Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Ketika Peter Fleming menulis buku Dark Akademia yang menceritakan wajah pendidikan nan tergerus arus liberalisme, melayang imajinasi pada air selokan yang acapkali terlihat. Meski imajinasi yang terkesan tak berhubungan, namun sesungguhnya ada korelasi yang menyentuh pilar intelektual atas keduanya. Korelasi tersebut mungkin bermanfaat untuk bahan pemikiran revolusi mental-intelektual yang sedang mengalami persoalan.
Wajah pendidikan modern sungguh sedang mengalami persoalan, tergerus arus globalisasi. Meski globalisasi menyisakan nilai positif dan negatif, namun kebijakan dan strategi pendidikan belum mampu melakukan filter atas pengaruh yang ada secara baik. Sosok guru yang diteladani dan menjadi sumber ilmu, diambil oleh sosok “google” yang serba tau dan mumpuni. Buku di perpustakaan hanya menjadi tumpukan “harta” berdebu yang diambil alih oleh e-library yang bisa hadir dan dibawa kemana-mana. Ketauladanan dan sentuhan guru untuk belajar menjadi berkurang. Orientasi mencari ilmu yang mewarnai karakter bergeser pada selembar ijazah dan gelar. Tradisi menulis menjadi hilang dengan hadirnya “biro pembuat karya tulis”. Tulisan terkadang hadir hanya sebatas melengkapi setumpuk persyaratan, bukan barometer intelektual. Bila terpenuhi persyaratan yang dibutuhkan, tradisi literasi hilang ditelan bumi berganti tradisi lisan dengan jurus lama “bersilat lidah” melalui retorika yang “menghipnotis” tapi kosong. Bahkan, gelar tertinggi dunia akademik serasa disulap menjadi media politik yang bebas untuk dianugrahkan pada siapa yang ingin diberi. Sungguh mudah gelar disandang. Meski, setumpuk persyaratan akademik akhirnya hanya tinggal dalam peraturan yang disusun seakan kelu membisu.
Apa yang terjadi pada dunia pendidikan yang digambarkan melalui karya “dark academia” serasa tamparan realita yang terjadi. Sungguh kualitas intelektual akademik bagai air selokan. Ada dua jenis air selokan, yaitu :
Pertama, air selokan yang menggenang (tak mengalir). Biasanya, jenis air selokan ini berwarna hitam, bau yang menyengat, sarang penyakit dan nyamuk, dan airnya tak dapat bermanfaat bagi manusia.
Kedua, air selokan yang mengalir tiada henti menuju hilir yang tak bertepi. Air selokan jenis kedua ini meski awalnya kotor, lama-kelamaan akan bersih. Warna airnya akan putih secara bertahap. Tak ada tertinggal bau yang menyengat. Tak ada tempat bagi sumber penyakit untuk tinggal. Bahkan tak ada kesempatan nyamuk bertelur dan menetaskan telurnya. Airnya bisa dimanfaatkan dan ikan pun nyaman hidup berenang kian kemari.
I’tibar kedua jenis air selokan di atas merupakan renungan wajah pendidikan yang katanya era 4.0. Bila pilihan pada air selokan jenis pertama, maka wajar bila pendidikan saat ini mengalami koma yang berkepanjangan. Sungguh mudah melalukan uji atas kondisi koma ini. Lihat saja pada “google scholar” berapa karya yang dihasilkan insan dunia pendidikan dan berapa kali pula karyanya dijadikan rujukan yang mencerdaskan anak bangsa. Semuanya akan terjawab secara gamblang dan terpampang nyata. Ternyata hanya segelintir yang masuk ranah air selokan jenis kedua. Namun, sayangnya air selokan jenis kedua tak pernah diapresiasi keberadaannya. Mereka kalah oleh air selokan menggenang yang lihai memainkan semua peran dalam pentas drama dunia. Sungguh, bila berkaca pada barometer kejayaan ulama era kejayaan Islam di Baghdad yang mampu menghasilkan literasi yang mengagumkan, mampu menghitamkan sungai Tigris ketika serbuan tentara Mongol. Padahal, era tersebut masih menggunakan tulisan tangan yang terbatas dibanding era modern dengan fasilitasnya yang canggih.
Dark Akademia karya Peter Fleming masih menyisakan kegelapan lain pendidikan modern. Meski hanya terjadi pada segelintir dan sifatnya pada oknum tertentu, namun menyisakan karakter yang tak patut ditiru. Kemunculan semacam “biro pembuat karya tulis” untuk melengkapi tujuan seakan dibiarkan. Meski nyata dan hadir dipelupuk mata, namun dianggap bukan persoalan. Rasa malu telah berlalu diganti rasa bangga. Prestasi berubah wujud menjadi prestise.
Sungguh, gagasan menghidupkan literasi merupakan langkah yang patut diapresiasi. Namun, gagasan tanpa kebijakan dan strategi hanya akan menampilkan gagasan “tanpa kekuatan”. Bila penentu kebijakan typikal air selokan jenis pertama, sejuta gagasan brilyan akan punah dan tak berarti. Hanya bila kebijakan hanya dimiliki penentu kebijakan tipikal air selokan jenis kedua, maka strategi literasi dimiliki oleh penggiat literasi akan dihargai. Kolaborasi keduanya akan menghasilkan peradaban yang lebih baik.
Ada beberapa langkah yang bisa ditawarkan pada generasi memulai cinta literasi agar menjadi air selokal jenis kedua, antara lain :
- Tulis semua kegiatan sehari-hari, baik bernilai positif atau negatif.
- Tulis kegiatan yang dinilai penting dan singkirkan kegiatan yang dinilai tidak penting.
- Tulis mimpi ke depan sesuai potensi yang ada. Meski mimpi tersebut dianggap tidak rasional oleh orang lain. Sebab, pemilik mimpi tentu berbeda dengan yang bukan pemilik mimpi. Dengan mimpi tersebut akan muncul motivasi untuk meraihnya dengan langkah-langkah yang tepat.
- Ceritakan apa yang ditulis secara lisan pada orang yang dapat dipercaya. Minta catatannya untuk memperbaiki media lisan yang dimiliki. Melalui upaya ini, kemampuan menulis akan berkorelasi dengan kemampuan lisan (public speaking).
- Belajar bukan untuk ujian, tapi jadikan ujian untuk belajar. Dua hal yang berbeda dengan hasil yang berbeda pula. Bila hidup belajar untuk ujian, maka kegiatan belajar bersifat temporer. Namun, bila ujian dijarikan motivasi untuk belajar, maka belajar dilakukan sepanjang masa agar semua ujian hidup yang dilalui dapat dijawab dengan benar dan bijaksana.
- Sungguh semesta bisa diraih melalui iman (karakter) dan ilmu. Iman tanpa ilmu akan gagal dalam kehidupan. Namun, ilmu tanpa iman hidup akan tersesat. Melalui iman dan ilmu, manusia akan banyak memberikan manfaat bagi diri dan sesamanya. Peradaban akan maju ditangan generasi yang beriman dan berilmu.
Pilihan tentu ada, apakah memilih jalan air selokan yang menggenang atau air selokan yang mengalir. Berkacalah dengan kaca besar diri yang terpampang.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit di Harian Riau Pos tgl. 10 Januari 2022