Oleh Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M. Ag
Ketua STAIN Bengkalis
Lahir di Sebauk, pada tanggal 01 Januari 1922. Ayahnya bernama Muhammad Ali yang meninggal ketika Yahya masih dalam kandungan ibunya. Sebagai satu-satunya anak laki-laki, si bungsu ini sejak kecil lebih banyak mencari ilmu dengan guru-guru agama saat itu. Aktivitasnya berbeda dengan teman-temannya saat itu yang mayoritas melakukan aktivitas ekonomi, seperti ikut orang tuanya sebagai nelayan (pengerih) atau motong karet. Yahya kecil telah ditinggal ayahnya sejak dalam kandungan. Harapan orang ibunya agar ia menjadi orang pintar dan alim menjadi cemeti dirinya untuk melepaskan kebiasaan anak-anak seusianya saat itu. Ia lebih banyak menghabiskan waktu menuntut ilmu, baik secara formal maupun non formal. Secara formal (Sekolah Rakyat) mengantarkannya sebagai PNS Guru Agama SD. Sejak menerima SK PNS, beliau ditempatkan di SD Teluk Pambang. Sejak itu, beliau tinggal di Teluk Pambang sampai masa pensiun dan akhir hayatnya.
Adapun di antara guru-gurunya saat itu adalah Syekh Burhanuddin dari Pagaruyung dan H. Abdullah (Andak Dolah). Sedangkan kawan seangkatannya antara lain adalah Ustad Mil.
Pada tanggal 28 Juli 1943, Yahya mempersunting Amnah binti Usman. Dari pernikahannya ini, beliau dikaruniai 6 (enam) orang anak, yaitu Aisyah, Azhar, Zulkifli, Rofi’ah, Rodiah, dan Hamidah. Namun, anaknya yang hidup hanya 3 orang, yaitu Azhar, Rodiah, dan Hamidah.
Dari ketiga anaknya tersebut, beliau dikaruniai 12 orang cucu (3 orang di antaranya meninggal waktu lahir). Pada tanggal 31 Juli 1999, istrinya yang tercinta meninggal dunia. Sejak menjadi guru agama SD Teluk Pambang, beliau bukan hanya mengajar murid-murid SD saja, tapi juga mengajar agama (Tauhid dan Fiqh) pada kaum bapak dan ibu di Teluk Pambang, Muntai, dan Teluk Lancar, serta menjadikan rumahnya sebagai tempat mengaji al-Quran anak-anak sekitarnya, serta kajian fiqh kaum bapak/ibu. Adapun kajian tauhid (sifat dua puluh) diberikan pada murid-muridnya dalam jumlah yang terbatas. Umumnya kaum bapak-bapak. Untuk di wilayah Teluk Pambang dilakukannya di rumahnya dan di masjid. Sementara di luar Teluk Pambang dilakukannya dengan berangkat ke wilayah tersebut. Hal ini dilakukannya sampai menjelang akhir hayatnya.
Pada tahun 1981, beliau berangkat ke Mekah menunaikan ibadah haji. Hal ini dilakukan setelah pensiun sebagai PNS. Pada saat menjelang wafatnya, meski dalam keadaan sakit, untaian kalimah tauhid tak pernah putus dari lisannya. Meski dalam keadaan sakit parah, beliau tetap minta air untuk wudhu’ dan melakukan shalat 5 waktu. Beliau sangat menjaga kebersihan. Bahkan, meski sedang dipasang kateter, beliau tetap minta air untuk memercikkan di atas kain bila beliau merasa buang air kecil. Hal tersebut dilakukan sebanyak 3 kali percikan (usapan di atas kain). Kebiasaan bersuci merupakan hal yang dijaga sejak kecil. Pada saat akan menghembuskan nafas terakhir, beliau sempat terlebih dahulu minta pada cucunya yang paling besar untuk mewudhu’kan beliau dengan air bacaan Yaasin. Selang tak berapa lama setelah itu, beliau menghembuskan nafas terakhir dengan mengucapkan dua kalimah syahadat dan sesungging senyum menghadap Ilahi. Beliau meninggal dunia dengan tenang pada hari senin, tanggal 26 Nopember 2012 sekitar jam 23.40 WIB diusia 90 tahun di hadapan seluruh anak dan cucunya. Beliau dimakamkan di TPU di samping Masjid Raya Parit 1 Teluk Pambang, berdampingan dengan makam istri dan menantunya yang telah meninggal dunia sebelumnya.
Beberapa kali beliau diundang oleh muridnya (H. Muhammad) ke Malaysia (Johor dan Malaka) untuk mengaji fiqh dan tauhid. Konsistensinya berdakwah melalui pendidikan dilaksanakan sampai akhir hayatnya.
Semasa masih hidup, pernah suatu kali Yahya Ali “takut lewat kubur”. Pernah cucunya bertanya, kenapa atok takut ? Beliau mengatakan, “aku bukan takut, tapi tak kuat mendengar suara orang-orang dalam kubur. Riuh rendah suaranya dengan jeritan yang menyayat hati, bahkan lebih riuh dari suara orang-orang di pasar”.
Teman dan Murid-Muridnya
Teman-teman guru waktu bertugas sebagai guru agama SD Teluk Pambang antara lain Guru Ali, Halimah, Anwar Bakar, Sumadio, Syakdiah, dan lain-lain.
Semua anak-anaknya langsung diajarkan oleh beliau, baik formal maupun non formal. Semasa menjadi guru agama SD Teluk Pambang, di antara murid-muridnya adalah Ali Kasirin (sekarang di Medan), Zakaria, M. Nuh, Masinah, Syarifah (menantunya), Buang, Syakdiah, Sahak, dan banyak lainnya. Sedangkan murid “ngaji” (non formal) antara lain, guru-guru SD Teluk Pambang saat itu, Bugel Maryono, Sahak, Daud, Ali, Abdurrahman, Ismail, Nuh, Masinah, Zubaidah, Rumiah, Fatimah, Aisyah, Muhammad, Arifin, Rosmin, Kadirin dan Sarimin (menjadi menantunya), Katemin, Masitah, Nuriah, Mail Aji, Sakdun, Saripan, dan ribuan lainnya. Hampir semua masyarakat Teluk Pambang, Muntai, dan Teluk Lancar (laki-laki dan perempuan) merupakan murid-muridnya dan pernah belajar agama dengan beliau.
Kebiasaan
Beliau punya kebiasaan yang secara konsisten dilakukan. Di antara kebiasaan hariannya makan nasi setelah tak panas, membaca kitab dan al-Quran, shalat dhuha, dan menulis (tulisan aksara arab Melayu) berbagai doa, amalan, dan materi agama untuk murid-muridnya. Bahkan, sampai hari ini, doa talqin dan fidyah yang dilanjutkan oleh murid-muridnya masih dengan membaca tulisan asli tangan beliau.
Kiprah Perjuangan
Selama hidupnya, Yahya Ali berjuang melalui pendidikan dan dakwah. Hal ini dilakukan sampai akhir hayatnya. Setidaknya, ada 3 generasi yang menjadi murid-muridnya yang pernah bertemu dan menuntut ilmu dengan beliau.
Ahlussunnah wal Jamaah
Beliau adalah pengikut ahlussunnah wal jamaah dengan arah tarekat merujuk pada Syekh Abdul Qadir Jailani. Beliau mengajarkan fiqh mazhab Imam Syafi’i. Hal ini terlihat dari materi yang diajarkan pada murid-muridnya seperti melaksanakan shalat tarawih 23 rakaat, talqin, fidyah, qunut, zikir dan doa berjamaah, dan lainnya.
Kehati-hatiannya pada upaya mempertahankan ahlussunah wal jamaah bahkan terlihat pada perhatiannya pada anak dan cucu-cucunya, terutama cucu tertuanya. Setiap cucunya pulang kampung, ia ajak diskusi berbagai persoalan agama. Bahkan, ia selalu melihat apakah ada perubahan amalan dan tata cara ibadah pada cucunya. Begitu hati-hati dan perhatiannya agar keluarganya tetap mempertahankan ahlussunnah wal jamaah.
Bahkan, bukan hanya pada keluarganya, kepada semua murid-muridnya beliau selalu berpesan sebagaimana pesan Imam Ghazali, bahwa “jika belajar harus ada gurunya. Jangan sekali-kali hanya belajar dengan buku atau kitab. Sebab, belajar tanpa guru maka gurunya adalah setan. Bila demikian, pengetahuan yang didapat akan sesat”.
Secara politik, Yahya Ali bersikap netral. Siapapun yang datang selalu mendapat penghormatan yang sama. Beliau tetap mendoakan bila diminta agar didoakan. Diujung kalimat selalu dikatakan bahwa semuanya adalah keputusan Allah dan jangan lupa Allah bila keinginan telah dikabulkan. (SN)
Tulisan ini terbit di harian Riau Pos tanggal 29 Juni 2020