Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Siapa yang tak tau lentera atau pelita. Beragam bahasa digunakan untuk menyebutnya, sesuai bahasa komunitas manusia. Mulai dari bentuknya yang sangat tradisional sampai yang modern dan canggih. Namun, substansi dan fungsinya tetap tak berubah sama sebagai alat penerang tatkala malam tiba atau kegelapan menerpa. Meski variannya terkadang dimaksudkan bukan hanya penerang, tapi juga memperindah suasana tatkala malam menjelang.
Meski manusia sangat mengenal dan tak bisa lepas dari fungsi lentera, namun tak banyak yang “memiliki waktu” untuk belajar dari lentera. Padahal, tatkala manusia memiliki sisa waktunya belajar dari lentera, maka manusia akan malu mengatakan “keangkuhannya” dengan lentera atau pelita.
Sungguh banyak petuah dan kata bijak yang dilambangkan dengan lentera atau pelita. Pilihan yang digunakan leluhur yang tak mungkin hampa dari makna. Beberapa varian petuah yang menggunakan kata lentera atau pelita antara lain .
“Pikir itu pelita hati”. Artinya menggunakan aka/ budi dan mempertimbangkan sega/a sesuatu dengan baik menjadikan seseorang lebih bijaksana. Sungguh bijak kata digunakan. Lentera sebagai penerang digunakan untuk mencitrakan manusia bijak yang menggunakan akal budi sebelum berkata atau melakukan suatu perbuatan. Hanya manusia yang menggunakan akal budi melahirkan produk diri yang bijaksana. Katanya menjadi penyuluh, nasehatnya menjadi penyejuk, perilakunya menjadi contoh, keputusannya berkeadilan, kebijakannya membuahkan kebajikan.
Berbeda dengan manusia yang berbuat tanpa pikir akal budi. Katanya lipstik dan kadang melukai, nasehatnya tak dapat dipedomani, atau keputusannya menguntungkan diri.
“Bagai memasang pelita tengah hari”. Artinya, menerangkan apa-apa yang sudah tidak per/u diterangkan /agi. Banyak penafsiran atas petuah ini. Bisa dipahami agar tak menjelaskan hal yang sudah jelas atau orang bodoh yang menjelaskan pada yang pintar tak akan bermanfaat atas apa yang dijelaskan, bahkan akannmemperlihatkan kebodohan yang disembunyikan. Semuanya tak bermanfaat dan tak memberi keuntungan.
“Ketakutan tidak bisa mengusir kegelapan; hanya cahaya lentera yang bisa melakukannya”. Artinya, suatu persoalan hanya mampu diselesaikan oleh orang yang memiliki akal budi. Tanpa sosok yang menyelesaikan masalah tanpa akal budi hanya akan menambah keruhnya persoalan. Di sini terlihat apa yang dinyatakan nabi Muhammad SAW bahwa “Jika suatu urusan diserahkan pada orang yang bukan ahlinya,maka tunggulah saat kehancurannya.” (HR Bukhari). Sebab, mereka tak mampu menyelesaikan urusan yang diberikan karena ketakmampuan akal budi bekerja menyelesaikan urusan tersebut. Meski manusia mampu menciptakan varian lentera, namun belum tentu mampu memetik hikmah dari lentera.
Ada beberapa pelajaran dari lentera yang dapat diambil dalam menatap kehidupan, antara lain .
Pertama, lentera menerangi manusia agar tak sesat. Cahaya menyeruak untuk menerangi kehidupan manusia, meski dirinya terbakar kepanasan. Meski filosofi ini sebaiknya tanpa membakar diri mampu menerangi orang lain. Bagai matahari yang bersinar, tanpa membakar dirinya ia memberikan cahaya seluruh alam semesta. Namun sayangnya, di tengah sinar lentera (dengan pengorbanan), nyatanya manusia bagai hidup dalam kegelapan dan memilih berjalan tanpa pedoman sehingga kesesatan lebih dipilihnya daripada mencari secercah sibar lentera. Bahkan, tatkala lentera terangi jalan agar manusia tak tersesat bila hadir kegelapan, sayangnya manusia yang tak bijak belajar dari lentera justeru tersesat di tengah terangnya lentera. Bukan lentera yang harus dipersalahkan, tapi gelapnya hati manusia yang tak mampu menerima cahaya lentera, apalagi cahaya Allah, nauzubillahi min dzaalik.
Kedua, meski tak pernah dipuji dan ingin dipuji, tapi lentera selalu memberi cahaya kebaikan untuk menerangi kehidupan makhluk. Lentera selalu ikhlas dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. la tak pernah protes tatkala manusia meletakkannya di mana saja. la hanya melaksanakan tugasnya menerangi. Sementara manusia selalu ingin dipuji meski di tengah cahaya kemunafikan yang disuguhkan untuk menutupi kegagalan tugas dan fungsi yang diemban. Manusia selalu protes bila posisinya tak sesuai yang diharapkan. Kondisi ini mengakibatkan hadirnya keangkuhan (bak angkuhnya iblis) dan enggan melaksanakan tugasnya. Bila diletakkan pada posisi yang istimewa, mulai muncul keserakahan untuk menguasai lingkungan dengan sinar kemampuan tak seberapa yang dimiliki. Akhirnya, keserakahan yang menggelincirkannya tanpa sedikit sinar diberikan pada lingkungan.
Ketiga, lentera era modern memiliki variasi warna yang beraneka ragam. Meski warna aslinya putih, tapi pakaian warna yang dipakaikan padanya membuat warnanya sesuai pakaian yang dipakaikan. Sungguh, ruh kebenaran semua manusia sama, hanya pakaian duniawi yang membuat warna asli berubah oleh kepentingan dunia sesaat. Kadang bisa warna hijau, kuning, merah, putih, bahkan hitam. Warna asli lentera yang putih bersih adalah Iambang akal budi yang fitrah. Namun, tatkala pakaian duniawi tak mampu menjaga warna asli yang selalu tunduk pada Allah, maka warna asli akan hilang dan kalah oleh pakaian “kepentingan nafsu dunia” yang membuat akal budi tertutupi.
Sungguh lentera mampu menjadi cermin kehidupan. Namun, cerminan lentera hanya mampu ditangkap bagi mereka yang memiliki cahaya. Pada mereka yang tak memiliki cahaya dalam diri, maka ia tak akan mampu bercermin dengan lentera. Bahkan, sinar lentera akan semakin redup oleh semakin tebalnya kegelapan pada diri. Bila cahaya lentera tak mampu memberikan cahaya, bagaimana mungkin mampu meraih cahaya Sang Pemilik Cahaya. Belajarlah dari lentera, gunakan cahayanya untuk menerangi diri menuju sumber cahaya Yang Maha Agung. Entahlah, sungguh kerdil rasanya diri dihadapan cahaya lentera. Bagaimana ketika mempertanggungjawabkan cahaya yang dinikmati selama ini pada Pemilik Cahaya ? Hanya manusia tawadhu l mampu memahami. Namun, bagi manusia yang angkuh, ia akan tenggelam oleh gelapnya diri di tengah sinar memancar dari lentera.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit di Harian Riau Pos tgl. 9 Juli 2021