Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Begitu cepat waktu berlalu, seakan baru saja ramadhan hadir bersua dengan semua varian keistimewaannya. Seakan belum puas bersama ramadhan, kini syawal menjelang sudah. Di tengah kondisi C-19 yang belum kunjung selesai, makna ramadhan dan syawal patut diimplementasi guna memutus mata rantai persoalan.
Ada beberapa renungan atas ramadhan yang berlalu dan syawal menjelang, antara lain :
Pertama, dimensi menjaga hidup yang halal. Puasa mengajarkan untuk manusia menjaga diri sesuai aturan Allah. Sedangkan makan dan minum yang halal saja mampu ditahan pada siang hari selama ramadhan, apatahlagi yang haram. Apakah hal ini mampu dipertahankan paska ramadhan, atau tetap dilanjutkan saja.
Kedua, dimensi qanaah, cukup apa yang diberikan Allah. Hidup sesuai dengan batas yang dimiliki, bukan melampaui yang ada pada diri dengan memaksa memperoleh melalui segala cara. Sikap qanaah hanya dimiliki oleh hamba yang selalu bersyukur atas apa yang Allah berikan.
Ketiga, dimensi menghadirkan Allah dalam setiap aktivitas diri. Puasa mengajarkan hamba berhasil menghadirkan Allah. Meski semua makhluk tak melihat, orang yang berpuasa dengan iman tak akan berani membatalkan puasanya karena menghadirkan Allah dalam kehidupannya dan selalu mengawasi setiap gerak-geriknya.
Keempat, dimensi menahan atau pengendalian diri secara bijak. Tatkala pemerintah mampu mengendalikan kebijakan yang berimbang dengan ketauladanan atas kebijakan, maka kebijakan akan berbuah kebijaksanaan. Tatkala kebijakan pelarangan arus keluar, seyogyanya seirama dengan pelarangan arus masuk. Ketika kebijakan larangan berkumpul dalam majelis ibadah, seyogyanya seirama pula larangan berkumpul disemua sektor, termasuk ekonomi (mall dan tempat hiburan lainnya). Bila keseimbangan ini terkendali dengan semangat ramadhan, maka kebijakan akan dapat “memenangkan” semua pihak. Di pihak lain, masyarakat juga dituntut ikut mengendalikan berbagai keinginan (seperti mudik, berkumpul, dan tetap mematuhi protokol kesehatan) secara bersama. Bila pengendalian oleh salah satu pihak atau kedua pihak tak dilakukan, maka apa pun kebijakan atau upaya pengendalian (memutus mata rantai C-19) akan mengalami kegagalan.
Kelima, dimensi nilai ungkapan takbir, tahmid, dan tahlil merupakan wujud kesyukuran bahwa keberhasilan diri melaksanakan puasa selama ramadhan tak terlepas dari kasih sayang Allah yang diberikan padanya. Bila tanpa kasih sayang Allah, manusia tak mampu menikmati dan mengisi ramadhan dengan kualitas muttaqien. Ramadhan bak lembaga pendidikan yang melatih dan mendidik manusia menjadi diri yang sebenarnya. Diri yang mampu menahan dan mengontrol semua hal yang dilarang-Nya. Sungguh ramadhan merupakan ibadah hamba untuk Rabbnya.
Puncak yang mampu merasakan kehadiran Allah dan begitu dekat pada-Nya. Namun, berhasilkah diri ditempa ramadhan agar menjadikan diri menjadi hamba yang hadir dengan keindahan akhlak mulia ? Bila hal tersebut berhasil, maka manusia telah mampu menjawab panggilan Allah (Hai orang-orang yang beriman …. QS. Al-Baqarah : 83) dengan menjawab “kami orang yang bertaqwa”. Bila ramadhan gagal dimanfaatkan untuk menempa diri, hanya dilalui bak tempat pemberhentian sejenak (rest area), lalu melanjutkan kebiasaan buruk sebelumnya, maka merugilah diri. Manusia yang demikian tak akan mampu menjawab panggilan Allah karena “ketulian” (mungkin pada level akut) yang mendera dirinya. Atau, manusia yang demikian ini sudah berubah menjadi sosok ular yang berganti kulit, namun tetap tak merubah diri sebagai sosok ular.
Ramadhan dianggap bulan “deposito” ibadah dengan mengharap laba (pahala) yang berlipat ganda. Semua aktivitas dimaksimalkan untuk memperoleh tabungan keuntungan yang menebus kesalahan sebelumnya. Namun, setelah ramadhan aktivitas menabung perlahan sirna dikalahkan sisi asli diri. “Deposito” selama ramadhan dianggap cukup untuk membiayai semua aktivitas diri pasca ramadhan. Seakan Allah didikte dengan biaya deposito yang telah ditanam selama ramadhan. Namun, meski dimensi ini terjadi, dinamika deposito ibadah selama ramadhan masih mengantarkan diri sebagai hamba yang beruntung. Sebab, masih ada sisi kesadaran vertikal pada Sang Khaliq meski sebentar. Sebab, ada pula manusia yang tak memiliki kesadaran vertikal meski selama ramadhan.
Bahkan, dalam bulan ramadhan pun diri tetap menonjolkan watak asli yang tak mampu merasakan penempaan ramadhan. Sosok manusia seperti ini sungguh memilukan. Tak ada tersisa lagi satu pori-pori dalam diri untuk bisa merasakan penempaan ramadhan untuk mendekatkan diri pada Allah. Mungkin, andai Allah membuka hijab diri untuk dilihat oleh sesama manusia, mungkin tak lagi diperlukan kaca untuk bersolek. Sebab, jangankan orang lain melihat, bahkan diri sendiri pun tak sanggup melihat wajah asli yang sesungguhnya atas gambaran diri sebenarnya. Mungkin melampaui buruknya wajah hewan yang berwajah buruk dan menakutkan. Na’uzubillahi min dzaalik.
Meski demikian, Allah tetap memberikan kasih-Nya pada makhluk, namun makhluk yang tak mampu berterimakasih pada-Nya. Syawal sebagai bulan kemenangan kadang gegap gempita dirayakan oleh para “penggembira”, bukan oleh para pejuang. Bagai pemain sepak bola. Tatkala tim sepak bola bermain, analisa tajam dimiliki oleh penonton atas kualitas permainan. Bila kesebelasan sepak bola mampu memenangkan pertandingan, pesta kegembiraan penonton jauh lebih menggema dengan sorak sorai dan pesta pora atas kemenangan timnya. Bahkan terkadang dengan kegembiraan yang melampaui batas.
Lalu, apakah selama ramadhan yang dilalui, kita telah berhasil memperoleh nilai dan membentuk karakter dengan mampu mengendalikan diri sehingga menjadi pemenang di bulan syawal ? Atau, ramadhan tinggal kenangan dan gagal membentuk diri. Hanya tersisa teriakan kemenangan, namun hakikatnya justeru hanya teriakan menutupi kekalahan.
Wa Allahu a’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Harian Riau Pos tgl. 17 Mei 2021