Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Sudah masuk tahun ke-2 wabah Covid-19 menghantui dunia. Seakan, belum terlihat akan kunjung usai, apalagi sirna. Grafiknya labil terkadang mendatar dan bahkan belakangan mengalami kenaikan,. Seakan belum ada tanda landai, apalagi menurun secara signifikan. Sudah banyak korban berjatuhan. Sungguh musibah dunia yang telah meluluhlantakkan tatanan kemanusiaan pada semua sektor. Meski mungkin akibat penyakit penyerta pada individu tak bisa dikesampingkan ikut andil percepatan proses penyebarannya. Ditempat awal munculnya wabah (Wuhan) justeru sudah relatif aman, justeru di dunia jadi ramai. Namun, ada beberapa catatan kecil yang layak dipertanyakan atas keganasan C-19, antara lain :
Pertama, bila wabah ini datang dari Allah, apa maksud dan dosa apa yang dilakukan manusia. Apakah bentuk murka-Nya atas kezhaliman yang tak henti dilakukan manusia saat ini. Hanya saja, mungkin manusia belum mampu menyingkap rahasia yang terjadi, atau tak pernah mau tau atas semua. Tapi, sifat Rahman dan Rahim Allah tak mungkin “merusak tatanan hamba” secara kolektif, apalagi masif. Pasti kerusakan terjadi akibat pilihan ulah manusia atas alam. Hal ini bisa dilihat pada firman Allah : “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (Q.S. ar-Rum : 41).
Dalam sejarah umat terdahulu, semua musibah yang terjadi akibat murka Allah atas perilaku hamba. Namun, tatkala hamba kembali pada ajaran agama, Allah angkat musibah yang terjadi. Hanya saja, C-19 yang terjadi melampaui batas komunitas dan apakah di dunia telah tiada lagi manusia yang beragama dengan benar dan tak ada lagi yang ingin bertaubat ? Agaknya, pendekatan historis berbagai wabah sebagai bentuk murka-Nya dapat menjadi cermin melihat wabah C-19 saat ini. Tatkala umat sadar dan melakukan taubat atas kedurhakaan, maka Allah akan mengangkat murka-Nya dengan menurunkan kasih sayang-Nya pada hamba yang taubat.
Kedua, bila wabah sengaja diciptakan oleh manusia dengan berbagai varian tujuan, betapa biadabnya mereka melampaui biadabnya hewan terendah. Jika C-19 hanya sebagai alat untuk menggapai tujuan politik dan ekonomi, betapa nistanya peradaban manusia saat ini. Seakan, C-19 telah meniadakan berbagai penyakit yang telah ada selama ini. Sebab, berbagai penyakit yang dikenal sebelumnya menjadi tak muncul lagi. Semuanya seakan hanya digolongkan pada indikasi C-19. Belum lagi C-19 teratasi, muncul pula varian baru yang terindikasi lebih ganas. Bila memang berasal dari ciptaan manusia, sudah puaskah sang pembuat wabah melihat yang terjadi. Pasti belum puas atau mungkin tak akan pernah puas. Akan muncul berbagai varian lagi guna terpenuhi tujuan yang diinginkan. Sebab, berkembangnya varian tentu berkorelasi dengan “media yang berkelindan” akan muncul dan berdampak pada sisi ekonomi dengan bentuk “permainan baru” yang lain pula.
Bila C-19 rekayasa manusia, begitu hebatkah dirinya sehingga tak mampu tersentuh dan diketahui sama sekali. Kecuali bila ditutupi oleh rekayasa kolektif yang membuat semua menjadi tertutupi. Tapi siapakah sosok misteri tersebut, tak ada yang tau.
Ketiga, betapa kecil manusia, hanya karena virus sekecil C-19 ternyata manusia bisa hancur. Masihkah kesombongan tetap bertahan dan dibudayakan. Kita sedang menonton betapa C-19 mampu menampilkan sosok karakter manusia yang asli tanpa mampu ditutupi dengan berbagai bentuknya.
Keempat, begitu terbatasnya ilmu manusia. Belum mampu menjawab dan mendapatkan solusi untuk mengusir C-19 yang hanya makhluk sangat kecil.
Hebatkah manusia modern dengan kepongahan peradaban yang dibanggakan ? Tentu jawabannya manusia tetap merasa hebat. Ilmu kalah oleh sebuah terobosan kepentingan. Bagai dagelan wayang. Ada wayang kulit yang digerakkan si dalang dibelakang layar. Namun, ada pula wayang wong yang langsung melakukan geraknya tanpa seorang dalang, tapi tetap tak mampu keluar dari skenario sang sutradara. Bila sejarah peradaban menghargai sosok ilmuan untuk mencari kebenaran dan membangun peradaban, namun dalam perkembangan bergeser penghargaan loyalitas subyektif yang mengalahkan keilmuan obyektif. Bila hal ini yang terjadi, wajar bila manusia tak mampu menghadapi C-19.
Kelima, keserakahan manusia melampaui C-19. Di tengah wabah, acapkali menggunakan “aji mumpung”, bahkan semakin tegar “kejahatan menutupi kejahatan”. Terbuat dari apa sebenarnya manusia saat ini ? Atau manusia saat ini lebih membahayakan ketimbang C-19 yang begitu bahaya ? Atau, C-19 muncul untuk mengalihkan perhatian atas bahayanya manusia “tanpa nilai manusia” seiring tingginya kepentingan keserakahan.
Keenam, menanjaknya kasus C-19 memasuki tahun ke-2 dengan varian barunya menjadi catatan kecil atas efektivitas vaksin yang masif dilakukan. Meski menyisakan pro kontra, vaksin C-19 telah menghabiskan dana yang tak sedikit. Sejauhmana efektivitas vaksin yang dilakukan dalam meminimalkan penyebaran C-19. Bila tidak signifikan berkorelasi memberikan kekebalan tubuh manusia, sebaiknya proses vaksinasi perlu dipikir ulang secara bijak. Jangan sampai guyuran anggaran untuk melakukan vaksin terbuang sia-sia. Sebab, munculnya varian baru dipastikan munculnya vaksin baru sesuai varian yang berkembang. Dengan demikian, guyuran anggaran negara untuk memenuhi vaksin varian baru tak dapat dielakkan.
Negeri ini penuh dengan beraneka ragam tumbuhan obat-obatan yang diwariskan leluhur. Tidakkah usaha pengobatan ala Indonesia dikaji secara serius agar bangsa ini tak selamanya sebagai konsumen, tapi menjadi produsen yang mampu menyediakan media antibodi bagi menangkal wabah. Asa tetap ada selama hayat dikandung badan. Tak ada arti menyerah, apalagi berhenti munajat pada sang Pencipta.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit di Harian Riau Pos tanggal 28 Juni 2021