Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Di akhir tahun 2024 ini, tercatat berbagai musibah alam telah dan terus terjadi. Di antaranya musibah akibat abrasi. Manusia sangat peduli bila membicarakan persoalan abrasi pantai wilayah pesisir, banjir, longsor, atau banjir bandang. Berbagai upaya dilakukan dan sejumlah anggaran disiapkan agar daratan terselamatkan. Di antara upaya yang dilakukan melalui tanaman mangrove (bakau), membangun pemecah gelombang, pelestarian terumbu karang, pelarangan eksploitasi pasir, reboisasi, pembersihan sungai, dan lainnya.
Sementara, ketika upaya penangan dilakukan, bersamaan terjadi secara kontinue eksploi-tasi hutan dan sumber daya alam secara serakah. Seakan manusia sedang main “petak umpet” antara kata dan fenomena (realita). Akibat abrasi karakter, manusia harus membayar mahal. Tak sedikit korban harta benda dan nyawa sebagai taruhannya. Semua disebabkan keserakahan dan kezalim-an manusia yang tak terbendung. Padahal, Allah telah mengingatkan melalui firman-Nya : “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. ar-Rum : 41).
Menurut Ibnu Katsir, kerusakan semesta (darat dan laut) sebagaimana maksud ayat di atas disebabkan banyaknya manusia yang melakukan kemaksiatan dan kebiadaban di muka bumi. Kezaliman yang didorong hawa nafsu keserakahan untuk mengeksploitasi alam tanpa aturan. Meski ayat begitu jelas dan pasti, namun manusia justeru semakin zalim dan serakah merusak tatanan alam semesta. Sungguh, prilaku manusia acapkali melampaui batas. Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “Janganlah kamu mengharamkan apa yang baik yang telah dihalalkan Allah kepadamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (QS. al-Maidah : 87).
Secara istilah, melampaui batas (berlebihan) dimaknai sebagai tindakan yang dilakukan seseorang di luar kewajaran ataupun kepatut-an. Prilaku salah seakan menjadi kebiasaan untuk memuaskan kesenangan diri (kolega) secara berlebihan.
Sungguh, prilaku manusia melampaui batas kewajaran atau kepatutan akal sehat. Sebab, kesalahan dan kemunafikan seakan menjadi kebiasaan. Tradisi “Barbar” ditampilkan, tapi acapkali “dilindungi” dan dianggap wajar. Akibatnya, “ketika kesalahan dianggap biasa, dibiarkan, dan terus berulang, maka berbagai kejahatan akan menjadi kebiasaan”.
Persoalan pantai dan daerah yang rawan ter-jadi abrasi menjadi perhatian serius banyak kalangan. Kucuran dana dipersiapkan, aturan disusun, dan tindakan nyata dilakukan. Tapi, banyak persoalan abrasi yang vital lainnya acapkali diterlantarkan dan kurang menjadi perhatian yang serius. Di antara abrasi yang memerlukan perhatian serius adalah abrasi karakter dan prilaku manusia. Abrasi jenis ini begitu masif terjadi. Namun, eksistensinya kurang mendapat perhatian layaknya abrasi alam. Adapun abrasi karakter manusia (non alam) tersebut antara lain :
Pertama, Abrasi iman dan harga diri. Tarkala memperoleh suatu jabatan, terlihat rangkaian sumpah jabatan dilakukan. Sumpah menurut agama dan agama yang diyakini. Sumpah yang disaksikan (horizontal) dan dipersaksi-kan (vertikal). Pada tataran ideal, sumpah yang diucapkan secara sadar merupakan benteng keteguhan keimanan agar terhindar prilaku melanggar hukum dan agama. Ketika sumpah dijalankan, pertanda kokoh sandaran iman dimiliki. Tapi, tatkala sumpah sebatas administrasi, maka prilaku berbuat terbalik atas apa yang telah diikrarkan. Untuk itu, Allah telah memgingatkan manusia atas sumpah yang diucapkan. Hal ini merujuk pada firman-Nya : “Sesungguhnya orang-orang yang menukarkan janji (nya dengan) Allâh dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka tidak mendapat kebahagiaan (pahala) di akhirat, dan Allâh tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari berhenti dan tidak (pula) akan menyucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih” (QS. Ali Imran : 77).
Ketika bentuk “permainan sumpah” di atas terjadi, maka janji (sumpah) yang diucapkan telah mengalami abrasi keimanan yang asasi. Akibatnya, ketika Allah dan Rasul-Nya secara sadar dikhianati, apatahlagi manusia dan alam semesta. Bahkan, agar hasrat yang diinginkan tercapai, ia rela menjual harga diri agar apa yang diinginkan dapat diraih. Bila harga diri telah terjual, apalagi isi alam semesta akan ikut tergadaikan. Bahkan, ketika posisi diperoleh, keyakinan diacak dengan dalih toleransi agama. Kesemua terjadi akibat abrasi iman dan harga diri. Meski upaya menutupi selalu dilakukan, tapi alam akan membuka dan memperlihatkan.
Kedua, Abrasi etika dan moral. Abrasi pada aspek ini bersifat psikis (kerusakan hati) dan masif. Ia berpotensi menimpa pada personal dan komunitas. Seakan upaya pendidikan dan adat tak lagi berpengaruh. Aturan begitu “elastis” (lentur) dan agama tak lagi jadi pedoman. Akibatnya, upaya menanamkan moralitas mengalami kegagalan. Padahal, pembeda kualitas manusia ada pada akhlaknya. Hal ini merujuk pada sabda Rasulullah SAW : “Sesungguhnya seorang Mukmin dengan akhlaknya yang baik, akan mencapai derajat orang yang shaum (puasa) di siang hari dan shalat di tengah malam” (HR. Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan al-Hakim).
Namun, tatkala akhlak tak lagi dimiliki, maka nilai kemanusiaan akan sirna. Abrasi etika dan moral (akhlak) bisa menimpa pada semua manusia, tanpa kenal strata dan status sosial. Bila abrasi ini menerpa masyarakat awam, mungkin alasan ketidaktauan atau ketidakfahaman. Dampak-nya terbatas pada ruang atau komunitas tertentu. Tapi bila menimpa dan dilakukan komunitas “berstatus”, maka sulit dicari alasannya kecuali akibat keingkaran dan “kejahilan” semata. Bahkan, dampaknya bersifat masif dan sulit dilakukan perbaikan. Starata sosial ini memiliki sejuta dalih dan lepas aturan. Jasad berbingkai anggun bak beradab, tapi ruh berisi kebiadaban. Sebab, hati dan akalnya telah ikut mengalami abrasi seiring etika dan moralnya yang tak tersisa.
Ketiga, Abrasi peradaban (pendidikan, politik, agama, budaya, hukum, dan varian lainnya). Dampak abrasi iman, etika, dan moral berakibat abrasi pada ruang yang lebih luas. Peradaban tak lagi terbangun secara cerdas dan menekankan adab. Seyogyanya, manusia berperadaban tinggi mengolah akal, bukan sebatas memanfaatkan alam. Hal ini bisa dilihat perbandingan peradaban antara negara maju dengan negara “belajar maju”. Di era modern, di negara maju hadir sosok manusia hebat dan kaya (konglomerat). Mereka memperoleh kesuksesan materi bersumber dari olah kecerdasannya. Adalah Bill Gates, Elon Musk, Jeff Bezos, Lary Ellison, Mark Zuckerberg, dan lainnya. Mereka mengembangkan bisnis berangkat dari kualitas intelektual. Berbeda dengan negara “belajar maju”, membangun dinasti dan memiliki kekayaan melalui cara “membabat dan merambah” kekayaan alam. Cara ini hanya dilakukan oleh bangsa Barbar. Mereka menjadi “terdepan” tanpa ilmu dan adab, tapi hanya mengedepankan nafsu (serakah) telah mengeksploitasi kekayaan alam yang ada.
Bagaikan letusan gunung merapi yang memicu hadirnya letusan gunung merapi lain dan gempa bumi, maka abrasi iman, etika, dan peradaban di atas ikut memicu abrasi aspek politik yang kalanya culas dan curang (politik belah bambu). Hukum “multi tafsir” yang bak “mata pisau bermata tunggal, tajam ke bawah tumpul ke atas” atau “membuka ruang berbagai pesanan”. Pendidikan yang hanya mengejar status (gelar dan selembar ijazah) tanpa peduli bagaimana cara memper-olehnya. Bahkan, deretan gelar bak kereta api sebagai tautan untuk bisa “ngaku-ngaku” pintar tanpa perlu “ngilmu”. Sebab, kualitas ilmu tak lagi perlu. Sebav, status keilmuan hanya perlu “selembar kertas” yang ditopang retorika palsu agar terlihat seakan bermutu.
Abrasi keilmuan dan peradaban akan roboh bila bangunan profesional telah diruntuhkan oleh gerakan “pengkhianatan keilmuan”. Tak ada lagi rasa malu atas ilmu. Tak tersisa adab (etika) sebagai pakaian diri. Hanya hadir kebanggaan atas prestise gelar tanpa prestasi keilmuan. Kondisi ini menjadi bom waktu runtuhnya kualitas generasi masa depan. Ketika hal ini terus tergerus, maka bangunan moral dan masa depan bangsa di negeri ini akan menjadi taruhannya.
Bila semua abrasi alam begitu diperhatikan dengan biaya tinggi untuk dipulihkan, namun abrasi “karakter manusia” dalam membangun dan mengisi peradaban terkesan hanya sebatas retorika tanpa tindakan nyata dan terukur. Padahal, abrasi alam sifatnya evolusi dan menyangkut wilayah terbatas. Sedang-kan abrasi karakter manusia bersifat revolusi, masif, dan berdampak luas, bahkan bisa merusak moralitas antar generasi.
Semua fenomena abrasi peradaban (semesta) terlihat jelas. Padahal, firman Allah dan sabda Rasulullah telah mengingatkan. Bahkan, alam telah berulang menyampaikan pesan-Nya melalui berbagai musibah. Berbagai aib yang selama ini terselubung secara kasuistik terbuka lebar dan ditampil-kan oleh Allah melalui alam. Namun, manusia acapkali “membutakan” diri atas abrasi moral yang terjadi. Akibatnya, kebenaran menjadi aneh dan kesalahan dinilai wajar, kejahatan dianggap kebaikan dan kebajikan dinilai kejahatan, mempermainkan hukum menjadi kebiasaan dan menegakkan hukum perlu “dibinasakan”, serta kezaliman dibiarkan dan keadilan dinistakan. Semua abrasi moral ini acapkali menjadi trend yang seakan-akan “dibenarkan dan ditradisikan” lintas generasi.
Sungguh, semua abrasi peradaban (semesta) berpunca pada abrasi karakter moral yang menimpa manusia. Layaknya sebatang pohon, eksistensi manusia bagai-kan akar. Ketika akar telah “busuk dan mati”, tak lagi tersisa harapan pohon tegak berdiri, apatahlagi mampu berbuah dan bermanfaat. Hanya menunggu busuk, mati, dan tumbang.
Meski secara teori potensi dampak abrasi pada manusia begitu jelas dan nyata, tapi kurang dijadikan acuan perbaikan. Bahkan, kebijakan acapkali sebatas uji coba pada setiap episode dan berubah nama pada episode selanjutnya. Anehnya, bagai sebuah pementasan sandiwara. Sosok produser, sutradara, aktor, dan penulis “cerita” akan lepas tangan bila ceritanya meninggalkan derita pilu penonton.
Meski fenomena abrasi peradaban begitu akut, tapi semua alpa dari upaya perbaikan. Bahkan, sinkretisasi agama jadi kebiasaan. Akibatnya, virus abrasi iman dan motal manusia terus menggerus peradaban. Padahal, semesta dan peradaban sangat tergantung pada kualitas moral manusia yang mengisi setiap episode pementasan. Semoga abrasi moral peradaban (semesta) senantiasa menjadi perhatian bersama. Dengan kepedulian ini, bangunan peradaban yang diisi manusia beradab akan terwujud.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 23 Desember 2024