwab.
Tulisan ini terbit di harian Riau Pos tanggal 24 Mei 2018.