Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Sungguh tak ada ciptaan Allah yang sia-sia. Semua ada makna untuk diambil pelajaran berarti. Namun, tak semua bisa menangkap pesan Allah ketika mata batin telah tertutup oleh kemunafikan. Hanya terlihat bentuk zhahir, tanpa mampu menangkap pesan disebalik yang ada. Di antara sedemikian banyak ayat Allah yang sering bersentuhan dengan kehidupan adalah “lebah dan lalat”. Demikian kaya Maha Pencipta, meski hanya bagian terkecil dari organ kedua makhluk tersebut mengandung makna yang dalam bagi kehidupan. Di antara bagian dari lebah dan lalat adalah pada sisi “mata” keduanya.
Meski sama berfungsi sebagai indera penglihatan, ternyata dalam substansi berbeda antara keduanya. Perbedaan antara mata lebah dan lalat tentu didorong oleh instink otak, nafsu, dan isi diri yang dimiliki. Dorongan tersebut merangsang mata untuk melihat sesuai dengan isi dalam diri kedua makhluk tersebut. Bayangkan bila seluruh diri lebah dan lalat dijadikan objek kajian bagi cermin melihat diri, betapa luasnya cermin yang diperoleh. Hanya bagian terkecil berupa mata keduanya saja, tatkala manusia mampu mengambil intisari pelajaran bagi kehidupan, manusia akan melihat gambaran diri sebenarnya.
Adapun i’tibar yang bisa diambil dari mata lebah dan lalat antara lain :
Pertama, mata lebah senantiasa terbiasa mencari madu bunga meski ditumpukan sampah yang menggunung. Lebah sangat jeli memilih makanan. Meski lapar, ia tetap mencari madu sebagai makanannya. Sedangkan mata lalat terbiasa mencari sampah meski dirimbunan bunga yang jarum semerbak mewangi. Meski lebah ditempatkan ditumpukan bangkai, matanya jeli melihat madu yang manis meski tertutup tumpukan bangkai. Berbeda dengan mata lebah, meski terdampar dilautan madu, matanya mampu menemukan sisa bangkai yang terselip di bawah tumpukan dedaunan yang kering. Dalam konteks ini, ternyata lebah dan lalat tak terpengaruh pada tumpukan yang ada. Keduanya fokus pada bagian yang disenangi, bukan pengaruh apa yang di luar kodratnya.
Sungguh hebat kedua makhluk Allah ini. Meski ada sisi negatif, tapi sisi positif keduanya tak terpengaruh oleh dominasi yang ada di depan mata. Keduanya hanya fokus pada apa yang dicari, meski tersembunyi dalam tumpukan dominan.
Namun, sisi i’tibar bagi manusia mengajarkan, betapa hebat mata lebah. Mata kebaikan dan kebajikan. Meski berhadapan dengan setumpuk kelemahan (keburukan) sesama, ia hanya memandang sisi kekuatan (kebaikan) sesamanya. Bukan seperti mata lalat. Meski ada setumpuk kebaikan pada diri sesama, namun membutakan matanya dari kebaikan yang ada. Matanya hanya mencari dan melihat sisi keburukan sesama, meski hanya setitik keburukan. Setitik keburukan tersebut justeru yang dilihat dan dicarinya.
Kedua, mata lebah menangkap musuh bila mengganggu komunitasnya dan melakukan penyerangan secara bersama. Sedangkan mata lalat menangkap musuh dan hanya peduli pada keselamatan dirinya masing-masing. Lebah mencari madu dan mempertahankan madu secara kolektif. Sementara lalat mencari “busuknya bangkai” secara individu, meski kemudian memakannya secara kolektif. Namun, ketika ada serangan atas lalat, lalat kocar kacir tak tentu arah mencari keselamatan diri tanpa peduli lagi dengan komunitasnya. Ia hanya ada pada komunitas ketika “makan” namun pecah setelah hidangan hilang.
Kolektivitas lebah yang hidup sesuau tugas dan fungsinya, tak pernah membuat matanya buta dan muncul iri hati. Semua hidup dalam harmonisasi sesuai aturan. Lebah memiliki harga diri. Bila ada yang mengganggu komunitasnya, maka mereka akan bersatu meski harus berhadapan dengan kepunahan. Berbeda dengan lalat, tak ada kolektivitas. Yang ada hanya kebutuhan kolektif. Namun, tatkala berurusan dengan keselamatan, semua mencari keselamatan sendiri-sendiri, tanpa perjuangan mempertahankan harkat martabat diri.
Sejak kejadian lebah dan lalat tak mengalami perubahan. Lebah dengan sifatnya. Demikian pula pada diri lalat. Berbeda dengan manusia, meski perjanjian tauhid di alam mitsaq terucap dihadapan Allah, ternyata lupa pada janji di kehidupan nyata. Mata manusia melihat indah bila ada “kepentingan” dan mampu mencari “madu” pada sosok gurun sahara yang tandus. Bahkan, membuat seolah-olah madu untuk disuguhkan, meski sebenarnya racun mematikan yang dihidangkan. Begitu hebat mata kepentingan manusia mencari dan menyediakan madu bagi memenuhi “kepentingan” diri atau kelompoknya. Bila madu tak ditemukan, manusia akan membawakan layaknya madu-madu agar yang dilihat seakan memiliki madu.
Madu bagi lebah tetap madu sebenarnya. Namun, madu bagi manusia bisa beraneka bentuk “buah tangan” yang tersimpan maksud. Bentuk “buah tangan” dapat berbentuk materi maupun non materi. Tapi tujuan tetap sama, yaitu memperoleh tujuan dan maksud tertentu.
Namun, ada pula manusia bak pepatah “habis manis sepah dibuang”. Ia tak malu meminta sanjung dan memberi sanjungan meski tak biasa dilakukan. Kesemuanya untuk memperoleh apa yang diinginkan. Namun, tatkala jabatan telah sirna, keperluan tak bersisa, tak lagi terdengar “lagu pujian” membahana, bahkan sayup-sayup sampai tak lagi terdengar. Semua sirna hilang seketika habisnya madu. Bahkan yang tersisa justeru kebalikan, yaitu “bangkai dan kotoran”. Muncul cibiran, membuka aib sesama, bahkan “arena balas dendam” karena tak berkuku lagi, bahkan tak ada lagi manis yang tersisa. Ternyata, manusia mampu berubah-rubah. Meski awalnya mata lebah menjadi mata lalat, atau sebaliknya mata lalat menjadi mata lebah. Meski dikhawatirkan bila memiliki mata lebah secara zhahir, namun mata lalat secara hakiki. Semua tergantung pada kepentingan yang ingin dicapai. Lalu, bagaimanakah kita ? Mampukah mempertahankan mata lebah, atau menggadaikan mata lebah dengan mata lalat. Hanya setiap diri yang tau bila jujur menjawabnya.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit di Harian Riau Pos tgl. 29 Nopember 2021