Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Ibadah haji merupakan perjalanan religi yang sangat didambakan oleh setiap umat Islam di seluruh dunia. Begitu tingginya keinginan umat Islam untuk dapat melaksanakan rukun Islam kelima demikian nyata. Bahkan, mereka sanggup menunggu antrian panjang sampai hampir setengah abad agar bisa berangkat menuju Baitullah. Penantian panjang serasa tak berarti apa-apa dibandingkan kenikmatan mengunjungi tanah haramain. Dambaan setiap muslim sebagai wujud nyata firman Allah : “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh” (QS. Al Hajj: 27).
Perintah hadir di baitullah sesuai firman Allah : “…. Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam” (QS. Ali Imran : 97).
Meskipun dalam kitab fiqh disebutkan makna berkemampuan (istitha’ah) meliputi kemampuan ekonomi, pisik, dan keamanan, namun ada syarat lain yang seharusnya dipersiapkan oleh calon jamaah untuk menikmati perjalanan religi di tanah haram. Persyaratan tersebut adalah ilmu pengetahuan dasar dan ilmu pengetahuan penunjang bagi tercapainya haji yang mabrur. Di antara ilmu pengetahuan dasar adalah hal-hal yang berkaitan dengan ibadah wajib yang dimulai dengan niat yang ikhlas hanya semata-mata untuk ibadah kepada Allah SWT. Di samping itu, karena Allah Maha Suci, maka sebelum berangkat ke Baitullah, setiap calon jamaah haji perlu terlebih dahulu membersihkan diri secara vertikal melalui taubat nasuha dan secara horizontal dengan cara meminta maaf dengan sesamanya. Sebab, hanya hamba yang bersih (lahir dan batin) akan mampu merasakan “bertemu” dengan Yang Maha Suci. Sedangkan yang berikatan dengan ilmu pendukung adalah memper-banyak membaca kisah-kisah yang berkaitan dengan rangkaian ibadah haji. Melalui pengetahuan terhadap rangkaian sejarah yang berkaitan haji, maka seorang jamaah akan mampu meresapi makna dari rangkaian ibadah haji yang akan dilaksanakan, mulai dari hakekat berpakaian ihram, thawaf mengelililingi ka’bah, Multazam, Hajar Aswad, Maqam Ibrahim, Hijr Ismail, sa’i, tahallul, wuquf di Padang Arafah, mabit di Musdalifah, dan melontar jamarat di Mina, melaksanakan shalat berjamaah sebanyak 40 waktu di masjid Nabawi, ziarah di maqam Rasulullah, hadir di Raudhah, sampai melakukan napak tilas (ziarah) dibeberapa tempat bersejarah yang ada di tanah haramain. Kesemuanya bukan sekedar melaksanakan rangkaian ibadah fisik, tapi menghadirkan rohani menikmati semua sajian nikmat Allah dengan kelezatan tiada tara.
Tatkala niat yang ikhlas telah terpatri dengan pondasi keimanan karena Allah dan permohonan keampunan dimunajatkan pada-Nya, maka pertolongan Allah akan diperoleh. Pakaian ihram bukan hanya sebagai pakaian pembungkus raga, akan tetapi hancurnya kesombongan diri yang selama ini membelenggu hubungan hamba dengan hamba, serta hamba dengan Khaliq. Thawaf mengelilingi ka’bah memberikan pelajaran kesatuan tujuan hidup seluruh hamba dihadapan Sang Pencipta. Apapun status dan posisi yang dimiliki, kesemuanya secara ideal harus pada tujuan yang satu, yaitu untuk mengabdi kepada-Nya. Pelaksanaan sa’i merupakan simbol kasih sayang antara seorang orang tua terhadap anaknya dan pengabdian anak terhadap kedua orang tuanya. Sa’i merupakan introspeksi diri sejauhmana fungsi sebagai orang tua telah mampu dilaksanakan, terutama di tengah-tengah kehidupan modern yang memicu kerenggangan hubungan orang tua dan anak. Atau muhasabah anak terhadap kedua orangtuanya sebagai wujud bangunan karanter anak yang berakhlak mulia dengan berlaku taat atas nasehat kedua orang tua sebagaimana indahnya perlakuan Ismail terhadap kedua orang tuanya. Napak tilas ke Gua Hira’, Jabal Rahmah, Ma’la, Uhud, Masjid Qiblatain, Masjid Quba, Baqi’ dan lain sebagainya. Tatkala ilmu pendukung mampu dimiliki, maka akan tersingkap tabir ilahi. Tatkala ini diperoleh, air mata yang keluar begitu nikmat dirasakan. Beratnya medan tanah haramain akan semakin menumbuhkan cinta pada Rasulullah yang berupaya keras membentuk karakter umat dan menyelamatkan manusia dari kehinaan. Berkumpulnya jamaah haji di Padang Arafah memberikan gambaran Padang Mahsyar pada hari akhir nantinya. Sedangkan aktivitas melontar jamarat secara hakiki adalah melontar sifat-sifat syaitan yang ada pada diri yang selama ini berkembang subur merusak citra penghambaan.
Haji merupakan ibadah penuh mistri dan memiliki magnet kerinduan tiada henti. Meskipun kesemua syarat yang dikatakan dalam kitab fiqh telah terpenuhi, haji belum tentu bisa dilaksanakan oleh setiap diri. Acapkali meski persyaratan haji di atas tak terpenuhi, namun ada hamba Allah yang justru berkesempatan menuju Baitullah dengan cara yang tak mampu dirasionalkan. Semuanya karena status hamba sebagai tamu yang diundang oleh Allah (dhuyufurrahman), maka Allah pula yang memperjalankan dengan cara-Nya. Untuk itu, agar Allah mengundang diperhelatan akbar pada pelaksanaan haji, maka perkenalkan diri sebagai hamba dihadapan Khaliq dengan cara memperbanyak ibadah secara ikhlas, Tatkala Allah telah mengenal hamba-Nya, maka kesempatan untuk menjadi tetamu Allah akan diperoleh. Akan tetapi, tatkala Allah tak kenal dengan hamba-Nya, bagaimana mungkin undangan tersebut dapat diperoleh, meskipun persyaratan secara fiqh telah terpenuhi. Banyak pemilik harta justeru tak tergerak hatinya berangkat ke baitullah, sementara si miskin yang mengandalkan keyakinan justeru berangkat menuju baitullah. Sungguh perjalanan haji tak mampu dirasionalkan dan penuh misteri.
Beberapa bulan kedepan, pemberangkatan jamaah haji mulai dilakukan. Berbagai persiapan peningkatan pelayanan jamaah telah dilakukan oleh Kementerian Agama RI. Tujuannya agar tamu Allah dimuliakan sejak proses keberangkatan, selama di haramain, sampai kepulangan.
Tidak akan pernah seseorang merasakan bila mereka hanya menjadi tetamu manusia. Tingginya penghormatan sebagai tetamu Allah akan semakin sempurna tatkala totalitas diri bersih sebelum menuju Yang Maha Bersih, terutama hati dan kehidupan duniawi yang melekat pada raga yang acapkali mengganggu kekhusyukan sebagai tetamu-Nya.
Demikian tinggi keutamaan haji dan besarnya harapan umat Islam menjadi tamu Allah, negara hadir untuk memfasilitasi dan memberi pelayanan yang maksimal. Setiap tahun, negara melalui Kementerian Agama RI berupaya memperbaiki semua komponen pelayanan bagi tamu Allah untuk lebih baik. Bahkan, pelaksanaan dan pelayanan haji pasca Pandemi mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini ditandai tingginya tingkat kepuasan jamaah haji tahun 2022. Meski secara umum sudah berjalan sesuai rencana, namun kerinduan umat terhadap Baitullah perlu didukung beberapa aspek peningkatan strategis yang perlu diperhatikan, antara lain :
Pertama, Penguatan kualitas manasik dengan mengedepan materi dan metode yang sesuai perkembangan usia jamaah. Manasik bukan sebatas memberikan pemahaman atas setiap rangkaian ibadah haji berikut syarat, dan rukun, akan tetapi makna atas atas setiap ibadah yang dilakukan. Untuk itu, ilmu yang berkaitan haji menjadi faktor utama. Program manasik haji yang dilakukan perlu tepat sasaran dengan metode penyampaian yang menunjang. Tak semua yang berilmu tentang haji bisa menyampaikan ilmu yang berkaitan pelaksanaan haji. Perlu sertifikasi tim manasik yang profesional, baik ilmu, metode, pemahaman psikologi, dan sarana prasarana pendukung.
Dalam rangka penyampaian informasi yang benar dan komprehensif terkait penyelenggaraan ibadah haji dan umrah kepada masyarakat, maka pemerintah perlu melakukan sosialisasi secara massif dengan melibatkan stakeholder terkait. Sebab, tak sedikit calon haji yang tak mengikuti rangkaian manasik haji akibat ketidaktahuan atau biaya yang tak terjangkau. Standarisasi biaya perlu diatur pada rentang tertentu. Dengan demikian, seluruh jamaah akan menyiapkan diri mengikuti manasik sebelum keberangkatan ke tanah suci dengan ilmu yang diharapkan.
Manasik bukan sekedar ilmu yang berkaitan pelaksanaan haji, tapi kesiapan diri untuk menjadi tetamu Allah. Dalam rangkaian menjadi tetamu Allah, maka jamaah haji perlu memiliki sifat-sifat mulia layaknya sebagai seorang tetamu. Kesadaran akan posisinya sebagai tetamu Allah memungkinkannya untuk berakhlak mulia. Ketika sifatnya ini dimiliki, maka mereka akan memperoleh kemuliaan dan kemudahan. Hanya denan memperbanyak zikir akan menjadi obat penawar yang mujarab selama perjalanan haji.
Ibadah haji merupakan proses penempaan diri menjadi muttaqien sejati. Ibadah haji merupakan akumulasi proses ibadah, bukan semata menjadi tujuan akhir. Seorang yang memperoleh haji yang mabrur terindikasi pasca haji dengan peningkatan ibadah dan nilai ketakwaan kepada Allah. Tatkala proses perjalanan haji mampu membentuk karakter diri setiap hamba pasca haji, maka akan aman sebuah negeri. Akan punah tradisi keserakahan, akan hancur kezhaliman dan khianat, akan binasa ketidakadilan, dan akan ditinggalkan tradisi kemunafikan.
Kedua, Perlu tenaga psikolog untuk mendampingi jamaah haji yang mengalami “kelabilan psikologis”. Apatahlagi dengan kondisi fisik yang melelahkan dan cuaca yang terkadang ekstrim. Pendekatan tenaga psikolog yang mampu melakukan pendekatan religius sangat diperlukan agar tingkat gangguan psikologis jamaah bisa diminimalkan.
Ketiga, Petugas (TPHI, TPIHI, TKHI) yang amanah dan melaksanakan tugas keummatan secara profesional. Pelayanan administrasi yang melayani dan mengayomi mutlak dilakukan. Peran petugas bukan sebatas wilayah ibadah, tapi menyadarkan calon sebagai tamu Allah, terlepas atribut yang selama ini dimiliki. Untuk itu, penetapan seluruh petugas haji bukan sebatas tes tertulis (teoritis) yang berhubungan aturan, administrasi, dan tupoksi tanpa wawasan keilmuan yang luas untuk menjelaskan makna setiap aktivitas ibadah haji. Atau penetapan sebatas “bagi-bagi kesempatan”. Akibatnya, tes yang dilakukan akan menyisakan ketidakpuasan pelayanan yang dirasakan jamaah atas petugas haji. Untuk itu, perlu dibentuk tim seleksi petugas haji lintas disiplin ilmu, terutama tes wawancara, psikologi, dan trade record petugas dalam interaksi sosial sebelumnya. Sebab, tupoksi pelayanan hanya mampu dilihat melalui proses wawancara yang jeli untuk melihat karakter asli petugas haji.
Pada aspek lain, penetapan muhrim titipan bagi jamaah yang berangkat tanpa muhrim acapkali sebatas administrasi. Akibatnya, acapkali tidak terjalin tanggungjawab yang diharapkan. Apatahlagi penetapan muhrim tanpa komunikasi sebelumnya dan ditetapkan melalui penunjukkan. Kondisi ini berakibat terlantarnya jamaah haji yang dititipkan selama melaksanakan ibadah haji. Hal ini tentu bukan semata-mata kesalahan muhrim yang ditunjuk. Sebab, kesiapan muhrim yang ditunjuk dan penyerahan dari keluarga yang menitipkan acapkali tidak menjadi persyaratan utama.
Keempat, Manajemen pemondokan yang mempertimbang-kan kondisi calon jamaah haji. Kondisi pemondokan yang jauh dan melelahkan, fasilitas pemondokan yang tak menunjang, ketersediaan bus yang terbatas, posisi penginapan yang tak menyediakan fasilitas khusus bagi manula, dan sanitasi yang kurang mencukupi, acapkali menjadi persoalan dan meningkatkan stres jamaah. Apatahlagi fasilitas selama di Arafah, Musdalifah, dan Mina yang (terkadang) sangat tak layak (padat) perlu dikaji ulang. Belum lagi makanan yang bagi sebagian jamaah manula kurang mengundang selera. Perlu difikirkan menu “ala nusantara” bagi terjaganya selera makan jamaah yang menopang kekuatan fisik bagi pelaksanaan rangkaian haji.
Kelima, Melibatkan PTKIN dalam menyiapkan pendampingan dan pembinaan calon haji yang mandiri dalam melaksanakan ibadah. Pelibatan bisa dilakukan secara mandiri oleh setiap PTKIN, atau bekerjasama dengan menjadikan persyaratan bagi kelompok bimbingan haji yang telah ada. Pendekatan kolaborasi ini akan meningkatkan kualitas persiapan bagi calon jamaah haji melaksanakan ibadah selama di tanah suci.
Sungguh, memuliakan tamu Allah merupakan upaya mulia. Hanya saja, upaya memuliakannya bukan sebatas teori atau rangkaian serimonial keberangkatan dan penyambutan kepulangan. Upaya memuliakan tamu Allah harus dilakukan secara totalitas dan penuh tanggungjawab. Beruntunglah mereka yang melayani tamu-tamu Allah. Hal itu sesuai dengan hadis dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda : “Orang yang menunaikan haji dan orang yang menunaikan umroh adalah utusan Allah SWT. Apabila mereka berdoa kepada Allah SWT maka Allah SWT akan mengabulkannya, dan apabila mereka meminta ampunan kepada Allah SWT maka Allah SWT akan mengampuninya“ (HR. Ibnu Majah).
Bayangkan, ketika para tamu Allah merasa puas atas pelayanan hamba dan menyampaikan munajat kepuasannya pada Allah, maka berbahagialah diri. Apatahlagi bila tamu Allah yang dilayani memperoleh haji yang mabrur, maka samalah para pelayan tamu Allah memperoleh kemabruran haji mereka. Namun, tatkala munajat yang dimohon sebagai bentuk kekecewaan, maka nistalah diri (dunia akhirat,).
Demikian jelas kemuliaan para tamu Allah dan sikap yang harus dilakukan bagi hamba yang ingin menjemput rahmat Allah. Pilihan bijak dengan memberikan pelayanan maksimal penuh keikhlasan telah dilakukan dan perlu ditingkatkan.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Pekanbaru, 19 Desember 2022