Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar IAIN Datuk Laksemana Bengkalis
Qabil merupakan tampilan sosok manusia “berwajah ganda”. Ia “berharap banyak” dengan katanya (mentaati perintah Allah), tapi perbuatannya justeru sebaliknya (menipu Allah). Ia janji mentaati perintah berkurban, tapi dalam pelaksanaanya memilih buah yang busuk dan berulat. Terlihat, kata ketaatan kepada Allah yang diikrarkan ternyata tak berkorelasi dengan apa yang dilakukan. Ketika Allah menolak kurbannya, timbul sifat iri terhadap keber-hasilan Habil yang kurbannya diterima. Ketika itu, hadir bisikan iblis mengajaknya untuk menyingkirkan Habil dengan cara culas (membunuh). Sementara manusia modern melakukan pembunuhan dengan cara menghancurkan karakter, masa depan, dan merampas hak orang lain.
Sifat Qabil yang berbeda antara kata (taat pada Allah) dan perbuatannya (menipu Allah) merupakan sifat yang dimurkai-Nya. Sebab, Qabil hanya tampil indah pada kata, bukan realitanya. Allah sangat benci pada manusia yang memiliki sifat yang demiki-an. Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan. Sangat besarlah kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan” (QS. ash-Shaff : 2-3).
Menurut Ibn Katsir, ayat di atas berkaitan sifat manusia yang munafik. Ketika hal ini dilakukan –apatahlagi dengan sengaja–, maka murka Allah sangat nyata. Sebab, ia secara sadar dan sengaja telah memper-mainkan Allah dan Rasul-Nya. Ia begitu mudah mengatakan “kebaikan”, namun nyatanya mengingkari apa yang dikatakan.
Meski apa yang dilakukan untuk menipu sesama, namun pada hakikatnya ia telah menipu Allah. Hal ini diingatkan melalui firman-Nya : “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka…..” (QS. an-Nisa’ : 142).
Ada beberapa indikasi prilaku manusia menipu Allah secara nyata, antara lain :
Pertama, Menipu Allah melalui lisan. Me-lalui “tarian lidah yang tak bertulang”, ber-bagai janji diikrarkan. Kata suci dilantun-kan, padahal sebatas pencitraan menutupi kebusukan. Dalam Islam, hierarki janji hamba kepada Allah terjadi sejak alam mitsaq dan berlanjut di alam dunia. Ketika di alam mitsaq, ruh menyatakan janji ketauhidan penghambaan pada-Nya. Allah ingatkan melalui firman-Nya : “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”…. (QS. al-A’raf : 172).
Menurut Ibnu Katsir, perjanjian pada ayat di atas merupakan ikrar mentaati aturan-Nya. Untuk mengingatkan janjinya, kembali manusia mengikrarkan setiap melaksana-kan shalat. Hal ini sesuai firman-Nya : “Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Allah semesta alam” (QS. al-An’am : 162).
Meski ikrar janji personal hamba dengan Allah dilakukan setiap melaksanakan shalat (komunikasi vertikal), namun acapkali dilanggar. Untuk itu, diperlukan “janji yang dipublikasi”. Hal ini dilakukan ketika hamba diberi suatu amanah mengurus kehidupan sosial. Janji yang diikrarkan (dilembagakan) menyebut nama Allah. Namun, janji kembali dilupakan dan dilanggar penuh kesombongan. Pengulang-an janji menandakan potensi pengingkaran manusia pada setiap janjinya.
Sungguh, janji ruh dan lisan atas nama Allah berulangkali diikrarkan. Seyogyanya, janji tersebut berkorelasi wujud amal ke-bajikan. Namun, acapkali janji atas nama-Nya hanya sebatas kata untuk menipu Allah dan sesamanya. Untaian kemunafik-an yang berulangkali dilakukan. Semua dibungkus dengan pencitraan kesalehan imitasi. Semua akan terlihat nyata tatkala Allah membuka topeng yang dipakai.
Sungguh, bagi “hamba pilihan“, janji ruh tersampaikan secara lisan dan janji lisan terimplementasi dalam seluruh ruang kehidupan nyata. Kesemuanya akan ber-buah kebajikan yang rahmatan lil ‘alamin. Tapi, bagi “hamba serpihan”, janji di alam mitsaq hanya sebatas “kata-Nya” semata, janji lisan hanya untuk dipermainkan, dan implementasi (prilaku) sebatas pencitraan yang hanya menutupi tumpukan kezaliman.
Kedua, Menipu Allah melalui kata manis dan tampilan yang menipu. Dalam Islam, tampilan merupakan pengejawantahan sisi dalam diri. Idealnya, tampilan prilaku hadir sebagai wujud kualitas iman, isi hati, dan akal. Rotasi dan sinergi ketiganya terlihat pada prilaku yang tak bisa disembunyikan.
Namun, manusia terkadang menutupi iman yang rusak melalui pencitaan amal saleh. Sifat kemunafikan ini sangat dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Hal ini diingat-kan Rasulullah melalui sabdanya : “Allah tidak menerima iman tanpa amal shaleh dan tidak pula menerima amal shaleh tanpa iman” (HR. ath-Thabrani).
Melalui hadis di atas, terlihat simpul antara kualitas iman dan amal perbuatan. Namun, acapkali amal perbuatan berbeda dengan iman yang semestinya. Dalam ilmu mantiq, ketika amal perbuatan bertentangan dengan keimanan, maka berarti imannya telah rusak dan patut dipertanyakan. Sebab, iman yang benar akan berkorelasi dengan amal perbuatan yang baik. Bila amal perbuatan bertentangan dengan kebenaran, maka berarti imannya telah tergelincir. Sebab, hanya dengan iman yang benar akan mampu menuntun amal perbuatan yang benar. Demikian Allah sampaikan pada QS. ar-Rum : 30. Meski ditampilkan zikir lahiriyah (berikut berbagai asesoriesnya), tapi bila tak berkorelasi dengan amaliyah, maka tunggu azab Allah. Hal ini sesuai sabda Rasulullah : “Celaka orang yang banyak zikrullah dengan lidahnya, tapi bermaksiat terhadap Allah dengan perbuatannya” (HR. Ad-Dailami).
Sungguh, ketika manusia begitu mudah menipu Allah, apatahlagi terhadap sesama-nya. Ketika ia biasa menipu Allah, maka selanjutnya akan mudah pula “menjual” nama Allah bagi kepentingan pribadinya.
Dalam al-Quran, tipikal manusia yang menjual nama Allah (menjual janji, sumpah, atau ayat-ayat Allah dengan harga murah) –secara khusus– ditemukan pada QS. al-Baqarah : 41 dan QS. an-Nahl : 95. Secara spesifik, kedua ayat di atas menjelaskan tentang larangan untuk menukar atau menjual ayat Allah dengan keuntungan duniawi (material). Bila hal ini dilakukan, maka ia secara nyata menipu Allah dan Rasul-Nya. Semua hasil menipu Allah adalah haram hukumnya. Ia tak akan mampu “meraih cinta Allah”. Andai hasil tipuan untuk menutupi kesalahan, maka kehinaan yang diraih. Bila hasil tipuan dinikmati, maka bagaikan memasukan butiran api neraka dalam perut dan tubuh. Hal ini secara tegas diingatkan Rasulullah : “Tidaklah tumbuh daging dari makanan haram, kecuali neraka lebih utama untuknya” (HR. Tirmidzi).
Begitu jelas dan tegas hadis di atas me-nyebutkan dampak hasil menipu Allah. Peringatan yang sangat mengerikan. Alangkah tega bila hasil dari menipu Allah tersebut diberikan pada anak dan keturun-an. Sungguh wujud kezaliman yang nyata. Seyogyanya, hadis di atas menjadi rambu agar “jujur pada Allah”, bukan menipu-Nya dengan tipuan yang nyata (murahan).
Anehnya, meski ayat dan hadis begitu jelas, namun manusia kalanya enggan menyadarinya. Semakin tak terbendung Allah ditiou dan permainkan. Begitu jelas kebenaran ayat-Nya diingkari. Munajat hamba terzalimi mampu mengguncang ‘arsy. Munajat tanpa jarak antara hamba dan Rabb-nya. Demikian kepastian atas semua janji yang dijanjikan-Nya.
Mungkin menipu Allah akan menghantar-kan manusia mampu meraih nafsunya. Tapi, kesemuanya hanya berupa istidraj belaka. Ia mungkin diberi-Nya semua yang diinginkan (kenikmatan duniawi), tapi ia tak akan pernah bisa menghentikan kemaksiatan yang dilakukan. Padahal, semua nikmat yang disangkakannya bukan tanda cinta Allah, melainkan murka-Nya yang ditangguhkan. Pada waktunya, azab Allah akan tiba. Demikian janji Allah yang tak pernah ingkar atas janji-Nya.
Jebakan kenikmatan yang diperoleh akan membuat manusia semakin lupa diri dan terbiasa menipu Allah. Bila Allah dan Rasul-Nya begitu enak ditipu tanpa merasa dosa, apatahlagi untuk menipu sesamanya. Kebiasaan buruk ini menjadi hobi dan sulit diperbaiki. Karakter ini akan membuatnya semakin jauh tergelincir dari Allah dan semakin akrab bersama iblis. Akibatnya, ia tampil dengan ruh iblis berwajah manusia.
Pilihan berbasis iman sebagai pondasi utama akan menghasilkan kebijaksanaan hakiki. Konsistensi antara kata dan perbuatan merupakan ciri manusia beriman. Tapi, bila sebaliknya, pertanda iman telah rusak dan ia sedang menipu Tuhannya. Bila kebiasaan menipu Allah terus dilakukan, maka pertanda iman telah sirna, hati telah tertutup, dan akal telah dikendalikan nafsu. Pilihan selalu ada. Semua pilihan tergantung kualitas diri setiap hamba-Nya. Bagi hamba beriman, pilihan ketundukan pada Allah lebih utama. Tapi, bagi manusia kufur akan senang “menipu Allah” dan hobi membangun kemunafikan. Ia lupa aibnya akan semakin terbuka. Kekufuran yang dibanggakan bak menabuh genderang perang menantang Allah dan mengundang murka-Nya.
Ingatlah, Allah tak pernah alpa atas semua prilaku hamba. Semua tak akan mampu ditutupi atau disembunyikan. Sungguh, tipuan asesories kesalehan tak akan bisa menutupi kesalahan, baitullah tak bisa menyadarkan hati, panas Padang Arafah (wukuf) tak mampu meluluhkan keangkuh-an berlapis keserakahan, pakaian ihram tak mampu menyadarkan akan datangnya kematian, melontar jamarat tak pula mampu mengusir anasir “iblis” dalam diri (layaknya yang dilakukan nabi Ibrahim dan nabi Ismail), serta kurban tak lagi mampu menghilangkan sifat kebinatangan yang bersemayam anggun. Ternyata, kesadaran timbul ketika segumpal tanah menyumbat mulut. Namun, semua terlambat dengan penyesalan sia-sia dan tak ada gunanya.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 9 Juni 2025