Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Dalam hadis, Rasulullah pernah berpesan melalu sabdanya, “Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (qalb)” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis di atas menjelaskan begitu urgennya hati pada manusia. Bukan saja sebagai pewarna baik dan buruk prilaku, tapi juga salah satu organ penentu kesehatan biologis manusia. Jika baik hatinya, maka baik pula seluruh urusannya. Sebaliknya, jika rusak (apalagi “membusuk”), maka buruklah pula seluruh urusannya.
Dalam perspektif biologis, para ulama mengatakan bahwa hati adalah malikul a’dho (rajanya anggota badan), sedangkan anggota badan adalah junuduhu (tentaranya).
Secara ilmu kesehatan, fungsi hati bagi tubuh sangatlah penting, mulai dari menghancurkan racun dalam darah hingga membantu proses pencernaan. Bila organ hati tidak berfungsi dengan baik, berbagai kondisi serius dapat muncul. Oleh karena itu, penting untuk selalu menjaga fungsi hati. Sebagai salah satu organ penting dalam tubuh manusia, hati memiliki beragam fungsi, antara lain : (1) menghancurkan sel darah merah yamg sudah tua. (2) membersihkan darah. (3) menyimpan cadangan energi dan nutrisi. (4) memproduksi zat yang dibutuhkan tubuh. Atau lain sebagainya yang mungkin akan ditemukan secara ilmiah.
Dalam perspektif ayat Allah, sungguh hati memiliki kausalitas atas bangunan karakter diri setiap manusia dan jam takdirnya. Cermin hati adalah gambaran karakter diri. Manusia bisa lurus sesuai hati yang digerakkan kebenaran Ilahi atau mengelabui hati dengan karakter “bunglon”. Bila pilihannya pada hati yang suci, maka selamatlah diri. Namun, bila pilihannya mendustai hati, maka kesengsaraan yang akan menimpa. Sebab, manusia tak mampu mendustai diri atas kata hatinya.
Sungguh hati sangat menentukan perjalanan hidup manusia, karakter diri dan apa yang akan diperoleh nantinya. Gerak hati dapat dilihat pada 2 (dua) karakter, yaitu :
Pertama, karakter hati yang bersih akan melahirkan pikiran yang positif. Pikiran positif melahirkan kata-kata positif. Kata-kata positif melahirkan prilaku positif. Prilaku positif melahirkan kebiasaan positif. Kebiasaan positif melahirkan karakter positif. Sedangkan karakter positif akan menuai takdir positif. Takdir positif akan menghadirkan kebahagiaan yang positif pula.
Kedua, karakter hati yang kotor akan melahirkan pikiran yang negatif. Pikiran negatif melahirkan kata-kata negatif. Kata-kata negatif melahirkan prilaku negatif. Prilaku negatif melahirkan kebiasaan negatif. Kebiasaan negatif melahirkan karakter negatif. Sedangkan karakter negatif akan menuai takdir negatif. Takdir negatif akan menghadirkan kesengsaraan yang akan dirasakan dan tak mampu didustakan.
Melihat kedua pilihan jenis kausalitas hati di atas, tentu semua manusia mengharap pada karakter pertama. Untuk memperoleh karakter pertama, maka diperlukan olah akal dan hati untuk membangun diri terbiasa berpikir “titik 0″. “Titik 0” memposisikan diri netral untuk melihat sisi kanan dan kiri. Fenomena, hinaan, pujian, berbagai isu (baik atau buruk), dan persoalan apa pun yang terjadi perlu direspon dalam pola berpikir “titik 0″. Semua dihadapi dan dinilai dengan pijakan “titik 0”. Bila kebaikan yang muncul tak membuat dirinya cepat memberikan kekaguman, lupa diri, dan sombong. Bila keburukan yang muncul tak pula membuat dirinya menyalahkan, mencari kambing hitam, apalagi dengan iringan hujatan penuh kebencian. Atau, ketika kuasa di depan, kebenaran mendapat decak kagum membahana. Sedangkan bila kesalahan yang terjadi, pembelaan hadir mengalir tiada henti dengan “sejuta dalil” yang dicari-cari. Namun, bila kuasa telah sirna dan “kepentingan” diri tiada lagi (bagai madu hilang manisnya), serta decak kagum dan pembelaan berubah drastis bagai langit dan bumi berganti cercaan tiada henti. Semua “barisan” yang selama ini hadir hilang serta-merta bak ditelan bumi. Barisan rapi bagai pagar betis, satu persatu hilang membubarkan diri. Akibatnya pujian bergemuruh berganti hening sepi bagai hidup di alam kubur.
Sungguh, pijakan berfikir “titik 0″ akan melahirkan sikap obyektif dan prilaku bijaksana (ridho). Bila hati tak berpijak pada “titik 0″, maka akan muncul sikap subyektif atas apa yang dinilai dan prilaku destruktif yang merugikan. Bila tidak waspada, muncul kekhawatiran sikap subyektif yang dimiliki akan melahirkan kesalahan diri dalam menilai sesama. Sikap subyektif tanpa hati yang berpijak pada “titik 0” akan menghilangkan sifat kehati-hatian yang memunculkan prilaku berawal pada ghibah dan berujung pada fitnah. Ghibah dan fitnah muncul akibat penilaian subyektif dan berupaya mencari titik kelebihan bagi kaum yang senang dan kekurangan bagi kaum yang membenci. Bagi yang senang berupaya mencari alasan pembenaran. Sedangkan yang membenci berupaya mencari alasan kesalahan untuk menjatuhkan. Bila kedua kutub kaum berhati subyektif bertemu, tak akan ada jalan keluar dari akibat kemelut berpikir subyektif. Sebab, kelompok yang suka (pendukung atau kawan) tak memerlukan bukti apa pun atas semua kesalahan yang dilakukan. Sedangkan kelompok yang membenci (musuh atau lawan) tak memerlukan sejuta bukti kebenaran yang diperbuat.
Belajarlah filosofi jarum jam. Bila gerak jarum jam ke bawah, maka tak akan ada upaya untuk menaikkan jarum jam tersebut. Demikian pula bila gerak jarum jam sedang ke atas, maka tak ada upaya untuk menurunkannya. Demikian sebaliknya, bila jarum takdir sedang turun, jangan dipaksa untuk dinaikkan. Bila dipaksakan, maka akan rusak jam yang ada. Begitulah sunnatullah kehidulan manusia dan alam semesta. Sementara bila jarum takdir sedang naik, jangan pula dipaksakan untuk diturunkan. Sebab, ketika memaksakan jarum takdir naik untuk turun dan memaksakan jarum takdir yang sedang turun untuk dinaikkan, maka akan merusak tatanan alam semesta, baik jam maupun “tangan-tangan” yang melawan gerak jam. Biarlah yang turun bila waktunya, sebab akan ada waktunya untuk naik. Demikian pula bagi yang sedang naik sadar akan ada waktunya untuk turun. Takdir yang sedang naik tak menginjak takdir yang sedang turun. Demikian pula sebaliknya, takdir yang sedang turun tak pula berbuat onar terhadap takdir yang sedang naik. Sungguh, setiap masa ada takdirnya dan setiap takdir ada masanya. Untuk itu, ingatlah ketika jam takdir berada di atas. Jangan menganggap diri paling mulia. Apatahlagi ingin terus berada di atas, tanpa mau turun ke bawah. Sikap ini hanya dimiliki oleh “jam rusak atau mati”. Sebab, pada saatnya jam takdir akan berputar naik dan turun. Ketika jam takdir sedang turun, lalui dengan keikhlasan, sehingga tatkala jam takdir ke atas tak lupa diri bahwa pernah berada di bawah.
Para leluhur negeri ini pernah berpesan bila jam takdir sedang di atas, bahwa ketika memiliki kuasa lidahnya adalah api dan telunjuknya adalah pedang. Tergantung apa yang dikatakan oleh lidahnya akan menjadi hukum dan tunjuk jarinya adalah perintah yang harus dilakukan. Jaga lidah agar tak bebas mengeluarkan kata dan pikir secara arif sebelum mengunakan telunjuk (berikut kelima jari) sebelum menggoreskan pena. Berhati-hatilah dengan lidah dan telunjuk saat jarum takdir di atas, sebab doa kaum teraniaya akan mampu menggoyang langit dan bumi beserta seluruh isinya. Berhati-hatilah dengan lidah yang terbiasa “menghibah” (dengan berbagai variannya) bila jarum takdir sedang di bawah, sebab akan menambah dosa dan menghancurkan amal ibadah bagi yang melakukan atas kemungkinan fitnah yang disebarkan. Bila lidan dan telunjuk senantiasa digerakkan oleh hati yang bersimpuh asma Allah, maka kebermanfaatan alam semesta akan diperoleh. Namun, bila telunjuk dan lidah berangkat dari hati yang kotor, maka nistalah diri yang hanya membangun jurang kehancuran bagi sesama dan peradaban.
Sungguh benar nasehat Sunan Bonang melalui tombo ati (obat hati) agar senantiasa bersih yaitu : “baca al-Quran dan maknanya, qiyamul lail janganlah lupa, bersama-sama orang yang shaleh (bukan bersama orang yang salah), puasa sunnah jangan tinggalkan, dan senantiasa ingat Allah sepanjang waktu (zikir)” . Meski setiap pesan dimaksud perlu ditelaah dan dipahami secara komprehensif, sebab setiap pesannya memiliki makna yang luas dan mendalam. Bila pilihan pada sisi sebaliknya dengan meracuni hati, maka hati akan semakin gelap dan gilirannya membutakan diri yang lupa akan kembali. Hati yang sakit pada kenyataannya akan membuahkan takdir yang pahit (pada waktunya).
Demikian kausalitas hati terhadap takdir diri. Semua janji Allah adalah pasti adanya. Semua akan dituai pada waktunya. Tergantung warna dan gerak hati yang akan melahirkan buah takdir diri. Buah yang pasti akan dipanen oleh setiap yang menanam. Panen yang mungkin akan dituai pada saat kehidupan dunia (mungkin tergantung pada tingkat kuasa), atau kelak panen di akhirat (pasti dihadapan pengadilan Ilahi) yang terjamin keadilannya.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit diharian Riau Pos Online tgl. 11 Juli 2022