Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Misteri baitullah akan terasa semakin kuat ketika dhuyuf ar-rahman mampu melasanakan rangkaian aktivitas secara ikhlas dan sempurna selama menjadi tamu Allah. Misteri yang mengandung sejuta makna bagi hamba-Nya yang “benar-benar” diundang menikmati “hidangan cinta-Nya” untuk memperoleh derajat kemuliaan. Adapun beberapa misteri aktivitas lainnya adalah :
Pertama, Miqat, pakaian ihram, dan talbiyah. Secara bahasa, miqat berarti “tempat yang sudah ditetapkan”, yaitu batas waktu dan tempat memulai memakai ihram dan berniat untuk melakukan haji atau umrah. Miqat merupakan tempat mengawali memakai pakaian ihram dan senantiasa menjaga kesuciannya. Sedangkan secara filosofis memberi makna garis start “kematian hamba” untuk mempertanggungjawab-kan semua perbuatannya selama ini.
Pakaian ihram merupakan lambang pakaian manusia kelak ketika ajal menjemput. Hilang kuasa, sirna derajat, tak ada kemegahan dibawa, kelu lidah tak mampu “menari”, pengikut setia tak lagi bersama, dan “para pembela” tak lagi sudi menemani. Tak ada yang dibawa kecuali amaliah semata. Seyogyanya, ketika pakaian ihram sudah dipakai, tak ada ingatan selain pada-Nya, tak ada ucapan selain mengagung-kan-Nya, tak ada perbuatan selain beribadah dan berbuat amal. Namun, acapkali makna ini tak mampu dipahami secara baik. Tatkala memakai ihram masih tegak kokoh kesombongan, masih abadi egoisme diri, masih dominan sisi keduniaan, masih benderang kezaliman, seiring semakin rendahnya kebajikan (kebaikan). Bila ketika sedang memakai ihram dan di haramain saja tak mampu “menundukkan diri” pada Allah, apatahlagi ketika sedang memakai “kebesaran pakaian dunia” dan jauh dari haramain, maka dapat dibayang-kan mafsadah yang akan disebarkan dan ditimbulkannya.
Sementara untaian ucapan talbiah merupakan kalimat suci dan khusus bagi mereka yang sedang memakai ihram. Ungkapan kesadaran hamba atas posisinya sebagai tamu dan mensyukuri atas undangan-Nya tersebut. Hal ini terlihat dari makna ungkapan talbiah, yaitu : “Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu ya Allah dan tiada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat, serta kekuasaaan hanya bagi-Mu tanpa sekutu apa pun bagi-Mu.”
Demikian sakral dan dalam makna talbiah bagi hamba yang mengerti. Namun sebagian hanya sebatas ungkapan, bahkan terkesan “senandung” yang dipersendaguraukan.
Kedua, Wukuf di Padang ‘Arafah merupakan inti ibadah haji. Hal ini merujuk sabda Rasulullah SAW : “Haji itu adalah (wukuf) di Arafah, maka barang siapa yang telah melaku-kan wukuf di Arafah sebelum terbit fajar, maka ia sungguh telah melaksanakan haji” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah).
Merujuk hadis di atas, maka wukuf di Padang ‘Arafah (9 zulhijah) pada hakekatnya merupakan aktivitas jasmani dengan berhenti di Padang ‘Arafah untuk melakukan rangkaian ibadah syariat sembari dimensi spiritualnya bermuhasabah untuk “naik menemui Allah SWT”. Waktunya sejak tergelincir matahari (zuhur) sampai menjelang terbenam matahari (maghrib). Bagi hamba yang memahami, wukuf di Padang ‘Arafah memberikan rasa keharuan dan menyadarkan mereka akan yaumil mahsyar. Ketika itu, manusia akan mempertanggungjawabkan atas semua yang dikerjakannya selama di dunia. Untuk itu, wukuf di Padang ‘Arafah menyentakkan sisi keinsafan hamba. Betapa kecilnya diri dan betapa besar keagungan-Nya. Bersamaan hadir rasa bahwa semua manusia sama dan sederajat di sisi Allah, sama-sama berpakaian putih-putih, memuji, berdoa, sambil mendekatkan diri kepada Allah SWT. Namun aneh dimensi ini acapkali tak mampu dirasakan oleh jamaah yang hadir. Dimensi ini terkadang dikalahkan oleh dorongan era digital. Sebagian justeru sibuk sebatas berfoto ria dan mempublikasikannya di media sosial. Akibatnya, makna wukuf di Padang Arafah sebatas hadir secara jasmani, namun kehadiran manusia tanpa ruh.
Ketiga, Mabit di Musdalifah. Secara sederhana, mabit berarti “bermalam atau beristirahat”. Makna mabit mengacu pada berhenti sejenak di waktu malam hari untuk mempersiapkan segala sesuatu dalam pelaksanaan melontar jumrah. Aktivitas ini memberi makna agar manusia memiliki kekuatan jasmani, persiapan “senjata” (batu) dan perbekalan, mengatur strategi, serta memperbanyak munajat pada-Nya sebelum melakukan perjuangan (di jalan Allah).
Keempat, Melontar jamarat, tahallul awwal, dan qurban. Melontar jamarat pada tanggal 10 zulhijah dan selama hari tasyri’ secara historis mengingatkan peristiwa nabi Ibrahim melampar iblis yang menggodanya dengan batu. Sementara secara hakikat, melontar jamarat merupakan aktivitas hamba melempar dan menghancurkan “iblis-iblis” dalam dirinya.
Iblis yang berwujud pada karakter dan perilaku diri, baik pada dimensi yang terlihat atau tersembunyi. Lemparan batu dengan penuh kebencian yang diiringi untaian kalam Allah atas “iblis-iblis” yang selama ini menguasai setiap diri. Ketika hamba mampu mengusir iblis dari dirinya, maka ia layak untuk tahallul (tahallul awwal menggunting minimal 3 helai rambut), yaitu “melepaskan atau membebaskan diri” dari sifat-sifat iblis pada setiap diri. Beruntung hamba yang mampu melontar jamarat dan mentahallulkan dirinya dari karakter iblis yang membelenggu. Sebaliknya, merugi hamba yang hanya melontar jamarat dan tahallul sebatas syariat. Sebab, ia tak mampu mengusir iblis dari dirinya, bahkan dikhawatir-kan justeru menggembala gerombolan iblis dalam diri dan mendorong hawa nafsu meraih apa yang diinginkannya.
Aktivitas melontar jamarat dan tahallul seirama dengan ibadah kurban. Secara syari’at disimbolkan melalui penyembelihan hewan qurban, namun secara hakikat menyembelih sifat-sifat hewani yang ada dalam diri yang menjatuhkan manusia pada kehinaan. Menyembelih hewan qurban merupakan wujud kesyukuran pada Allah atas rezeki yang diperoleh dan wujud keshalehan sosial saling berbagi (daging kurban) tanpa memandang strata sosial dan agama. Demikian indah ajaran Islam menuntun umatnya meraih keselamatan vertikal dan horizontal secara beradab.
Kelima, Tawaf ifadhah, Sa’i, dan tahallul tsani. Setelah berhasil mengusir iblis dalam diri, selanjutnya hamba diingatkan untuk meningkatkan kesadaran untuk mengikuti aturan Allah. Aktivitas rukun haji selanjutnya melakukan tawaf ifadhah (arah melawan jarum jam). Aktivitas ini
merupakan simbol ketundukan untuk “menaikkan diri” sebagai hamba menuju Sang Khaliq. Namun, Allah mengingatkan agar manusia ingat atas tugas dan fungsinya sebagai orang tua terhadap anak-anaknya dan sebagai anak terhadap kedua orang tuanya. Aktivitas ini tersimpul pada aktivitas sa’i yang melintasi bukit shafa dan marwah. Aktivitas sa’i merupakan simbol perjalanan dan perjuangan Siti Hajar dan nabi Ismail AS. Simbol untuk dijadikan cermin memposisikan diri sebagai orang tua atas perhatian dan kasih sayangnya terhadap anak-anaknya. Siti Hajar sebagai simbol orang tua yang tak kenal lelah berusaha mencari air untuk anaknya dengan jalan yang halal. Kelelahan tak dihiraukan untuk berikhtiar mencari rezeki yang halal. Demikian pula sebagai cermin seorang anak (nabi Ismail AS) yang mampu menghadirkan sosok anak yang shaleh. Hal ini merupakan wujud ikhtiar atas asupan rezeki yang halal. Sebab, rezeki yang halal menjadi nutrisi untuk menghadirkan sosok anak yang shaleh. Sebaliknya, bila ikhtiar dengan cara yang zalim akan menghasilkan rezeki yang haram, maka ia akan menjadi “butiran api neraka” yang akan dimakan dan menumbuhkan keturunan yang terbiasa pada kezaliman pula. Bahkan, nutrisi yang haram akan mengotori diri dan menjadi hijab untuk “bertemu” dengan Yang Maha Suci.
Ketika makna tawaf ifadhah dan sa’i mampu diraih, maka kembali manusia melakukan tahallul tsani guna memproklamirkan diri yang telah mampu melepaskan diri dari belenggu rayuan iblis dan nafsu kesesatan. Tahallul tsani bukan sebatas syariat dengan menggunting minimal 3 helai rambut, tapi bersamaan raihan makna hakikat kemenangan iman atas bujukan iblis, bagai kemenangan nabi Ibrahim dan nabi Ismail atas bujukan Iblis.
Keenam, Tawaf Wada’, yaitu tawaf perpisahan mengelilingi ka’bah menjelang kembali ke tanah air. Setelah melakukan tawaf, dhuyuf ar-rahman tidak lagi hadir di baitullah sampai kembali ke tanah air. Aktivitasnya tanpa memakai ihram, melakukan sa’i dan tahallul.
Sungguh, setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Tawaf wada’ merupakan tawaf perpisahan yang dilakukan dhuyuf ar-rahman sebelum kembali ke tanah air. Bagai pepatah mengatakan “datang nampak muka, pulang nampak punggung”. Eksistensi tawaf wada’ wujud adab terhadap baitullah. Adab sebelum meninggalkan baitullah yang telah memberikan sejuta pelajaran penghambaan diri untuk lebih mengenal Sang Khaliq.
Jadikan tawaf wada’ sebagai tawaf terakhir baginya. Tawaf perpisahan dengan sejuta kenikmatan selama menjadi tamu-Nya. Tak terasa, air mata bercucuran tiada henti. Serasa berat meninggalkan baitullah. Entah kunjungan ini merupa-kan kunjungan terakhir menjelang dipanggil kembali oleh Allah. Demikian banyak ketidaksempurnaan dilakukan, namun hanya munajat pada Allah atas keterbatasan diri.
Sungguh, semua aktivitas selama menjadi tamu Allah, seyogyanya semakin memperkuat iman atas bukti fisik kebenaran ayat-ayat-Nya melalui serangkaian napak tilas selama di haramain. Kesemua dirasakan nikmat dan meneguhkan keyakinan atas kebenaran ajaran Islam.
Kualitas bekas sebagai tamu Allah akan terlihat pasca kembali ke tanah air. Bagai bekas hamba yang shalat terlihat pada aktivitasnya setelah shalat. Bila mampu menikmati “jamuan Allah” selama menjadi tamu-Nya, maka karakter rohani akan sehat oleh nutrisi Ilahiah. Allah hidangkan vitamin dan nutrisi untuk mengembalikan rohani menemu-kan “Nur Allah dan Nur Muhammad” yang membuat roh bahagia. Sungguh bahagia dan beruntung hamba yang menemukan dan menikmati “nutrisi Ilahiah” ketika menjadi tamu-Nya bagi menyehatkan rohaninya. Namun, bila selama menjadi tamu-Nya sebatas hadir, sebatas meraih prestise, sebatas “make up” untuk menutupi kesalahan, maka rohani-nya akan tetap “sakit dan membusuk” meski setelah menjadi tamu Allah. Sebab, ia tak menemukan nutrisi dan vitamin sebenar-benarnya yang disuguhkan Allah bagi hamba yang menjadi tamu-Nya. Sungguh nestapa hamba yang tak mampu menemukan dan menikmati hidangan vitamin dan nutrisi yang disuguhkan Allah selama menjadi tamu-Nya. Bila hal ini yang menimpa, maka perbanyak muhasabah atas penyebab gersangnya rohani yang tak mampu “dibasahi” sejuknya air zam-zam, tumpulnya akal yang tak mampu menangkap “ayat-ayat-Nya”, kronis dan kotornya hati yang tak mampu diobati “kalam Allah” dan tak pula mampu tersentuh sucinya haramain, begitu kering air mata untuk tumpah melihat keagungan Allah dan hinanya diri, dan beratnya jasmani untuk tunduk pada perintah-Nya. Bila hal ini yang terjadi, pertanda kedudukan sebagai dhuyuf ar-rahman hanya sebatas “dagelan” untuk dipermainkan. Masihkah pantas mengaku hamba Allah dan umat Rasulullah tatkala ayat-Nya didustakan dan kecintaan Rasulullah tak pernah disambut ?.
Manfaatkan kesempatan untuk membersihkan dan memper-baiki diri selama di haramain. Perbaiki kualitas niat dan amal, bukan hanya sebatas memperbanyak (kuantitas) niat dan amal. Jangan sampai kesempatan berlalu tanpa bekas. Sebab, semuanya merupakan bentuk kesempatan yang diberikan Allah sebelum kembali pada janji-Nya (kematian). Padahal, Allah telah berulang kali (31 kali) mengingatkannya melalui firman-Nya pada QS. ar-Rahman “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan ?”. Ayat yang diulang-ulang oleh Allah karena sifat kejahilan manusia yang acapkali mendustakan kebenaran ayat-ayat-Nya.
Semoga kita semua mampu menghadirkan diri sebagai dhuyuf ar-rahman dan hamba-Nya yang berkarakter ihsan. Karakter yang tersembunyi dalam adab keikhlasan dan menyuburkan pohon tawadhu’ secara totalitas (kafah).
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 19 Juni 2023