Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Sebuah siaran radio, saluran televisi, atau jaringan seluler akan bisa didengar dan dilihat tatkala frekuensi yang menghubungkan pada saluran atau siarannya sesuai dengan yang diharapkan. Tentu saluran yang bisa nenghubunginya tatkala signal sesuai dengan frekuensi providernya. Meski hanya 1 atau sekian mili dari garis untuk siaran radio atau 1 angka untuk televisi, tatkala frekuensinya tidak cocok, maka manusia tak akan mendapatkan apa yang diharapkan atas siaran radion atau tontonan televisi yang diinginkan. Meski sepersekian, frekuensi sangat menentukan ketersambungan komunikasi yang diinginkan.
Apa yang terjadi pada radio atau televisi di atas mungkin juga terjadi pada banyak alat komunikasi dan telekomunikasi lainya. Dengan ilmu yang dimiliki, manusia tak henti menciptakan berbagai temuan dan budaya dengan ketepatan frekuensi yang saling terkoneksi.
Namun, i’tibar di atas jarang menjadi bahan renungan, apatahlagi pikiran manusia untuk bisa berkomunikasi dan melihat “berbagai siaran” Allah yang acapkali terhijab dan tak bisa berkomunikasi dengan Allah. Hal ini disebabkan karena manusia tak mampu bertemu frekuensi yang tepat menuju komunikasi pada Sang Kholiq. Meski dalam hadis qudsi disebutkan bahwa Allah lebih dekat dengan hamba melebihi dekatnya urat leher hamba, namun kedekatan bukan berarti akan terbangun komunikasi tatkala frekuensinya belum mampu terkoneksi secara benar.
Ada beberapa cara menggapai frekuensi yang tepat menuju Sang Pencipta untuk menikmati kelezatan berkomunikasi dengan-Nya, yaitu :
Pertama, perspektif tasauf bahwa dari Nur Allah terciptalah Nur Muhammad. Dari Nur Muhammad, Allah menciptakan seluruh alam semesta beserta isinya. Frekuensi yang paling dekat dengan Allah adalah menyambungkan frekuensi hamba dengan frekuensi nabi Muhammad karena frekuensinya yang bisa terkoneksi langsung pada Allah SWT. Sebab, hamba-Nya yang diberikan Nur Ilahi didadanya hanya pada diri Rasulullah. Bila manusia tak berupaya menuju frekuensi Allah, maka tak mungkin manusia bisa melakukan kontak pada Rabb-nya. Bila ibarat seutas tali frekuensi, awal frekuensi pada Allah dan ujungnya adalah pada Rasulullah. Untuk menghubungkan frekuensi dengan Rasulullah tentunya melalui memperbanyak bershalawat pada Rasulullah. Melalui shalawat, manusia membangun cinta pada junjungan alam. Dengan cinta akan terbangun prilaku yang disenangi oleh yang dicintai (Rasulullah). Dengan bangunan prilaku (akhlak) tersebut akan semakin menuju ketepatan frekuensi pada SangnPencipta.
Kedua, membangun frekuensi dengan mengamalkan al-Quran. Al-Quran bukan sebatas dibaca (melalui lantunan irama atau hanya sebatas murattal), dihafal, ditulis (melalui seni kaligrafi), atau dipelajari (sebatas ilmu), tapi lebih jauh mampu menyingkap berbagai rahasia-Nya dan mengamalkan apa yang difirmankan-Nya dalam kehidupan nyata. Namun, tatkala al-Quran hanya sebatas simbol dan asesoris kehidupan, maka frekuensi menuju komunikasi dengan Allah tak akan mampu terjadi.
Ketiga, melakukan koneksi frekuensi para wali Allah. Bukan berarti manusia tak bisa langsung melakukan komunikasi dengan Allah, namun kadang banyak kekuatan signal frekuensi diri terhijab oleh dosa dan keangkuhan diri. Wasilah pada para hamba yang dimuliakan-Nya dapat mempercepat signal frekuensi berkomunikasi dengan Allah. Hamba yang dimuliakan tak pernah terbersit ingin dipandang mulia, apalagi memandang diri mulia. Hamba yang mulia hanya disibukkan berdekatan pada Kholiq pada setiap apa yang dilakukannya. Dalam seluruh aktivitas dirinya hanya keindahan bersama dengan kebenaran Allah yang begitu indah. Komunikasi hamba-Nya ini akan dapat signal frekuensi hamba menuju keindahan tiada tara bersama keagungan-Nya.
Keempat, menjalin provider kedua orang tua (wali qutub). Hal ini sesuai sabda Rasulullah, bahwa “ridha Allah tergantung ridha kedua orang tua dan murka Allah tergantung murka kedua orang tua” (HR. Thabrani).
Bila frekuensi “wali qutub” tak menyala untuk anaknya, bagaimana mungkin seorang anak mampu menempatkan frekuensi Allah secara tepat.
Kelima, melalui signal frekuensi anak yatim. Hal ini dinyatakan oleh Abu Hurairah r.a berkata : Rasulullah SAW bersabda: “Saya dan orang yang memelihara anak yatim di surga, seperti ini (sambil merenggangkan jari telunjuk dan jari tengah).” (HR. Bukhari).
Begitu banyak jalan untuk memperoleh koneksi frekuensi bersama Allah. Namun, ternyata, nikmat merasakan kebersamaan hamba dengan Khaliq tak semua mampu mendapatkannya. Tergantung frekuensi diri apakah mampu terkoneksi dengan frekuensi Sang Kholiq. Bagi yang terhubung, dirinya akan mampu menjawab nikmat Allah dengan kesyukuran dan ujian Allah dengan kesabaran. Berbeda bila frekuensi tak terkoneksi secara baik. Koneksi diri dengan Allah tatkala musibah menghampiri, namun memutuskan “silaturrahim” dengan Allah tatkala nikmat diperoleh. Apatahlagi bila bersemayam kesombongan dalam diri, maka akan semakin jauh frekuensi menikmati manisnya rasa cinta Allah. Berinteraksi dengan mitra kesombongan saja dapat memutuskan silaturrahim dengan Allah, apatahlagi bila sifat sombong menjadi motor dan sifat pada diri, maka signal frekuensi Allah akan hilang sama sekali pada dirinya. Di sinilah kekuatan frekuensi mengalami kelabilan akibat signal iman dan kesombongan yang mengalami fluktuasi frekuensi, bahkan memutuskan frekuensi berkomunikasi dengan Allah.
Bila hal ini terjadi, maka merugilah diri. Sebab, kenikmatan tanpa batas tatkala signal frekuensi hamba dengan Allah terkonekai secara harmonis oleh sambungan iman yang istiqomah. Hanya masing-masing diri yang bisa merasakan, bukan dipaksa merasakan dengan tipuan asesoris yang menggunung. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Tulisan ini terbit di harian Riau Pos tanggal 22 Februari 2021