Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Hadirnya Permendikbudristek 30/2021 tentang tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi tengah menjadi sorotan pelbagai kalangan. Aturan tersebut dinilai ikut mengakomodir pembiaran praktik perzinaan di kampus. Sebab, perbuatan asusila yang diatur dalam Permen tersebut tidak dikategorikan sebagai kekerasan seksual jika suka sama suka atau pelaku mendapat persetujuan dari korban.
Meski Plt Dirjen Pendidikan Tinggi Ristek, Nizam menjelaskan bahwa polemik tersebut muncul karena kesalahan persepsi atau sudut pandang. Sebab, tidak ada satu pun kata dalam permen PPKS yang menunjukkan bahwa Kemendikbudristek memperbolehkan perzinaan.
Sungguh, memang kata legalitas tidak ditemui, namun kalimat “tanpa persetujuan korban” menimbulkan sejuta tafsir. Akibatnya, masyarakat menjadi resah dan kalimat tersebut bisa dijadikan alasan legalitas bila “ada persetujuan”. Persoalan muncul pada pasal 5, terutama bagian (2) ayat f sampai m (8 point) berulang kata “tanpa persetujuan korban”. Ada beberapa hal yang patut dicermati dari polemik di atas, antara lain :
Pertama, kata “tanpa persetujuan korban” menjadi alasan hukum atas terjadi atau tidaknya PPKS dan tak bisa dihukum. Bila ada persetujuan, maka tidak dikategorikan PPKS. Sedangkan bila tanpa persetujuan baru dapat dikategorikan PPKS dan dihukum. Jika demikian, perlu penjelasan dengan kata yang baku. Bila tanpa persetujuan korban dikategorikan PPKS, sedangkan bila melalui persetujuan korban dikategorikan pornografi dan melanggar UU ITE. Bila keduanya masuk dalam Permendikbudristek 30/2021, maka eksistensinya lebih akomodatif. Bila hanya bermain “retorika” mempertahankan pendapat masing-masing, maka polemik terus bergulir dengan retorika masing-masing pula.
Kedua, dalam membuat suatu aturan, perlu disusun sesuai tata aturan yang berlaku. Negeri ini adalah negara hukum. Namun, acapkali aturan di bawah bertolak belakang dengan aturan yang di atasnya. Banyak kasus dengan berbagai varian hukum di bawahnya bisa dibuktikan, antara lain atas UU 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, baik berkaitan sumber dana sampai status penamaan sebuah Perguruan Tinggi. Sungguh masih banyak produk hukum lebih rendah lahir yang “bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi”. Hal ini disebabkan beberapa faktor, antara lain : (1) produk hukum disusun dalam waktu sangat singkat untuk menyelesaikan masalah tertentu, tapi berakibat menimbulkan masalah baru yang berkelindan. (2) produk hukum disusun tanpa melihat aturan lain yang lebih tinggi status hukumnya. (3) produk hukum disusun untuk menyelesaikan persoalan kebutuhan sesaat dalam ruang yang terbatas. Akibatnya, produk hukum kehilangan universalitasnya, meski diberlakukan secara universal.
Dalam menyelesaikan produk hukum seperti ini, seyogyanya Menkumham RI perlu melakukan penelusuran dan evaluasi atas produk hukum yang bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi sebagai produk hukum yang ilegal dan perlu diperbaiki. Meski hal ini merupakan pekerjaan besar dan berat, namun perlu dilakukan. Sebab, menjadikan “hukum ilegal” mengatur negara dan membingungkan masyarakat.
Ketiga, produk hukum perlu proses penjang dengan mempertimbangkan faktor-faktor hukum lainnya. Perlu ada sosialisasi dan ditelaah oleh ilmuan yang membidangi lintas lembaga sebelum diundangkan. Melalui telaah bersama oleh ilmuan yang ahli dibidangnya lintas lembaga, maka perbedaan tafsir akan dapat diminimalkan dan memperkaya muatan produk hukum yang ditetapkan.
Keempat, Mendikbudristek perlu responsif atas polemik yang muncul sebagai bagian koreksi konstruktif atas produk hukum yang dibuat. Mundur selangkah untuk maju sepuluh langkah perlu dijadikan alasan berpikir. Akui kelemahan untuk memperoleh aturan ke depan yang lebih baik menjadi langkah bijak menyelesaikan polemik. Namun, bila tetap bersikukuh atas apa yang sudah dibuat dengan melontarkan logika tafsir, maka menunjukkan ketidakarifan dan membiarkan polemik tetap bergulir.
Kelima, polemik yang muncul atas produk hukum memberi ruang untuk belajar menjadi bijak. Suatu aturan, apatahlagi berhubungan dengan hajat hidup manusia perlu disusun dengan matang dan melibatkan ahli lintas lembaga. Di sinilah letak konsep musyawarah yang diisyaratkan dalam al-Quran bahwa “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.” (QS. Ali Imran: 159).
Konteks musyawarah dalam hal ini merupakan konsep musyawarah ideal yang ditampilkan oleh Rasulullah untuk memperoleh kebenaran. Bukan makna musyawarah yang “mengkondisikan kesepakatan” untuk memuluskan kesalahan memiliki legalitas atas nama keputusan bersama.
Sungguh, hadirnya aturan atas PPKS sangat diperlukan, bukan hanya pada lingkup lembaga pendidikan tinggi, namun semua lembaga. Sebab, prilaku PPKS sebenarnya berpotensi hadir pada semua ruang. Hadirnya aturan atas PPKS patut didukung. Dukungan bukan berarti menyetujui tanpa analisa. Sebab, bila dukungan setuju tanpa analisa berarti melakukan pembiaran kesalahan menjadi hukum. Sungguh, polemik yang muncul merupakan bentuk lain atas dukungan tersebut. Sebab, masyarakat inginkan aturan permendikbudristek 30/2021 mampu memberi nilai perlindungan dan kepastian hukum (tanpa multi tafsir). Seluruh elemen bangsa begitu peduli memikirkan negeri ini menjadi lebih baik.
Semoga produk hukum ke depan tak menyulut “pertentangan” dan mengedepankan kebijaksanaan yang berkeadilan.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Harian Riau Pos tgl. 15 Nop 2021