Oleh : Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M.Ag (Ketua STAIN Bengkalis)
Sekitar seminggu ini, wilayah Riau diselimuti asap tebal akibat kebakaran hutan dan lahan. Tingkat udara akibat asap sudah masuk pada level sangat membahayakan bagi kesehatan. Asap tebal akibat karhutla di Riau dan wilayah lain di negeri ini seakan berulang kembali sebagaimana terjadi pada tahun 2015 lalu.
Asap hanya segelintir kerusakan alam yang telah dinyatakan Allah SWT,bahwa “Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan akibat perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allâh merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS ar-Ruum : 41).
Sejauhmanakah ayat di atas menjadi panduan sekaligus dasar agar manusia tak melakukan kerusakan atas alam semesta ? Pertanyaan yang patut dijawab bersama. Meski pemerintah, aparat, dan masyarakat telah melakukan serangkaian upaya maksimal atas karhutla, namun masih pada tataran curatif dengan upaya pemadaman. Sementara kita membutuhkan upaya preventif atas persoalan ini.
Kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan asap tebal, seakan menjadi hal biasa dan patut diterima dengan penuh kepasrahan. Sebab, hal ini terjadi berulang kali, seakan menjadi musim baru dalam peradaban masyarakat modern. Sungguh pepatah orang tua “jangan sampai pisang berbuah dua kali” tak menjadi peringatan bersama. Ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari asap yang menimpa Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan beberapa wilayah lain di negeri ini, antara lain :
Pertama, menunjukkan manusia tak ramah dengan lingkungan. Keserakahan dan sifat egois menjadi faktor utama. Kepedulian dengan alam dan sesama menjadi sebatas retorika menutupi buruknya prilaku yang sesungguhnya. Dimensi ini menjadi indikator gagalnya manusia mengemban amanah Allah sebagai khalifah fi al-ardh. Seluruh komponen yang menyebabkan terjadinya karhutla seyogyanya tak diberi kesempatan menjadi khalifah (pemimpin) dalam komunitasnya. Prilakunya yang membawa mafsadah bagi alam menjadi penyebab tak layaknya mengemban amanah apapun.
Kedua, perlu tindakan tegas dan transparansi hukum atas “dalang karhutla”. Tindakan tegas pada pelaku yang menyebabkan karhutla tak pernah efektif dan menimbulkan efek jera. Sebab, pelakunya hanya sebatas rakyat kecil. Mereka hanya sebatas wayang belaka. Sementara “dalang-dalang” kakap yang menggerakkan “wayang nan lemah” belum tersentuh dan terpublikasi, berikut sanksi tegas yang diputuskan. Meski Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (LHK) secara tegas menyebutkan bahwa ada 5 perusahaan asing (Singapura dan Malaysia) penyebab karhutla, 4 perusahaan di Kalimantan Barat dan 1 perusahaan di Riau. Menurutnya, “perudahaan tersebut antara lain PT Hutan Ketapang Industri (asal) Singapura di Ketapang, PT Sime Indo Agro (asal) Malaysia di Sanggau, PT Sukses Karya Sawit (asal) Malaysia di ketapang, dan PT Rafi Kamajaya Abadi di Melawi,” ujar Siti di Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (DetikCom : 13/9/2019). Tentunya sejumlah perusahaan lokal dan warga ikut menambah semarak terjadinya karhutla.
Tindakan masih pada penyegelan perusahaan dimaksud dan penangkapan beberapa oknum masyarakat yamg diduga pelaku kebakaran. Masyarakat menunggu kelanjutan tindakan pemerintah pada tahap : (a) hukum apa yang dijatuhkan pada “sang dalang”, bukan sebatan menyentuh “kambing hitam sang wayang”. (b) kompensasi apa yang harus diberikan pada masyarakat akibat ulah perbuatan mereka. Aspek ini sepertinya tak pernah muncul kepermukaan. Tatkala Jakarta mengalami pemadaman PLN beberapa waktu lalu, mereka menuntut kompensasi. Sementara di mayoritas belahan negeri ini yang mengalami rutinitas pemadaman PLN tak pernah memperoleh apa pun bentuk kompensasi. Hanya PLN yang ditenggarai merugikan sektor ekonomi semua berteriak kompensasi, namun asap tebal yang bukan hanya menyentuh ekonomi tapi bahkan nyawa, seakan sepi dari perhatian, apalagi kompenasasi. Seakan, ekonomi mengalahkan nyawa makhluk. Atau, menunggu asap tebal menyelimuti Jakarta baru ada teriakan dan kucuran kompensasi ?
Ketiga, perlu ada langkah-langkah preventif yang jitu dan tepat sasaran bagi tak berulangnya karhutla. Langkah tegas dan bijak perlu dilakukan. Umpamanya menindaktegas para dalang dengan mengambil semua aset mereka sebagai kompensasi masyarakat yang menjadi korban akibat ulah mereka. Mencabut izin usaha mereka selama-lamanya di negeri ini. Sikap tegas perlu diambil. Cara bijak perlu dilakukan untuk mengetahui sang dalang, di antaranya dengan melihat aktivitas yang dilakukan pasca karhutla. Sebab, pasca karhutla pasti dimulai pula babak penanaman dan pengolahan atas wilayah pasca kebakaran. Para dalang biasanya hanya bermain dibalik layar dengan menggelontorkan dana pengolahan lahan. Biasanya, lahan yang diolah pasca karhutla mencakup areal yang luas, bukan areal sempit yang biasanya hanya dimiliki oleh masyarakat kecil.
Keempat, musim karhutla seiring musim kemarau dan panas yang ekstrim. Umat beragama pun tak ketinggalan mengapungkan munajat memohon pada Yang Maha Kuasa agar diturunkan hujan agar kebakaran bisa padam. Sungguh ikhtiar religius yang patut dibanggakan. Namun belajar apa yang terjadi saat ini, seiring munajat yang dipanjatkan, belum berkorelasi sebagaimana berkorelasinya hal yang sama pernah dilakukan para pendahulu sebelum ini. Ada banyak wilayah koreksi religius perlu dilakukan, antara lain : (a) tingkat ke-tawadhu’-an hamba era modern. (b) tingkat kontinuitas komunikasi vertikal apakah dilakukan tatkala dalam keadaan sempit dan alpa pada keadaan lapang. (c) kualitas diri (zahir dan batin) dalam komunikasi pengharapan pada Yang Maha Kuasa. Tentunya, semua ini hanya mampu dijawab oleh hamba-Nya yang melakukan munajat. Atau munajat tertutup oleh akibat prilaku komunitas lain yang berdampak dosa (dalam berbagai dimensi) dan seringkali melakukan mafsadah di muka bumi. Hanya Allah yang tau dan hamba pilihan yang mampu menyingkap kebenaran.
Tak ada variabel tunggal dalam melihat asap akibat karhutla. Demikian pula halnya dalam mencari solusi karhutla pada masa yang akan datang. Perlu upaya bersama dan diawali dari diri sendiri. Hanya dengan demikian, komunikasi vertikal dan horizontal bisa secara harmonis dilakukan dalam menyelesaikan seluruh persoalan, terutama asap akibat karhutla di negeri ini.
Sungguh banyak pelajaran yang dapat dipetik dari asap tebal akibat karhutla. Tinggal bagaimana kita mampu memetik pelajaran agar persoalan asap akibat karhutla tak terjadi lagi. Sungguh, “setiap kamu adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin (diri) pasti akan diminta pertanggungjawabannya kelak (di yaumil hisab).
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Tulisan ini terbit di harian Riau Pos tanggal 15 September 2019