Oleh: Prof. Dr. H. Samsul Nizar,M.Ag
Ketua STAIN Bengkalis
Tulisan ini terinspirasi dari catatan Rhenald Kasali ketika mengantarkan anaknya yang masih duduk di bangku SD pada sebuah lembaga pendidikan di Amerika Serikat beberapa puluh tahun lalu. Dalam catatannya diceritakan bahwa “tatkala anaknya yang baru datang dari Indonesia ke Amerika. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal, dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa. Menurut saya, tulisan itu buruk. Logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah. Kata sang guru, “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju, Encouragement”.
Ada beberapa pelajaran atas catatan Rhenaldi Kasali di atas untuk pendidikan di Indonesia saat ini, antara lain :
(1) Jangan mengukur prestasi dan keberhasilan orang lain menurut ukuran dan standard yang kita rumuskan.
Acapkali dunia pendidikan dan sistem yang menjadi acuan meletakkan sebuah ukuran prestasi dengan standard lembaga yang mapan atau perumus standard yang rata-rata dari lembaga mapan. Padahal, belum tentu pembuat standard tatkala berada pada lembaga yang belum mapan mampu melakukan kemapanan sesuai standard yang dibuat.
Demikian pula dalam pelaksanaan evaluasi, acapkali muncul mencari kesalahan dibanding membenarkan kesalahan. Akibatnya, out put pendidikan yang demikian ke depan akan memiliki watak balas dendam atas apa yang pernah dialaminya.
(2) Jangan menyamakan kemampuan anak bayi dengan orang dewasa dalam sebuah aturan yang sama. Buat standard sesuai dengan taraf usia dan perkembangannya.
Standard perlu berlaku universal. Standard sebuah aturan menjadi acuan untuk menjaga obyektifitas. Namun, standard universal dan obyektif harus diberlakukan pada satuan yang sebanding. Bila berhadapan dengan sesuatu yang tak sebanding, standard universal dan obyektif perlu diimbangi dengan kebijakan yang mampu menjaga nilai-nilai pendidikan. Bila standard berhadapan dengan sesuatu yang tidak sebanding dilakukan kaku sebagai standard universal, maka yang muncul adalah ketidakobyektifan. Hal ini berlaku pada semua kebijakan pendidikan di negeri ini, mulai kebijakan anggaran, evaluasi, sampai akreditasi.
Logika anak bayi dan orang dewasa di atas dapat dijadikan alur diskusi alamiah yang terjadi. Bagai antara lembaga pendidikan yang sudah berdiri 1 abad nan mapan vs lembaga yang baru berdiri 1 tahun nan serba kekurangan. Dalam hal alokasi anggaran, lembaga 1 abad mendapat bagian besar bagai layaknya ukuran baju orang dewasa. Berbanding terbalik dengan apa yang diperoleh anak bayi. Namun, anehnya dalam standard evaluasi (administrasi dan keuangan) dan akreditasi seakan tak perduli antara orang dewasa dan anak bayi. Semua dianggap sama. Jika standard berlaku universal, seharusnya semua hak dan kewajiban diberlakukan secara universal, apatahlagi dengan payung UU tentang daerah afirmatif yang masih tataran normatif, belum pada tataran implementatif. Kenyataannya belum demikian adanya.
Dalam aspek akreditasi umpamanya, meski standard sudah dibangun, perlu didampingi kebijakan bagai yang diceritakan Rhenaldi Kasali di atas. Anak Indonesia yang baru belajar bahasa Inggris tentu beda dengan kualitas anak asli Inggris. Namun, sang guru sadar bahwa anak yang baru belajar bahasa Inggris perlu diberi ukuran setara dengan anak yang baru belajar bahasa Inggris, bukan membandingkan dengan anak yang 7 keturunan sudah berbahasa Inggris. Apatahlagi tatkala standard baku yang sama namun dipahami berbeda antara asesor. Semakin runyam keadaan. Kambing hitam manakah lagi yang akan dicari untuk menumpahkan kerunyaman ini ?
(3) Standard bukan seperti politik belah bambu.
Standard perlu diberlakukan pada persoalan yang equivalen. Standard pendidikan perlu mengayomi dan membina. Standard.dalam dunia pendidikan dilakukan bukan seperti politik belah bambu dengan mengangkat bilah yang satu dan menginjak bilah yang lain. Standard suatu kebijakan pendidikan perlu dilaksanakan dengan kearifan dan mengayomi untuk perbaikan.
Logika sederhana terjadinya politik belah bambu di dunia pendidikan yang tak seimbang adalah dalam penetapan UN dan PMB. Bila lulusan UN tak lulus atau lulus dengan nilai yang rendah, siapa yang bertanggungjawab ? Di mana tanggungjawab orang tua, guru, penentu kebijakan dan negara hadir atas kegagalan tersebut ? Semua sirna, kecuali hanya anak dan orang tua yang menanggung semua kegetiran. Seyogyanya semua unsur hadir untuk mencari solusi agar kedepan kegetiran tak lagi dialami anak negeri. Bila UU mengisyaratkan bahwa pendidikan adalah hak semua warga negara, apakah benar demikian adanya ? Realitanya pendidikan memerlukan dana. Meski ada beasiswa diberikan, namun apakah proporsional dengan jumlah tingkat kemiskinan anak negeri ?
(4) Sistem yang memberatkan dan kurang relevan dengan dunia kerja.
Di sadari atau tidak disadari, bahwa jenjang pendidikan yang demikian panjang acapkali belum berkorelasi dengan ketersediaan lapangan pekerjaan yang mampu menampung lulusan pendidikan. Akibatnya, pengangguran tak terelakkan. Meski kadang ada, sebagian di antaranya hanya mampu menjadi tenaga kerja kasar yang mendapatkan penghasilan di bawah standard. Di antara penyebabnya ada pada kurikulum sejak pendidikan dasar sampai PT (16-17 tahun) yang mengulang dan kurang berkorelasi dengan kebutuhan zaman. Persoalan ditambah lagi sulitnya mencari SDM yang berkualitas, tatkala hampir semua SDM berkualitas hanya ada dan mau ada di pusat kota besar.
(5) Program yang temporal dan belum bersifat kontinue.
Pendidikan harusnya mampu membaca yang akan terjadi dan menjadi warna bagi bangunan kebudayaan. Namun kadangkala yang terjadi justru sebaliknya. Pendidikan gagal menjadi “peramal masa depan” dan justru dikendalikan oleh budaya. Untuk menjawabnya, perlu ada rencana program yang simultan, terarah, dan terukur. Program pendidikan bukan kegiatan selebritis untuk menarik popularitas, tapi untuk mencari solusi cerdas atas persoalan yang terjadi menimpa anak bangsa. Pendidikan perlu didukung oleh politik negara, namun pendidikan harus bebas dari pengaruh tangan politik agar terjaga obyektif dan kemerdekaannya.
Bantu dan berikanlah kesempatan kami sebagai anak negeri untuk maju dan memajukan NKRI
Wa Allahua’lam bi al-shawwab.
Tulisan ini terbit di harian Riau Pos tanggal 16 Juli 2018