Oleh : Prof. Dr. Samsul Nizar, M.Ag
Ketua STAIN Bengkalis
Meski jelas dinukilkan dalam al-Quran dan Hadis tentang kebenaran dan kesalahan, namun dalam realitas kehidupan keduanya acapkali samar-samar, bahkan tertukar kedudukan antara keduanya. Hal ini menyangkut semua aspek, apakah aspek agama, pengadilan, politik dan kebijakan, hukum, pendidikan, ekonomi, sosial budaya, dan sebagainya. Tertukarnya kedudukan antara kebenaran dan kesalahan disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : (1) rendahnya sikap kehati-hatian. (2) rendahnya ilmu. (3) rendahnya iman pada diri. (4) rendahnya akhlak dan harga diri yang bisa dibeli. (5) rendahnya budaya berprilaku bijak tatkala memperoleh posisi, dan sebagainya. Bila hal ini terjadi pada kaum tak berpendidikan dan tidak memiliki kekuasaan, tidaklah bermasalah secara signifikan. Namun, bila hal ini dilakukan dan terjadi pada kaum intelektual dan memiliki kuasa, maka dapat dibayangkan akibatnya. Di antara akibat tertukarnya posisi antara kebenaran dan kebohongan, maka semakin subur kemunafikan yang berbuah bertahannya kemudharatan (kehancuran sistematis dan terstruktur) yang menimpa umat manusia dalam ruang yang luas.
Upaya menukar posisi antara kebenaran dan kesalahan seakan menjadi secuil trend modern namun bahayanya sangat laten. Seakan Rasulullah tau prilaku umatnya. Dalam konteks ini terlihat pada hadis, dari Ibnu ‘Umar bahwa Rasulullah pernah bersabda “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin pasti diminta pertanggungjawabannya atas apa yang dipimpin….” (HR. Bukhari).
Melalui hadis di atas, Rasulullah secara tegas menyatakan agar penentu kebijakan menjaga kedudukan kebenaran dan kesalahan tidak bertukar posisi. Sebab, bila dilakukan penukaran antara keduanya (apalagi dengan sengaja dan membudaya), maka kehancuran akan terjadi. Mungkin dunia bisa dibohongi oleh kuasa dan kemampuan retorika yang dimiliki. Namun, Allah tak pernah bisa dibohongi.
Untuk itu, Allah SWT menjelaskan sikap yang harus dimiliki dan diambil oleh manusia dalam memposisikan kebenaran dan kejahilan (kesalahan). Hal ini terlihat dalam QS. al-Hujurat (49) : 6. Firman Allah “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (QS. al-Hujurat : 6).
Melalui ayat di atas, secara jelas Allah menjelaskan pada manusia yang beriman agar berhati-hati tatkala menerima informasi dari kaum fasik. Bijak dan perlu dilakukan “tabayyun” (periksa secara teliti atas berita yang dibawa dengan sejumlah data). Bila hal ini dilakukan, maka keputusan yang diambil akan melahirkan kebajikan. Namun, bila menutup kebenaran dengan dalil mayoritas yang bersepakat merubah kebenaran, maka apakah sudah punah keimanan dalam diri dan tidak lagi menyakini akan diminta pertanggungjawaban Allah kelak ?
Banyak hal telah jauh dari al-Quran dan Hadis Rasulullah. Bila hal ini dilakukan berkaitan persoalan vertikal, maka Allah membuka pintu keampunan melalui taubat nasuha seorang hamba. Namun, bila hal ini berkaitan dengan persoalan horizontal yang menyangkut hak seseorang manusia, tak akan ada pengampunan Allah sebelum yang di zalimi memaafkannya.
Manusia dianugerahkan Allah dengan panca indera yang berpasangan. Mata, telinga, kaki, tangan, kedua lobang hidung. Kesemuanya memberikan pembelajaran agar manusia bijak menggunakan kedua sisi panca inderanya untuk menapis (menyaring) semua berita (informasi) yang diperoleh secara seimbang. Sikap bijak dalam menggunakan panca indera kemudian diolah dalam akal yang sehat dan ditanya dengan hati yang bertasbih, sebelum dilafazkan secara verbal (lisan atau tulisan). Bila hal ini dilakukan, maka berita kebenaran dan berita kesalahan (kejahilan) tak akan bertukar posisi.
Kesemua ini tentunya berawal dari memposisikan posisi hamba Allah di muka bumi. Rasulullah memberikan peringatan yang tegas dan jelas untuk TIDAK MEMPOSISIKAN fungsi kekhalifahan (khusus yang menyangkut hajat hidup manusia dan alam) bila mereka meminta-minta jabatan, tidak memiliki kemampuan (IQ, EQ, SQ), tidak memiliki program dan hasil yang jelas, tidak memiliki kemampuan sosial dan kecermatan, dan sebagainya. Bila hal ini tidak dijadikan dasar, maka akan tertukarlah antara posisi kebenaran dan kesalahan (kejahilan) yang berujung kehancuran tatanan kehidupan manusia.
Wa Allahua’lam bi al-shawwab.
Tulisan ini terbit di harian Riau Pos tanggal 17 Juni 2018