Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Sungguh, seluruh ciptaan Allah berpasang-pasangan. Ada siang dan malam, pagi dan sore, kaya dan miskin, kecil dan besar, tua dan muda, baik dan buruk, bahkan suka dan benci. Meski semua ciptaan Allah berpasangan, namun manusia acapkali kehilangan sisi rasional kemanusiaannya sebagai makhluk yang sempurna. Meski dikarunikan akal dan hati, namun tak lagi digunakan. Adapun yang dikedepan terkadang hanya pada dimensi irrasional yang menyuburkan sisi subyektivitas. Bila penilaian subyektivitas tersebut tidak berdampak negatif, maka sisi kemudharatan dapat dihindari.
Namun, bila penilaian subyektivitas berdampak negatif pada seseorang, maka kemudharatan dan fitnah akan tegak menjulang lalu menghunjam mencabik-cabik “masa depan” seseorang. Pembunuhan karakter terjadi dengan sadis, melebihi kesadisan seekor harimau sang pemangsa. Meski sejuta bukti kebenaran dihadirkan, bahkan mungkin menghadirkan “Malaikat” pun tak akan mampu merubah penilaian manusia yang kehilangan akal budi atas sesamanya. Demikian pula sebaliknya. Kesemua penilaian tergantung pada sejauhmana sisi “suka dan benci” lebih dominan pada diri manusia yang menilai atas siapa yang menilai.
Semakin tinggi senangnya pada orang yang disenangi akan menimbulkan subyektivitas dan tak mampu merobohkan kepercayaannya meski sejuta bukti keburukan dihadirkan. Namun, semakin tebal kebencian pada orang yang dibenci akan menimbulkan subyektivitas pula dan tak akan mampu merobohkan kepercayaan meski sejuta bukti kebaikan dan kebenaran dihadirkan. Hal ini seirama dengan apa yang dinukilkan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib melalui pesannya, bahwa “tidak perlu menjelaskan tentang dirimu kepada siapa pun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu. Sedangkan yang membencimu tidak akan (pula) percaya itu.”
Dalam menyikapi sikap penilaian suka dan benci, ada baiknya berkaca pada hakikat diri, antara lain :
Pertama, suka dan benci karena Ilahi. Dasar munculnya suka dan benci karena agama. Sifat suka karena Allah didasarkan pada penilaian atas keteguhan memperjuangkan nilai-nilai agama. Demikian pula muncuknya kebencian karena prilaku yang menyimpang dari kebenaran agama. Meski suka dan benci karena Ilahi, namun manusia dilarang “menghakimi” sesamanya. Sikap ahsan dalam QS. an-Nahl : 125 jadi rujukannya. Meski suka tak membuatnya lupa dan benci tak melampaui batas yang seharusnya.
Kedua, suka dan benci karena penilaian akal dan perasaan. Sifat ini memiliki keterbatasan, sebagaimana keterbatasan akal dan rasa. Namun, keterbatasan yang dimiliki tak pernah diakui. Penilaian hanya tertuju pada sasaran akal dan rasa. Sementara dirinya tak mampu memahami keterbatasan akal dan rasa diri yang terkadang salah dalam memberi penilaian.
Ketiga, suka dan benci karena maksud tertentu. Sifat suka muncul bila maksud diri terpenuhi dan benci tatkala apa yang diinginkan tak terpenuhi. Suka dan benci model ini bersifat subyektif. Sifat ini bak pepatah “ada udang di sebalik batu”. Muncul suka tatkala tujuannya tercapai, meski melalui berbagai cara. Meski harus membawa “beraneka kekuatan dan hidangan”. Muncul suka ketika harapan yabg diinginkan terpenuhi. Namun, bila apa yang diinginkan terhalang, maka muncul kebencian. Kebencian yang terkadang berkelanjutan dengan upaya balas dendam. Dorongan kebencian membuka pintu aneka muslihat yang bertujuan untuk menghancurkan orang yang dibenci. Bila sisi suka dengan berbagai “kekuatan dan hidangan”, maka melunaskan kebencian pun terkadang mengerahkan “kekuatan dan hidangan”. Tujuannya, terbalas kebencian yang ada.
Ketika kondisi ini terjadi, maka sejuta pembenaran tak bermanfaat. Sedangkan bagi yang menyukai justru tak memerlukan pembenaran apa pun jua. Bila suka dan benci tak mampu dikelola dengan baik, maka keduanya akan berdampak negatif, baik bagi yang menilai maupun yang dinilai. Keduanya akan saling melukai pada waktunya, meski tanpa disadari. Rasa suka subyektif akan berdimensi prilaku “angkat telor” dan sifat “penjilat”. Tak ada harga diri tersisa, asal tujuan tercapai. Namun, bila apa yang diharap tak tercapai, maka hadir kebencian subyektif dengan membuka aib yang dituju meski sebenarnya harus dipaksakan. Meski terkadang aib diri penilai justeru terlihat nyata, namun ditutup pundi-pundi yang rapi dan kuasa yang terbatas. Seakan merasa diri begitu sempurna, meski sebenarnya menyimpan borok yang menganga dan bau menyengat melampaui bangkai.
Padahal, Allah menyembunyikan aib setiap hamba seakan-akan mengampuni hamba. Meski sebenarnya belum diberi pengampunan, namun dengan Rahman dan Rahim-Nya telah menyembunyikan aib hamba. Terkadang, Allah Maha Pencipta menutupi aib hamba, namun hamba justeru membuka aib sesamanya. Justeru manusia terlihat hadir melampaui Tuhan.
Suka, benci, dan membuka aib sesungguhnya disebabkan rendahnya kualitas muhasabah diri. Egoisme diri lebih ditonjolkan. Cercaan dan makian muncul hanya karena perbedaan. Namun, tatkala sejumlah kuasa telah diberikan, mulut terkunci berubah pujian. Sebaliknya, bila “kuasa dan harap” tak kunjung diperoleh, mulut terbuka melampaui luasnya alam semesta untuk menumpahkan kesalahan semata.
Sungguh ternyata, suka dan benci bisa dibeli, seiring murahnya harga diri manusia. Namun demikian, tak semua hamba memunculkan suka dan benci untuk bisa dibeli. Baginya suka dan benci hanya melalui timbangan agama, bukan nafsu dunia. Ia hanya ingin “berjualan” suka dan benci dengan Allah, bukan jualan murah dengan sesama yang acapkali “mengangkangi agama”. Sebab, kebenaran Ilahi melampaui apa yang ada di alam jagad raya.
Lalu, dimana posisi suka dan benci yang kita miliki selama ini ? Tentu hanya setiap diri yang tau atas rahasia yang ada. Pilihan tentu tetap ada bagi yang ingin hadir menjadi manusia yang diharapkan-Nya.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit di harian Riau Pos tgl. 17 Des 2021