Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Seorang yang berilmu dalam istilah agama disebut seorang ulama. Sosok ulama adalah orang yang benar-benar berilmu. Dengan keulamaan yang dimiliki membangun karakter diri yang terhindari dari prilaku hasad dengki atau saling memfitnah atas lawan yang berbeda pandangan dengannya. Lihatlah bagaimana ulama 4 (empat) mazhab. Meski berbeda pendapat tak pernah ada yang menyalahkan pendapat yang lain. Mereka saling menghargai, bukan saling mencaci. Selalu melihat kelemahan diri dan kelebihan orang lain, bukan sebaliknya.
Keulamaan seseorang bukan pada simbol literasi yang dimiliki, asesoris dunia yang disandang, setumpuk jabatan yang dipundak, atau sederetan publikasi asesoris duniawi yang penuh intrik. Keulamaan ada pada sikap tawadhu’ untuk selalu mengoreksi diri agar semakin mengenal Ilahi. Dengan kesibukannya ini akan menjadikan diri dikenal oleh “langit” meski bumi melecehkannya. Keulamaannya menuntun diri untuk dicintai Ilahi. Sedangkan ulama asesoris sibuk dengan publikasi untuk dikenal oleh “bumi” sementara “langit” tak mengenal sedikit jua. Kesibukan publikasi duniawi agar diri dicintai dan dipuji makhkuk untuk mendapatkan penghormatan atas dirinya.
Keulamaan bukan untuk dibanggakan. Apalagi bila status keulamaan diiringi niat kesombongan atas kehebatan diri dengan hasrat memperoleh “pundi-pundi”. Padahal, bagi yang memahami, kehebatan atas apa yang dimiliki sesungguhnya sedang menyaksikan kekuasaan Allah melalui hamba Allah yang dititipkan ilmu. Tanpa ketinggian kalam Allah, tak mungkin sosok ulama akan dihargai. Dengan demikian, keulamaan seharusnya membuat diri semakin mensyukuri karunia Allah karena telah diberi kepercayaan oleh Allah menjadi wasilah untuk memperkenalkan hamba pada sang Khaliq.
Keulamaan tak berarti melekat pada zuriat (keturunan) ulama. Bagai setandan buah kelapa, mungkin ada buah yang busuk atau tak bisa memberikan manfaat. Ulama adalah upaya hamba atas potensi dan anugerah Allah atasnya. Apalagi ulama yang tersambung pada zuriat Rasulullah perlu semakin menjaga akhlak Rasulullah dalam cermin hidupnya.
Ulama hakiki sulit dicari, namun eksistensinya selalu ada meski banyak yang tak mengetahui. Sosoknya hidup tanpa menjual keulamaan yang dimiliki, apalagi menjual harga diri dan membuat umat terpecah belah.
Citra ulama hakiki sungguh dinanti. Citra yang dimiliki paling tidak terangkum dalam beberapa karakter diri, antara lain :
Pertama, dirinya bagai embun yang menyejukkan. Kesejukan yang dipancarkan membuat hilang dahaga umat atas kemarau zaman yang semakin memanas. Dengan kesejukan yang dimiliki akan mampu mematikan api emosi dan dendam kesumat. Sebaliknya, ulama yang tak memiliki sisi kesejukan embun hanya akan menjadi bensin yang menyulut api dan membakar persaudaraan.
Kedua, dirinya bagai lampu penerang dikegelapan. Kegalauann umat terjadi akibat melihat persoalan dengan kacamata buram di tengah zaman yang gelap gulita. Tak ada pedoman dalam hidup karena tak ditemukannya cahaya sebagai pedoman. Kondisi ini akan membuat umat hilang kendali.
Ketiga, tutur katanya menenteramkan bagi umat. Setiap katanya menyelesaikan masalah, setiap fatwanya menghilangkan kebingungan, setiap nasehatnya penuh berarti. Tak pernah merasa diri paling benar, tapi menghargai pendapat yang salah dengan kebijaksanaan yang menyadarkan, bukan memperkeruh keadaan.
Keempat, perilakukan jadi tauladan. Ketauladanan dirinya bukan dibuat-buat, tapi muncul dari perintah ruh Ilahi yang menyeruak keluar dari dalam diri. Sungguh, apa yang dimunculkan lahir merupakan simbol dalam diri yang sebenarnya. Semakin dalam diri tertata dengan ruh ulama hakiki, maka akan muncul akhlak diri yang menjadi tuntunan hidup bagi umat yang ingin memperbaiki diri.
Kelima, fatwa yang dimunculkan jauh dari kesombongan dan merasa paling benar. Tak ada tersisa sebutir debu merasa paling pintar, apalagi merasa paling benar. Meski fatwanya tak berjurai ayat yang secara fasih diucap, namun fatwa yang berasal dari ruh al-Quran dan hadis.
Keenam, atribut diri tak pernah ditonjolkan, apalagi atribut tipu muslihat. Meski atribut zahir keulamaan tak dilarang, namun keulamaan bukan dilihat dari atribut. Keulamaan perlu melihat sisi adat lingkungannya, bukan memaksa perubahan atribut pada lingkungan.
Ketujuh, kesederhanaan bukan berarti pada kekayaan tapi pada pola kehidupan. Para ulama boleh mencari kekayaan. Tentu kekayaan yang dibenarkan agama. Dengan kekayaan, seorang ulama akan mampu lebih banyak memberikan kebermanfaan bagi sesama. Namun, kekayaan yang dimiliki tak menjadikan dirinya ujub, apalagi melupakan kerinduannya dengan Allah. Kerinduan inilah yang mampu menyelamatkan dirinya dari hubbud dunya yang menjadi hijab kerinduan hamba pada Khaliqnya.
Kedelapan, dirinya bagai pohon rindang tempat berteduh semua kalangan dan penuh dengan buah-buahan ranum untuk dapat dinikmati oleh semua makhluk. Sungguh, sosok ulama hakiki serasa begitu berarti. Keulamaan bukan berarti pada dimensi sempit hanyanpada “ulama” yang dinisbahkan pada orang yang menguasai ilmu agama. Ulama bisa muncul meski dalil tak dikuasainya, namun ruh ulama sebagai sosok yang rahmatan lil ‘alamin mampu dimiliki. Apapun disiplin ilmu yang dimiliki, tatkala merasakan makna pesan Rasulullah bahwa “ulama adalah pewaris (ajaran) nabi” (HR. Turmudzi).
Tatkala hadis tersebut dipahami, maka beruntunglah para ulama yang hakiki menjadi pewaris ajaran Rasulullah. Dalam konteks fiqh, pewaris merupakan orang yang ada hubungan. Tatkala hal ini dijadikan pijakan, maka sebaiknya seorang ulama menjaga keulamaannya agar memperoleh kedekatan dengan baginda Rasulullah. Bila hal ini dimiliki, maka beruntunglah diri menjadi ulama hakiki. Namun, tatkala keulamaan hanya sebatas menjual kebenaran, maka ia akan semakin jauh dari Rasulullah dan bukan pewaris nabi yang sebenarnya.
Lalu, dimanakah posisi kita dan ulama hari ini ? Hanya setiap diri yang mampu menjawab, apakah ulama hakiki atau hanya penipu diri. Wa Allahua’lam bi al-Shawaab.
Tulisan ini terbit di harian Riau Pos tanggal 15 Maret 2021