Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Siapa yang tak tau dengan pemulung. Ia adalah orang yang mengambil (memungut) bahan-bahan bekas yang digunakan kembali setelah dibuang oleh orang lain untuk dijual dan di daur ulang atau untuk konsumsinya pribadi. Ada jutaan pemulung di seluruh dunia, terutama di negara berkembang. Bahkan, jumlahnya selalu meningkat di negara pasca-industri. Apatahlagi sejalan terjadinya krisis ekonomi yang disebabkan pandemi (covid), pemulung menjadi alternatif memenuhi kebutuhan hidup.
Namun, tak banyak pula yang memiliki kesempatan mengambil i’tibar atas sosok pemulung. Meski sosoknya “dipandang sebelah mata”, kotor, strata yang rendah, dan penilaian miring lainnya. Padahal, Rasulullah pernah mengingatkan melalui sabdanya : Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk rupa kalian dan tidak juga harta benda kalian, tetapi Dia melihat hati dan perbuatan kalian” (Shahih Muslim).
Hadis di atas mengingatkan manusia untuk tidak menilai pada tampilan lahiriah. Sebab, tampilan lahiriah acapkali sebatas lipstik yang mengelabui mata menutup kelemahan diri yang sebenarnya. Padahal, eksistensi pemulung memiliki dimensi yang menjadi i’tibar bagi melihat diri. Sebab, secara nyata para pemulung sesungguhnya memberi manfaat dengan mengembangkan ekonomi sirkular. Ekonomi sirkular atau ekonomi melingkar merupakan alternatif pengembangan ekonomi linier tradisional, yaitu pelaku ekonomi yang menjaga agar sumber daya dapat dipakai selama mungkin, menggali nilai maksimum dari penggunaan, kemudian memulihkan dan meregenerasi produk atau bahan pada setiap akhir umur layanan (manfaat).
Terlepas dari aspek ekonomi sirkular di atas, sisi pemulung sebagai pembelajaran (i’tibar) diri dapat dilihat pada beberapa aspek, antara lain :
Pertama, memilah sampah yang baik dan membuang sampah yang buruk. Sementara segelintir manusia memilih yang buruk dan “membuang” (menelantarkan) yang baik, membuat yang baik menjadi buruk dan membuat yang buruk “seakan-akan” baik. Atau mencampuradukan antara yang baik dan buruk selama memberi manfaat pada dirinya. Sungguh, dengan gesit seorang pemulung mengurai barang tak berguna menjadi bermanfaat, bukan mensia-siakan yang bermanfaat menjadi sesuatu yang tak berguna. Bila manusia mampu menempatkan sesamanya yang “bermanfaat” (cerdas) dan membuang yang tak “bermanfaat”, merupakan hal yang biasa dan bukan prestasi yang seyogyanya dibanggakan atau standard penilaian. Apatahlagi bila menyingkirkan sesamanya yang cerdas menjadi sosok yang tak bermanfaat merupakan bentuk peradaban manusia rendahan. Kehebatan manusia justeru tampil bila mampu menjadikan sesama yang dinilai “tak berkualitas” menjadi sosok cerdas penuh inovasi dan unggul. Minimal, meletakkan sesama sesuai kapasitasnya tanpa melihat “warna, bentuk”, dan penilaian subyektivitas lainnya. Sungguh pemulung memiliki kecerdasan dalam memilih dan memilah sesuatu yang biasa menjadi bernilai luar biasa, apatah lagi menempatkan sesuatu yang luar biasa pada tempat yang semestinya.
Kedua, Meminimalkan volume tumpukan sampah yang berserakan. Ketika pemulung mampu melakukan kerjanya, sungguh perilaku mulia. Ia ikut menjadikan alam dan lingkungan bersih dari kotoran, bukan mengotori alam yang bersih. Sementara ada manusia yang tampil bersih, namun acapkali menciptakan lingkungan menjadi kotor dan merusak lingkungan.
Ketiga, Membuka lapangan kerja dan kecerdasan ekonomi. Seorang pemulung sungguh membuka banyak peluang kerja dan sumber ekonomi baru. Dibutuhkan kecerdasan sosial tinggi untuk melihat peluang yang ditawarkan oleh alam untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sirkulasi pemulung, penampung, transportasi, sampai proses daur ulang dan hadirnya berbagai bentuk barang yang bernilai ekonomi yang dijual dengan harga yang tinggi. Kesemua memerlukan sejumlah lapangan kerja yang memerlukan banyak pekerja.
Keempat, Meraih rezeki yang halal. Meski apa yang dilakukan secara zhahir “kotor”, tapi menghasilkan rezeki yang bersih (halal). Tamparan bagi pemilik akal dan hati tatkala hadir dilingkungan bersih dari aktivitas kerja yang bersih, namun menghasilkan rezeki yang kotor (haram).
Kelima, Simbol keuletan dan ketekunan untuk menjemput rezeki, bukan menunggu rezeki mendatanginya. Seorang pemulung mengajarkan ketekunan, pantang menyerah, menjemput rezeki dan pantang meminta-minta, apalagi berpangku tangan semata. Sebelum matahari terbit di ufuk timur, ia langkahkan kaki tanpa ragu mencari sesuatu yang berguna ditumpukan sampah. Tanpa ragu, dikaisnya sampah yang ada untuk menemukan sesuatu yang bermanfaat. Ia kembali, ketika matahari terbenam di ufuk barat dengan membawa secercah harapan dengan recehan yang dibawa pulang untuk dipersembahkan pada keluarganya. Matanya begitu terlatih melihat “sesuatu yang baik” di tengah bau sampah yang menyengat. Apa yang dilakukan terkadang berbeda dengan apa yang dilakukan manusia lainnya, mata yang terbiasa melihat “sekelumit yang buruk” dalam tumpukan kebaikan nan menggunung. Sungguh terjaga dan mulia mata pemulung, namun bagaimana mata yang mengganggap diri kaum ningrat yang hanya tajam melihat setitik keburukan, tapi tak melihat segunung kebaikan. Entahlah…
Keenam, Pekerjaan “kumuh” menurut pandangan manusia, namun belum tentu menurut pandangan Allah. Apa yang dilakukan pemulung acapkali diangggap pekerjaan “menjijikan” bagi segelintir manusia. Di tengah kotornya sampah dengan bau menyengat, di tengah kerumunan lalat menjijikan dengan ancaman penyebaran penyakit, mereka niatkan untuk mencari rezeki menopang kehidupan keluarganya. Sementara segelintir manusia yang hadir dalam medan rezeki yang bersih, dingin, harum semerbak, namun niat yang ditancapkan untuk memperkaya diri (atau golongan) tanpa tau halal dan haram. Si pemulung mencari rezeki untuk menunaikan amanah Sang Pencipta atas keluarganya, sementara segelintir manusia mencari rezeki untuk melanggengkan kekuasaan, kepuasan nafsunya, dan memenuhi sejumlah tuntutan atas akibat apa yang diperoleh. Ketika pemulung dipandang rendah oleh manusia, mungkin mulia di mata Sang Pencipta. Mungkin ada golongan yang dipandang mulia oleh manusia, namun hina di mata Sang Khaliq.
Hal ini dinukilkan Allah melalui firman-Nya : “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (QS. al-Hujurat : 11).
Dalam ayat di atas Allah melarang suatu kaum untuk membuka aib kaum yang lain. Sebab, hal tersebut akan merusak nilai-nilai kemanusiaan dan persaudaraan. Semua makhluk memiliki kelemahan dan perlu saling melengkapi, bukan saling menyakiti dan menzhalimi. Kemuliaan diri bukan pada luasnya ilmu, banyaknya harta, tingginya jabatan, kehebatan kuasa, dan lain sebagainya. Kemuliaan hadir tatkala diri memiliki adab (akhlak) yang tinggi. Hanya melalui adab, manusia akan menjadi mulia yang membedakannya dengan makhluk “predator” yang tak mengenal peradaban.
Sosok pemulung patut dijadikan cerminan melihat diri. Ia mampu melihat setitik kebaikan dalam tumpukan kejelekan. Beda dengan manusia merasa suci, mampu melihat setitik kejelekan dalam tumpukan kebaikan, bahkan bila tak ditemukan, ia akan tumpahkan kotoran agar ditemukan kejelekan.
Penilaian obyektif hadir bagi pemilik hati yang senantiasa mengingat Allah dan rindu pada Rasulullah. Namun, bila ingatan pada Allah dan rindu pada Rasulullah sebatas kata, berakibat gersangnya hati. Akibatnya, hati tak lagi mampu merasakan kesejukan embun kasih Ilahi yang tampil dengan berbagai variasi.
Sungguh, malu rasanya menyatakan diri mulia. Sebab, su’ul adab bila menilai diri sendiri paling pantas dan hebat. Bisa jadi pemulung lebih mulia dibanding diri yang merasa mulia, padahal nista adanya. Lalu, bagaimana kita ? Tentu hanya diri yang mampu menghadirkan Allah mampu merasakan dan menjawabnya.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit diharian Riau Pos Online tgl. 20 Juni 2022