Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Naluriah manusia berharap pujian dan sanjungan. Tentu pujian dan sanjungan atas prestasi yang telah ditorehkan. Hal ini merupakan suatu kewajaran terjadi.Meski semua tergantung niat yang tersebunyi.
Namun, terkadang berbagai varian prestasi dicapai acapkali membuat manusia menjadi angkuh atas apa yang diraih, meski masih tersisa manusia yang tetap tawadhu’ atas apa yang dilakukan. Memandang prestasi sebagai kehebatan diri. Berbagai publikasi diri dikemas atas apa yang telah dibuat, bahkan dilakukan secara masif. Seakan ingin berkata lantang bahwa ini prestasi yang telah diukir dan (mungkin) dalam waktu singkat telah digapai secara revolusioner. Ingin rasa dunia mengakui, kehebatan diri atas apa yang diraih. Namun, acapkali prestasi yang diraih dipandang keberhasilan diri yang berdiri tunggal. Padahal, apa yang digapai tak bisa lepas dari berkelindannya upaya yang berproses secara panjang dan simultan.
Ada beberapa renungan sebelum mengatakan diri berprestasi atas suatu kerja yang kadang belum pasti milik kerja diri sendiri, antara lain :
Pertama, capaian kerja sampai pada hasil yang diraih memakan waktu panjang dan kerjasama banyak unsur. Perubahan yang membuahkan prestasi tak akan mampu diraih seperti membalikkan telapak tangan, apalagi hanya sekelip mata. Meski diri “sakti mandraguna”, tetap tak mampu dijalankan sendiri dan melanggar sunnatullah (proses alami).
Kedua, capaian prestasi merupakan hasil kerjasama komunitas yang memiliki tujuan yang sama pula. Sinergi harmonis dan kerja keras pantang menyerah merupakan kunci tercapainya apa yang diharapkan.
Suatu prestasi bagai membangun sebuah rumah. Sebelum rumah berdiri megah dan kokoh, pasti ada tanah yang disiapkan, batu dan pasir yang dikumpulkan, tetesan keringat banyak orang yang ikut bekerja membangun, waktu panjang yang berproses simultan, perencanaan matang, anggaran yang tak sedikit, pengorbanan, dan lain sebagainya. Dengan proses panjang dan kerjasama yang memiliki tujuan bersama membuat bangunan rumah nan indah dapat diwujudkan. Tidaklah dikatakan hebat dan berprestasi generasi yang akan datang memiliki negara yang berperadaban maju, sebab semua yang diperoleh adalah apa yang kelanjutan apa yang dilakukan oleh generasi sebelumnya.
Ketiga, capaian sebuah prestasi tak berdiri sendiri. Banyak unsur ikut terlibat dan berproses panjang yang cukup mebguras pengorbanan. Hanya momentum capaian mungkin diperoleh pada satu masa, namun akibat pertautan masa-masa sebelumnya. Teriakan “ini prestasiku” hanya memunculkan kepongahan dan secara tak langsung meniadakan kontribusi dan peran berbagai unsur sebelumnya yang sungguh telah berbuat banyak. Bagai sebatang pohon durian. Tatkala buah durian panen dan dinikmati kelezatannya, bukanlah sebuah prestasi pemetik dan yang menikmati buah. Tapi, kerjasama harmonis orang yang menanam sampai yang memanen durian. Akibat kerjasama untuk mencapai hasil durian yang lezat, harmonisasi generasi yang menanam sampai generasi yang memanen menjaga tujuan bersama agar durian hidup subur dan menghasilkan buah yang lezat. Dengan harmonisasi kerjasama pada tujuan bersama, menghasilkan prestasi bersama dengan teriakan “prestasi kami”, bukan prestasi.personal dengan teriakan “ini prestasi ku”.
Sungguh suatu prestasi kerja adalah penilaian eksternal (orang luar) atas apa yang telah dilakukan. Bukanlah suatu prestasi atas penilaian internal (diri sendiri). Dengan penilaian atas prestasi demikian, menampilkan sosok pemimpin yang bijak dan tawadhu’. Namun, bila penilaian atas prestasi muncul seakan hasil kerja diri sendiri, secara fulgar menampilkan sosok diri yang angkuh dan menafikan adanya kerjasama sebelumnya.
Sungguh, Rasulullah melarang manusia menganggap diri berprestasi (suci). Hal ini dinytakan dalam sabdanya “janganlah menyatakan diri kalian suci (varian berprestasi). Sesungguhnya Allah yang lebih tahu manakah yang baik di antara kalian.” (HR. Muslim).
Begitu dalam makna hadis di atas mengajarkan agar manusia terhindar dari keangkuhan diri. Jika ingin tahu bahayanya menganggap diri lebih baik, maka coba lihatlah pada kekurangan yang ada. Meski orang seakan memuji, apakah kita tau makna dan tujuan pujiannya. Mungkin hanya pujian semu atau pujian “kamusflase” karena singgasana yang kita duduki saat ini. Banyak i’tibar terlihat pasti. Pujian bertabur tatkala memiliki singgasana. Namun, ketika singgasna sirna, jangankan pujian, memandang pun tiada lagi. Hanya segelintir manusia bijak dan tawadhu’ memperoleh penghormatan (ta’zim) sepanjang hayat, bahkan sampai telah tiada.
Seharusnya sikap seorang muslim adalah mengedepankan prasangka kelemahan pada diri sendiri. Ia merasa dirinya serba kurang. Untaian pengakuan diri yang alpa dengan mengedepankan harapan bantuan semua kalangan, patut menjadi karakter diri. Namun, bila keangkuhan yang menghiasi hati, muncul ketakmampuan memandang diri yang alpa. Hanya kemampuan memandang kejelekan pada orang lain. Mungkin ini maksud kata pepatah, “Semut di seberang lautan nampak, namun gajah di pelupuk mata tak kelihatan”.
Keangkuhan merasa diri beprestasi seakan hasil kerja diri dengan untaian publikasi guna memperoleh sanjungan perlu dihindari. Sebab, keangkuhan tak pernah memberi manfaat pada diri, apalagi pada orang lain. Bahkan, keangkuhan akan menghacurkan diri sendiri dengan tampilan ucapan selamat, namun nan mencibir.
Lalu, dimana posisi kita ? Tentu kata hati masing-masing yang bisa menjawab. Sebab, kata hati tak pernah berdusta, apalagi bermuka dua.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit di Harian Riau Pos tgl. 28 Mei 2021