Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar IAIN Datuk Laksemana Bengkalis
Bung Karno pernah berpesan, “JAngan Sekali-kali MElupakan sejaRAH (JAS MERAH)”. Pesan singkat yang disampai-kannya pada saat pidato terakhir (1966). Meski singkat, tapi pesan yang sarat makna. Seakan, bung Karno memprediksi bentuk karakter generasi sesudahnya yang berpotensi “tak mampu mengukir sejarah, tapi selalu berupaya melupakan sejarah”.
Secara teori, sejarah merupakan rangkaian peristiwa kejadian yang berkelindan dari waktu ke waktu. Tidak ada hari ini tanpa hari kemaren. Apa yang terjadi hari ini me-rupakan gambaran hari esok. Demikian ke-terkaitan sejarah bagi manusia yang ber-adab dan berperadaban. Tanpa sejarah yang diukir generasi sebelumnya, tak per-nah ada sejarah hari ini dan masa depan.
Namun, kekhawatiran bung Karno seakan telah terjawab. Segelintir manusia yang tak mampu mengukir sejarah ingin “mengubur dan membelokan” sejarah generasi masa lalu. Seakan, nasehat bung Karno telah dilupakan dan dirubah menjadi “BERsama-samA Sepakat MElupakan sejaRAH (BERAS MERAH)”. Upaya ini tentu terjadi dan dilakukan secara bersama (kolektif) oleh kumpulan manusia pecundang. Mere-ka merupakan kumpulan pemilik karakter yang sefrekuensi, tanpa “basa basi” (adab).
Ketika sejarah direkayasa untuk dilupakan, maka gilirannya tampil para “pahlawan kesiangan”. Memproklamirkan
kehebatan tanpa pernah berjuang. Ketika masa sulit menghadang, tak pernah terlihat bayang-nya (bahkan menjadi duri dalam daging). Begitu kejayaan diraih, tampil paling depan dengan teriakan nyaring. Semua tampil mengaku paling hebat, ingin diakui tapi tak mau mengakui. Padahal, kehadirannya tak pernah berbuat sama sekali. Bagaikan karakter iblis yang ingin dihargai, tapi tak pernah mau menghargai.
Bila dikaji dalam perspektif agama-agama samawi, terlihat bahwa semua kitab suci berisi pesan sejarah. Bahkan, sepertiga isi al-Quran berisi tentang sejarah (kisah-kisah dan perjalanan umat terdahulu). Kisah dan sejarah yang dimuat bukan hanya sekadar cerita, tetapi mengandung hikmah, pelajaran moral, dan pesan-pesan keimanan yang ditujukan untuk menguat-kan hati dan memberikan pedoman hidup bagi hamba beriman. Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya : ““Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mem-punyai akal. (Al-Qur’an) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya, menjelas-kan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk serta rahmat bagi kaum yang beriman” (QS. Yusuf : 111).
Ayat di atas secara tegas mengatakan bahwa al-Quran berisi kebenaran mutlak. Tidak ada keraguan bagi orang yang ber-takwa (berakal). Untuk itu, ketika manusia melupakan dan berupaya untuk mengubur-kan sejarah, pertanda ia telah menafikan kebenaran sepertiga ayat al-Quran. Bila hal ini terjadi, maka patut dipertanyakan kadar keimanan dan adabnya. Padahal, sebagian pelakunya sosok yang mengerti agama. Ternyata, mereka sosok pecundang dan benalu
peradaban belaka.
Ada beberapa indikasi kekhawatiran bung Karno justeru sedang terjadi, antara lain :
Pertama, Upaya melupakan kontribusi generasi sebelumnya. Padahal, sebatang pohon durian mengajarkan makna kontri-busi dan jasa nenek moyang yang telah menanam dan merawatnya. Ia justeru hanya asyik menikmati tanpa pernah menanam, memupuk, dan menjaga agar pohon durian berbuah dan dinikmati orang banyak. Ternyata, manusia begitu mudah melupakan kontribusi yang menanam, apatahlagi zat yang menciptakannya. Sifat manusia yang demikian sangat dicela oleh Allah. Hal ini diingatkan melalui firman-Nya :“….. Dan janganlah kamu melupakan kebaikan di antara kamu. Sungguh, Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS. al-Baqarah : 237).
Bila hadir manusia berkarakter lupa seja-rah, maka ia berpotensi lupa (amnesia) pada semua yang pernah ada, bahkan mungkin jasa kedua orang tua dan nikmat Rabbnya. Hanya hadir keangkuhan ingin dipuji, padahal semua hanya menikmati hasil tanpa pernah berkontribusi (berbuat). Sungguh sosok manusia yang telah kehi-langan akal, rasa, dan harga diri. Manusia benalu, tampil “putih” tapi hanya sebatas penikmat nutrisi ala vampir (zombie).
Kedua, Upaya menghapus rekam jejak keberhasilan generasi sebelumnya. Upaya ini pertanda “ada yang takut” dan tak meng-hendaki “bayang-bayang” prestasi generasi sebelumnya. Sebab, ia sadar tak mampu memiliki “bayang-bayang”, apatahlagi untuk mengukir kecemerlangan sejarah yang serupa. Untuk itu, berbagai upaya dilakukan untuk menghapus atau menutupi semua jejak sejarah (kebaikan)



