Oleh : Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M.Ag (Ketua STAIN Bengkalis)
Setiap komunitas, organisasi, lembaga, suku, bangsa, sampai agama, pasti ada pemimpinnya. Sosok pemimpin yang didahulukan selangkah, ditinggikan seranting sangat vital atas komunitas yang dipimpinnya. Tanggungjawab pemimpin sangat besar. Dirinya bagai nakhoda sebuah perahu. Posisinya bukan untuk dipamerkan, tapi pemberi arahan dan semangat. Kadang ia berfungsi sebagai ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, atau tutwuri handayani. Ia bagai kompas penunjuk mata angin dengan bijaknya, bukan baling-baling dipuncak bukit yang membingungkan atau bukit batu yang kaku nan angkuh dengan kesombongan yang arogan.
Dalam Islam, bagunan pemimpin terlihat dari keberhasilan membangun keluarganya. Bila berhasil dalam memimpin keluarga inti (internal), maka cerminan keberhasilan memimpin komunitas eksternal yang lebih luas. Namun, bila gagal dalam memimpin diri dan keluarga internal, tak akan dapat berharap dirinya mampu menjadi pemimpin dalam kapasitas yang lebih luas. Hal ini dapar dilihat dari contoh yang diberikan baginda Rasulullah SAW yang sukses membangun keluarga inti dan sukses pula membangun masyarakat eksternal yang lebih luas.
Tugas dan tanggungjawab seorang pemimpin sangat berat. Bahkan, Rasulullah menukilkan dalam sabdanya “setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin pasti akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya”. Demikian pertanggungjawaban yang mesti dipikul seorang pemimpin, baik secara vertikal maupun horizontal.
Seorang pemimpin bagai seorang ayah atau ibu terhadap anak-anaknya (yang dipimpin). Sikapnya tak boleh ada perasaan pilih kasih. Semua diperlakukan sama sesuai dengan kapasitas anak-anaknya. Dirinya diwakafkan untuk membahagiakan anak-anaknya, memberi nasehat dan bimbingan bila ada kesalahan, memuji sebatas diperlukan bila berprestasi, memberi contoh untuk ditiru dan jadi pedoman, membela bila patut dibela, atau mendengar dengan bijak setiap pendapat dan pandangan meski berbeda dengan dirinya.
Bagai seorang ayah atau ibu, seorang pemimpin tak boleh berlaku sombong, arogan, pilih kasih, membuka aib anak-anaknya, lepas tanggungjawab bila anak ada masalah, membangun kebencian dan kedengkian, atau bahkan mencari-cari kesalahan anak untuk jadi alasan agar bisa dihukum. Bila hal ini muncul pada sosok seorang pemimpin, maka ada dua pilihan yang seyogyanya dilakukannya, yaitu :
Pertama, tidak mencalonkan diri sebagai pemimpin. Sebelum menjadi pemimpin, seharusnya berkaca atas kualitas pribadi secara komprehensif. Bila menyadari keterbatasan diri, sebaiknya mengurungkan niat untuk menjadi pemimpin bagi komunitas yang lebih luas. Upayakan memperbaiki diri terlebih dahulu dan sukses mempraktekkan kepemimpinan dalam keluarga (internal). Bila sudah berhasil membangun karakter diri dan sukses dalam membina keluarga, maka akan lebih memudahkan untuk memimpin masyarakat.
Kedua, bila sudah menjadi pemimpin, sebaiknya mengundurkan diri secara kesatria agar tak muncul fitnah dan mafsadah yang lebih besar atas orang lain. Sosok pemimpin bukan untuk dibanggakan, bukan pula untuk disombongkan, apalagi dijadikan cara untuk membalas dendam. Sosok pemimpin seyogyanya menjadi amanah untuk dilaksanakan secara baik dan bijak.
Imam al-Ghazali membagi manusia dalam 4 (empat) kategori, yaitu : (1). Tahu dan paham bahwa dia tahu (berilmu) melahirkan tawadhu’ atas ilmunya ; (2) Tahu dan paham bahwa dia tak tahu (tak berilmu) menjadi sadar atas ketidaktahuannya ; (3) Tahu tapi tak paham bahwa dia tak tahu melahirkan sosok asal bisa menjadi pemimpin ; (4) Tak tahu dan tak paham bahwa dia tak tahu melahirkan sosok pemimpin yang menghancurkan siapa saja yang dipimpin.
Seorang pemimpin perlu melihat kualitas dirinya. Dengan mengaca diri pada pembagian manusia menurut al-Ghazali di atas, setiap manusia seyogyanya melihat kapasitas dirinya. Bila telah berkaca, maka ia akan bersikap sebelum menetapkan pilihannya.
Namun, menariknya kelompok pertama dan kedua acapkali tampil dibelakang layar dan sulit maju kepermukaan. Sosoknya acapkali tertutupi oleh sikap tawadhu’ yang dimiliki dan “kekuatan” yang menutup akses pada dirinya. Akan tetapi, anehnya seringkali kelompok ketiga dan keempat memaksakan diri yang tampil dalam realitas. Tampilannya dipengaruhi oleh asesories luar yang memukau, menyilaukan mata, dan mampu membuat orang terpesona, atau melalui bantuan “kekuatan” dasyat yang mengantarkannya ke orbit menjadi pemimpin. Hal ini sangat mengkhawatirkan dampaknya. Akibatnya, kehancuran dipastikan akan terjadi atas komunitas yang dipimpin, bahkan pada dirinya sendiri.
Sosok pemimpin perlu kecerdasan kepribadian yang utuh dan menyatukan semua kekuatan secara bijak. Sosoknya bukan penyebar fitnah, hate speech, suka menjadi sumber dan penerima berita bohong (hoax), menjilat atasan dan menginjak bawahan, sombong atas statusnya, memecah belah unsur yang dipimpin, menjadikan dirinya sebagai kebenaran tunggal, atau lain sebagainya.
Kapankan sosok pemimpin kelompok pertama atau minimal kedua akan muncul? Pertanyaan besar untuk dijawab bersama ataukah perlu menunggu setelah kehancuran terjadi? Harapan minimal agar kelompok ketiga dan keempat untuk sadar dan mundur secara kesatria dari orbitnya agar seluruh galaksi beredar tanpa benturan dan seluruh tata surya harmonis melaksanalan tugas dan fungsinya.
Wa Allahua’lam bi al-shawwab.
Tulisan ini terbit di harian Riau Pos tanggal 8 Juli 2019