Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Ramadhan telah berlalu, syawal pun menjelang. Tanda pergantian waktu mengikuti sunnatullah sungguh pasti adanya. Namun, setiap takdir-Nya menyimpan sejuta pelajaran untuk ditangkap pesan-pesan Ilahi bagi menusia menjalankan kehidupan. Secara bahasa, syawal memiliki arti kebahagiaan atau peningkatan. Kebahagian kembalinya manusia ke dalam fitrah (kesucian atau kodrat kemanusiaan) yang mampu diperbaiki selama ramadhan dan peningkatan kualitas pasca ramadhan. Kebahagiaan ini disempurnakan melalui media puasa syawal yang dijanjikan Allah dengan pahala yang berlipat ganda, yaitu seperti menjalankan puasa selama setahun. Puasa Syawal hanya dikerjakan selama enam hari, akan tetapi Allah SWT akan memberi ganjaran atau pahala seperti seseorang yang puasa selama 12 bulan. Hal ini merujuk pada sabda Rasulullah “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh” (HR. Muslim).
Namun, di sisi lain, keutamaan syawal menyisakan motivasi dan sekaligus “tamparan” pada manusia. Sebab, syawal menyadarkan manusia untuk kembali pada kodrat fitrahnya. Beberapa makna kodrat fitrah syawal, antara lain :
Pertama, bulan mendekatkan diri kepada Allah. Upaya tersebut dilakukan melalui ibadah puasa Syawal yang diberi keutamaan tiada tara. Hal ini merujuk sabda Rasulullah :
“Barangsiapa yang melakukan puasa Ramadhan lantas ia ikutkan dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka seperti ia berpuasa setahun penuh” (HR. Muslim).
Kedua, Bulan menyadarkan dan mengembalikan kodrat fitrah manusia. Fitrah manusia merupakan dimensi hakiki yang mendasari sifat kemanusiaan. Bila sifat dasar dimiliki dan dipertahankan, maka nilai-nilai kemanusiaan dan sisi diri sebagai manusia akan dapat dimunculkan. Adapun kodrat dasar fitrah manusia antara lain : makhluk bertuhan, saling menghargai, kasih sayang, ingin keadilan, kebahagiaan, saling asah asih asuh, tak ingin disakiti, dan lain sebagainya. Ramadhan mengingatkan manusia untuk kembali pada fitrah dasar tersebut agar muncul dominan. Dengan upaya tersebut, manusia diharapkan mengembangkan sifat dasar tersebut pada 11 bulan ke depan. Hanya dengan sifat fitrah tersebut manusia akan menjadi makhluk yang mulia.
Upaya ramadhan mengingatkan kembali sifat dasar tersebut disebabkan manusia selalu mengingkari kemanusiaannya. Hal ini yang disinyalir Allah melalui firman-Nya pada QS. ar-Rum : 30 pada ujung ayat-Nya.
Ujung ayat di atas secara jelas diperingatkan Allah bahwa “…namun kebanyakan manusia tak mengetahui”. Ketidaktahuan atas pesan fitrah manusia bisa jadi dalam makna teks akibat kebodohan karena tak berilmu dan kealpaannya. Namun, bisa pula dalam makna kontekstual akibat kejahilannya (memiliki ilmu tapi membutakan hati). Sebab, dalam realita manusia acapkali menginjak-injak dan mengingkari fitrahnya. Pengingkaran tersebut antara lain : mengganti saling menghargai menjadi saling menghina dan membuka aib sesama, kasih sayang menjadi kebencian, pertemanan menjadi permusuhan, keadilan menjadi kezhaliman, kebahagiaan menjadi penderitaan, saling nasehat menjadi saling menghujat, kesantunan menjadi ketidaksantunan, peduli menjadi masa bodoh, memaafkan menjadi dendam kesumat, kesantunan menjadi kesetanan, kebajikan menjadi kejahatan, bahkan saling menjaga menjadi saling menjagal, dan lain sebagainya. Kondisi ini menghantarkan manusia keluar dari kodrat fitrahnya yang hakiki. Bertuhan tapi meninggalkan tuhan, ingin dipuji tapi tak pernah menghargai, ingin diperlakukan baik tapi menebar kejahatan, ingin semua tertib aturan tapi menginjak-injak hukum, ingin terlihat bagai orang shaleh tapi pelaku (dalang) kejahatan, berharap tawadhu’ tapi pelaku ketamakan, ingin saling mendoakan tapi isinya saling menjatuhkan, dan seterusnya. Bahkan, kodrat diri berubah melebihi kodrat makhluk paling kejam di muka bumi. Sungguh, kodrat fitrah manusia hancur oleh manusia sendiri. Bila hal ini tetap terjadi selama ramadhan, bagaimana fitrah diri mampu disadarkan. Bila selama syawal fitrah diri tak mampu disadarkan, bayangkan seperti apa 11 bulan kedepan. Fenomena hilangnya kodrat fitrah justeru lebih dominan dikembangbiakkan. Untuk itu, ‘idul fitri bukan sebatas merayakan, tapi jauh lebih utama menyadarkan kembali kodrat fitrah diri sebagai manusia dan memberlakukan hal yang sama atas sesamanya, bahkan seluruh ciptaan-Nya.
Ketiga, Bulan keshalehan sosial. Ketika ramadhan dinyatakan Allah sebagai amaliah antara hamba dan Khaliq, maka ramadhan memiliki sisi kekhususan vertikal. Hal ini merujuk pada sabda Rasulullah dalam hadis qudsi, bahwa “Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah sallallahu’alai wa sallam bersabda, “Allah berfirman, ‘Semua amal anak Adam untuknya kecuali puasa. Ia untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ibnu Hajar menjelaskan makna hadis di atas akan diperoleh tatkala : (1) ibadah puasa yang dilakukan terhindar dari sifat riya’ (pamer) dengan mengedepankan tawadhu’ dan keikhlasan. (2) tidak pernah menghitung-hitung amaliah ramadhan, sebab Allah yang akan menetapkan kadar amaliah hamba, bukan hamba yang menetapkan hitungan amaliahnya. (3) puasa yang dilakukan untuk dan karena Allah. Puasa yang mampu “menghadirkan atau merasakan kehadiran” Allah. (4) puasa yang dilakukan sebagai penghambaan diri dihadapan Allah. (5) menikmati manisnya puasa yang mampu merasakan kebersamaan dengan Allah.
Jika selama ramadhan Allah mengkhususkan ibadah puasa untuk-Nya (ibadah vertikal), maka Allah sediakan pula syawal untuk sesamanya (ibadah horizontal). Demikian Allah mengajarkan keseimbangan dalam beribadah yang melahirkan keshalehan vertikal dan horizontal (sosial) secara bersamaan, bak dua sisi mata uang.
Keempat, Bulan bukti “buah” ramadhan. Syawal merupakan indikator keberhasilan kualitas diri bersama ramadhan. Bagi para pencari keberkahan Allah selama ramadhan, ia akan memberi tanda pada karakter hamba. Dalam analogi sederhana, ketika ramadhan merupakan pohon besar nan rindang, maka lihatlah keteduhan dan buahnya pada syawal dan bulan-bulan sesudahnya. Sungguh akan terlihat jenis pohon, buah, kualitas buah, dan bentuk buah ramadhan. Bila pohon ramadhan subur dengan pupuk iman, maka akan menghasilkan buah yang manis dan menyegarkan bagi seluruh isi alam. Namun, bila selama ramadhan jati diri sebatas menutupi busuknya diri, maka pohon akan berbuah busuk berulat, masam, dan menjadi benalu bagi seluruh semesta.
Kelima, Bulan mudik. Mudik pulang kampung karena adanya kerinduan. Bila demikian, kenapa setiap syawal identik dengan mudik. Ternyata bukan sebatas silaturrahim belaka. Sebab, melalui HP manusia modern bisa bersilaturrahim. Namun disebalik mudik menyisakan dimensi lain sebagai alasan untuk mudik, yaitu hilangnya sisi kekeluargaan dan kebahagian dalam kehidupan modern. Untuk itu, manusia mencari sisi yang hilang dari kodrat fitrahnya dengan cara mudik. Meski berbagai resiko dan tantangan dihadapi, semua rela menjalani asal sisi kebutuhan “rasa kekeluargaan dan kerinduan” terpenuhi. Mudik perlu pula dimaknai kembalinya diri menjadi hamba dan pada waktunya akan kembali pada Sang Pencipta. Kesadaran “mudik” perspektif ini akan menyadarkan diri bukan penguasa di muka bumi. Sebab, kekuasaan hanya miliki Yang Maha Kuasa. Mumpung diberikan amanah yang ketika waktunya “mudik” akan diminta pertanggungjawabannya.
Keenam, Bulan merajut silaturrahim dan saling memaafkan. Akibat tingginya aktivitas manusia, acapkali tak ada waktu untuk saling bersua. Semua hidup bagai mesin. Gesekan sering terjadi hanya karena kepentingan sesaat. Tak ada kebiasaan meminta maaf, apatahlagi lebih sulit memberi maaf. Padahal, Allah mengingatkan, bahwa “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Az-Zumar : 53)
Ada segelintir yang merasa bersalah, namun tak sedikit yang merasa selalu benar dan tak pernah salah. Kesalahan atas sesama dianggap biasa, apatahlagi bila ada kuasa. Kesalehan sosial serasa kering di tengah kokohnya cadas ego kepentingan yang lebih dominan. Tradisi silaturrahim dan saling memaafkan hanya sebatas “lipstik semu” dengan berkelindannya akar dendam kesumat yang tak bertepi.
Sungguh Allah demikian sayang dengan umat baginda Rasulullah. Allah beri berbagai waktu untuk manusia melipatgandakan ibadahnya, bahkan kesempatan untuk kembali pada kodrat fitrahnya sebagai makhluk berperadaban. Namun, sayangnya manusia acapkali alpa atas kesempatan yang Allah berikan dengan memilih menjadi makhluk yang tak memiliki peradaban. Demikian Allah sampaikan melalui QS. al-‘Asr : 1-3, namun keangkuhan menutupi kebenaran ayat Allah. Demikian terang ayat Allah. Meski ‘iedul fitri dipahami untuk kembali pada kesucian melalui ketetapan pada agama Allah, namun menyisakan “tamparan” ternyata manusia telah kehilangan kodrat fitrahnya sebagai manusia. Hanya mereka yang sadar untuk kembali sebagai manusia mampu menemukan dan memanfaatkan media syawal yang disiapkan-Nya. Namun, bila media yang diberikan-Nya tak juga mampu menyadarkan dan mengembalikan kodrat fitrahnya sebagai manusia, maka tak ada lagi asa yang tersisa. Pilihan tentu kembali pada setiap manusia, apakah ingin tampil sebagai makhluk berperadaban, atau tanpa peradaban melebihi ganasnya makhluk yang paling ganas.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit diharian Riau Pos Online tgl. 16 Mei 2022