Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Sungguh bijak petuah dan budaya yang diajarkan oleh nenek moyang. Kata adalah doa. Berhati-hatilah dengan ucapan, apalagi bila diucap secara berulang. Jika kata saja adalah doa yang menunjukkan keinginan, bagaimana jika kata seiring perbuatan dan “diaminkan” secara kolektif. Anehnya fenomena ini justeru disenangi dan digandrungi banyak kalangan saat ini. Di antara fenomena tersebut adalah sinetron “Dunia Terbalik” yang ditayangkan secara perdana pada tanggal 5 Januari 2017. Sinetron Dunia Terbalik sudah tayang menemani pemirsa setia RCTI. Sampai 7 Agustus 2021, sinetron ini akhirnya melewati angka 2.500 episode. Catatan rating tertinggi yang diraih Dunia Terbaik yaitu mencapai rating 7,5 dan audience share 31,1. Sinetron ini mengangkat cerita tentang para suami yang ditinggalkan istrinya untuk bekerja di luar negeri. Mereka harus mendidik anak dan mengurus urusan rumah tangga yang biasanya menjadi urusan para istri justru menjadi urusan suami. Sementara istrinya bekerja untuk menafkahi kebutuhan keluarga. Fenomena kodrat yang terbalik.
Mungkin alur cerita keseluruhannya berbeda dari judul, tapi judul yang diangkat seakan mengisyaratkan “dunia telah terbalik ?”. Terlepas alur ceritanya, tapi judul “dunia terbalik” mengajak akal melanglangbuana menafsirkan sejuta makna.
Meski sederhana, tapi itulah cermin besar. Sebab, hidup manusia bagai panggung sinetron. Sedangkan sinetron adalah gambaran kehidupan manusia pada masanya. Sungguh tak ada yang terjadi tanpa sebab. Atau Allah sedang menampilkan isi diri manusia yang sebenarnya melalui alur sinetron yang difikirkan dan dipentaskan. Sebab, tak ada peristiwa terjadi secara kebetulan, pasti ada maksud-Nya disebalik peristiwa yang terjadi. Apakah judul “Dunia Terbalik” dimaknai secara zahir atau makna majazi. Bila secara zahir, mungkin ada masanya manusia berjalan terbalik menggunakan tangan dan menunjuk arah dan memegang sesuatu dengan kakinya. Atau makna majazi, memang peradaban dunia sedang berjalan secara terbalik. Meski menyisakan tampilan lahiriah sebatas sinema yang hadir di TV, namun pasti terdapat ayat Allah yang menggerakkan seluruh komponen melahirkan sinetron mengisahkan “Dunia Terbalik” sebagai gerak watak asli dalam diri manusia saat ini. Sebab, tak ada peristiwa yang terjadi tanpa pesan Ilahi, namun tak semua manusia mampu menyadari dan menyelaminya atas apa yang terjadi.
Dalam hadis qudsi dikatakan bahwa dari Abu Hurairah RA, ia berkata bahwa Nabi SAW bersabda :
“Allah Ta’ala berfirman: Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku saat bersendirian, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada pada itu (kumpulan Malaikat)” (HR. Bukhari dan Muslim).
Demikian jelas hadis qudsi di atas. Bila manusia berprasangka positif, maka Allah akan memberi hal positif yang disangkakan manusia. Namun, bila manusia berprasangka negatif, maka Allah akan memberi pula sesuai yang disangkakan tesebut. Atau dalam kajian filosofis, apa yang disangkakan manusia sesungguhnya tampilan karakter dalam diri yang tak mampu lagi disembunyikan. Ia menyeruak keluar dalam berbagai bentuknya. Di antara bentuk tersebut bisa dalam wujud prilaku, ucapan, kebijakan, politik, sosial budaya, bahkan karya yang dihasilkan.
Ada beberapa bentuk “dunia terbalik” yang sedang terjadi dan menjadi tontonan keseharian tanpa aling-aling, namun eksistensinya bagai angin. Terasa dan terlihat, namun tak bisa ditangkap. Bentuk-bentuk yang dimaksud antara lain :
Pertama, Kejujuran dibenci, pengkhianat disenangi. Meski agama mengajarkan kejujuran dan melaknat para pengkhianat, namun dunia terbalik justeru membeci pemilik kejujuran dan senang pada mereka yang khianat dengan membangun istana baling-baling di atas bukit. Bila ada yang jujur akan dicurigai dan yang khianat dianggap hal lumrah sebagai bagian tuntutan zaman. Kecurigaan atas kebenaran sesungguhnya cermin penilai atas orang lain yang melihat semua prilaku dengan kaca prilaku dirinya. Anehnya, pemilik kejujuran sering dijadikan “kambing hitam” dan dikucilkan. Akibatnya, tampil dengan angkuh para pengkhianat mengatur peradaban.
Kedua, Kepintaran dan profesonalisme tak diperlukan, pandai “ambil muka” dan bersandiwara hal yang diutamakan. Akibatnya, urusan dilimpahkan pada yang bukan ahlinya dan dipercaya dengan jabatan yang tak mampu diemban. Padahal, Rasulullah pernah berpesan melalui sabdanya : “Jika suatu urusan diserahkan pada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya” (HR. Bukhari).
Meski hadis di atas banyak yang tau, namun sayang kebanyakan tak mau tau, apalagi melaksanakan pesan tersebut seakan-akan tak perlu tau. Akibatnya, subur sifat mencurigai pemilik ilmu dan mempercayai pemilik kelihaian “ambil muka” dan pandai bersandiwara. Kondisi ini bagai menanam pohon beracun dan pasti akan memetik buah kehancuran nan mematikan. Meski akibatnya secara nyata berulang-ulang terjadi, namun seakan telah tertutup pintu kebenaran dalam diri. Dominasi sandiwara dengan tumpukan penyilau mata, seakan menjadi kebiasaan yang disengaja dan tradisi menentukan peradaban panggung “dunia terbalik”.
Ketiga, Kebenaran menjadi barang rongsokan, kesalahan menjadi tontonan dan kewajaran, apatah lagi dengan tumpukan materi yang tak lagi mampu dilipat dan dihabiskan. Ketika kebenaran menjadi rongsokan, maka perlu dibuang dan dimusnahkan. Daya tarik “kesalahan” begitu mempesona seakan di akhirat surga dan neraka bisa dibeli untuk membayar semua kesalahan. Demikian keangkuhan manusia yang memutar kebenaran yang disenangi Allah dan Rasululla dengan sesuatu yang dibencinya. Sementara memutar kesalahan yang dibenci Allah dan Rasulullah dengan sesuatu yang disenanginya. Demikian hebatnya manusia memutar aturan Allah dengan aturan yang dibuat untuk memenuhi kepentingannya. Padahal, Allah tak pernah tidur untuk bisa diperdaya. Demikian keangkuhan peradaban era panggung “dunia terbalik”.
Keempat, Keadilan bagi yang empunya, tumpuan kesalahan bagi kaum nestapa. Di peradaban “dunia terbalik”, semua bisa diatur. Kesalahan bisa menjadi kebenaran dan kebenaran bisa dibuat menjadi kesalahan. Semua bisa “dikondisikan” sesuai kebutuhan. Meski para pemain “sinetron” tipe ini mengerti agama, mengerti hukum dan aturan, mengerti kaedah ilmu, mengerti baik dan buruk, mengerti perasaan, dan seluruh nilai lainnya. Namun semua sirna ketika muncul budaya “saling mengerti, saling memaklumi, dan saling membutuhkan”.
Kelima, Decak kagum ketika berkuasa meski tak bernilai apa-apa. Ketika kuasa hilang, kekaguman bertukar jadi cibiran seiring terbukanya aib diri dan hilangnya kepentingan. Tepukan gemuruh ketika kuasa bertukar ejekan yang menyakitkan. Aroma diri yang selama ini “dikerubuti” bak madu dikelilingi semut, berubah sepi bagai tubuh yang menjadi bangkai. Tak ada yang sudi mendekati, apatahlagi bersama. Ternyata, tepuk tangan yang diterima selama ini telah mematikan kesadaran diri. Acapkali manusia tak menyadari yang terjadi pada seekor nyamuk yang mati akibat tepuk tangan. Demikian ternyata yang terjadi pada manusia. Tepuk tangan gemuruh karena kuasa dan sejuta kepentingan telah mematikan sisi kemanusiaan dan kesadaran diri.
Meski masih tersisa mereka yang tetap semerbak mewangi bak bunga ros. Ketika bunga dilindungi duri, keindahan dan harumnya tetap bisa dinikmati. Meski duri telah tiada, namun justeru semakin dicium wanginya. Demikian pula bunga melati. Ketika masih ditangkai bahkan setelah lepas dari tangkainya, harum semerbak tak pernah berubah.
Keenam, Kesalahan, kegagalan, atau kegaduhan yang berulang kali terjadi dianggap hal lumrah dan wajar. Lumrah karena dilindungi “rahwana” bermasker manusia suci bak tanpa dosa. Semua bagai sinetron. Tergantung keinginan skenario sutradara dan tingginya peminat (rating) yang “menikmati dan terhibur” oleh sandiwara yang dipentaskan.
Ketujuh, kebenaran dan prestasi dipandang sebelah mata, tapi fitnah dan hoax lebih dipercaya dan utama. Prestasi dianggap biasa, tapi fitnah yang sukses justru merupakan prestasi. Bahkan, fitnah dan hoax menjadi “lapangan kerja” menjanjikan dengan pundi-pundi, sesuai pesanan. Pesan ketika Rasulullah isra’ mi’raj nyatalah sudah. Pemandangan penghuni neraka yang di kanan terhidang daging segar tidak tersentuh. Tapi, daging bangkai yang busuk di kiri justeru menjadi rebutan untuk disantap dengan lahapnya. Sungguh tak bisa diterima akal sehat, tapi demikian halnya di “dunia terbalik” semua pemandangan terjadi oleh akal yang sakit.
Kedelapan, “posisi” pentas peradaban sekitar tali pinggang. Bila di luar tali pinggang, dipenuhi janji dan pundi. Semua jadi syarat untuk membayar investasi. Adapun dedikasi dan kualifikasi diri seakan dikebiri. Semua disebabkan kerusakan di hulu sampai ke hilir. Acapkali “posisi” berputar-putar bagai jaringan yang sedang loading yang tak dapat signal.
Kesembilan, Pisau aturan dan standard kebenaran bermata tunggal nan tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Dalam eskatologi Islam, tampil sosok “bermata tunggal” yang akan muncul menjelang kiamat. Sosok makhluk dimaksud adalah Dajal. Sosoknya dilambangkan dengan sifat kekafiran, jahat, penipu, menyesatkan, dan pembawa fitnah yang disebarkan agar muncul permusuhan pada sesama. Tampilannya bagai pemilik tunggal kebaikan hanya dijadikan untuk mengelabui yang melihat. Jadi, sesuatu yang “bermata tunggal” membawa misi Dajal untuk menghancurkan tatanan peradaban dan kebenaran. Namun, dalam Islam, Dajal (sebenarnya) tak akan muncul selama masih ada umat Rasulullah yang senantiasa menghadirkan Allah dalam setiap gerak dirinya. Tapi, anasir-anasirnya tetap muncul dalam bentuk sebaran sifat-sifatnya sebelum wujud Dajal muncul diakhir zaman.
Panggung dunia terbalik bukan sebatas judul sinetron, namun terlihat jelas wujudnya dalam panggung kehidupan nyata peradaban manusia. Namun meski nyata, tapi sulit untuk dinyatakan, apalagi disentuh dan dimusnahkan. Hanya tatkala masih ada kaum yang tafaqquh fi diinul Islam, kuasa Dajal tak akan mampu bertahan lama. Namun ketika kaum tafaqquh fi diinul Islam lemah dan ikut rayuan prilaku Dajal, maka kuasa Dajal akan bertambah kuat untuk menyesatkan kebenaran di muka bumi. Untuk itu, perlu upaya memperkuat barisan agar umat tetap tafaqquh fi diinul Islam. Bukan sebatas ahli agama, tapi pengamal ajaran agama.
Demikian jelas persoalan panggung “dunia terbalik” dan obat mujarab yang ditawarkan oleh Allah dan Rasulullah. Hanya saja, pilihan tentu kembali pada setiap manusia. Apakah pilihan melanjutkan pesan Allah dan Rasulullah sebagai misi penghambaan dan Khalifah Rahmatan lil ‘Aalamiin, atau mempercepat terealisasinya misi Dajal dengan membuat peradaban “dunia terbalik” semakin parah. Tentu semua pilihan memiliki dimensi pertanggungjawaban dihadapan Allah, Zat Yang Maha Adil dan tak pernah ingkar janji.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit diharian Riau Pos Online tgl. 23 Mei 2022