oleh : Prof. Dr. Samsul Nizar, M.Ag
Ketua STAIN Bengkalis
Tahun 2018 memunculkan agenda pesta 4 tahunan piala dunia sepak bola yang dipusatkan di Rusia. Di sisi lain, di tingkat Asia juga akan digelar Sea Games yang dipusatkan di Jakarta dan Palembang. Dalam konstelasi politik, tahun 2018 juga digelar pesta demokrasi Pilgub dan Pilbup/walikota di beberapa wilayah Indonesia. Konstelasi politik 2018 awal pemanasan politik Indonesia menjelang Pilpres dan DPR/DPRD serentak.
Ada benang merah sekaligus hubungkait antara olah raga dan politik. Hubungkait tersebut bisa dilihat bagai permainan Sepak Bola dan Bola Volly. Hubungkait tersebut bisa dilihat antara lain : (1) Tatkala permainan sepak bola dimainkan, terlihat jelas seluruh kekuatan digunakan. Berbagai strategi diterapkan, baik di luar lapangan (kadangkala mengatur skor) maupun di dalam lapangan, tanpa memperdulikan apakah lawan akan sakit atau menderita. Tujuan utama adalah kemenangan. Seakan tak mau kalah, penonton bahkan ada yang ikut berjudi dengan memilih yang dijagokan. Betapa “arogannya” sikap yang dipertontonkan oleh semua pihak. (2) Adapun bola volly memperlihatkan permainan elegan yang akomodatif dan harmonis. Tatkala seorang pemain menyerang dengan smash yang menukik, lawan akan mencoba memblock tanpa ikut melakukan smash.
Politik tingkat rendah bagaikan bermain sepak bola. Setiap gerak adalah kemenangan. Berbagai strategi diperagakan, tanpa memperdulikan apakah melaukan trik kecurangan atau bahkan melukai orang lain. Serangan dibalas serangan, tipu daya menjadi trik tontonan untuk memperoleh kemenangan. Sementara politik tingkat tinggi bagaikan bermain bola volly. Semua pemain berfungsi sesuai fungsinya. Meski kemenangan menjadi target utama, namun berupaya untuk tak saling menyakiti dan melukai.
Namun, ada nilai yang bisa diambil dari kedua jenis olah raga di atas, yaitu (1) Nilai positif ; meski dalam permainan mereka adalah lawan, namun apa pun hasilnya, setelah selesai pertandingan, semua komponen saling bersalaman, bahkan tak jarang saling tukar jersey. (2) nilai negatif ; meski pemain sudah mengerahkan seluruh kemampuannya, namun sering dikritik (bahkan dicerca) oleh penonton. Penonton seakan (merasa) ahli dan pintar dengan lontaran kritik, padahal hanya duduk di kursi (sembari goyang kaki dan makan snak). Apatahlagi para komentator yang menilai permainan. Seakan dia yang paling pintar, padahal tak pernah bermain meski setingkat RT. Sebuah pemandangan yang biasa terjadi dalam kehidupan.
Alangkah demikian indahnya politik tingkat tinggi yang memperlihatkan kedewasaan para pelakunya.
Lalu, bagaimana dan di mana posisi kita dalam melakukan aktivitas dan amanah yang ada ? Apakah termasuk pemain “Sepak Bola atau Bola Volly” ?
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Tulisan ini terbit di harian Riau Pos tanggal 08 Juli 2018