Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Pada masa dinasti Saljuk, hidup seorang sufi dan filosuf satirikal yang bernama Nasiruddin Mahmud al-Hoyi atau lebih dikenal dengan nama Nasrudin Hoja. Sebagian sumber mengatakan bahwa ia lahir Khortu (Anatolia Tengah) pada awal abad ke-13 M dan wafat diusia 80 tahun (sekitar 1284 atau 1285 M). Makamnya berada di Aksehir (Konya) Turki. Semasa muda, ia pernah belajar pada guru-guru terkemuka seperti Fachrudin ar-Razi, Sayyid Mahmud Hairani, dan Sayyid Haji Ibrahim. Dengan keluasan ilmunya, wajar bila ia dipanggil mullah (gelar keulamaan).
Ketenaran kisah sufistik-filosofis Nasruddin bukan karena sosoknya yang aneh, tapi atas wataknya yang optimistik, bijak, dan cerdas. Kisah yang ditampilkan mengandung pesan moral dan muhasabah bagi pembaca lintas generasi. Di antara kisah yang tampil bahwa “pada suatu hari, ada pesta yang diseleng-garakan oleh khalifah di istana. Banyak para pembesar diundang, tak terkecuali Nasrudin Hoja sang filosuf. Tak seperti para undangan lain yang memakai pakaian mewah, tapi ia justeru hadir mengenakan pakaian compang-camping dan lusuh (dekil). Akibatnya, ketika ia masuk ke ruang istana, tak ada seorang pun yang menyambut dan menyapanya. Ia hanya duduk di kursi yang tersedia. Pelayan penyaji makanan tidak mengenali dan tak melayani sebagaimana mestinya. Pelayan hanya sinis memperhatikan pakaiannya yang compang-camping dan tidak ada yang me-nawarkan makanan dan minuman padanya.
Melihat kehadirannya tak dihargai, Nasruddin Hoja segera pulang ke rumah dan mengena-kan pakaian yang paling mewah miliknya. Setelah mengenakan pakaian tersebut, ia kembali lagi ke acara pesta istana. Setelah mengenakan pakaian yang serba mewah, ia disambut dengan ramah, dimulia-kan, dan duduk di kursi terdepan. Para pelayan begitu kagum dengan pakaian yang dikenakannya seraya menghidangkan berbagai jenis makanan, minuman, dan mem-perlakukannya seperti seorang bangsawan.
Setelah pelayan selesai meletakkan hidangan didepannya, Nasrudin pun mengambil segenggam makanan dan segelas minuman. Lalu, ia masukan makanan dan minuman tersebut ke dalam saku pakaiannya. Melihat kelakuan aneh tersebut, seorang tamu bertanya, “apa yang kamu lakukan ?”. Dengan tenang, ia menjawab : “Oh.. aku hanya memberi makan dan minum untuk pakaian-ku. Sebab, para pelayan istana memberiku hidangan karena melihat pakaian yang ku pakai, bukan untuk diriku. Aku hanya memberi hak atas semua hidangan ini untuk pakaian yang ku pakai”, jawab Nasruddin. Mendengar jawaban ini, sebagian besar undangan tertawa atas kebodohan Nasrudin Hoja. Hanya segelintir yang diam-diam menganguk faham atas jawaban yang diberikannya dan menyadari atas kekeliruan selama ini.
Sungguh, prilaku Nasrudin Hoja merupakan kritik sosial atas karakter manusia pada kehidupan nyata (sepanjang masa). Meski terlihat lucu dan sederhana, tapi apa yang dilakukannya mengandung pelajaran yang berarti. Pelajaran pada penilaian manusia atas standard status lahiriyah yang mempengaruhi sikap pada sesama. Adapun pelajaran yang bisa diambil antara lain :
Pertama, Meski Nasrudin Hoja dikenal oleh khalifah, tapi tak semua masyarakat dan undangan mengenalnya. Untuk itu wajar bila ia mendapat undangan ke istana. Tapi, pakaian yang dikenakan membuatnya tak dikenal dan tak dihargai oleh pelayan dan undangan di pesta tersebut.
Ternyata, manusia lebih dominan menghargai pada asesories diri, bukan pada kualitas diri. Semakin asesories yang lebih ditonjolkan, menunjukan semakin rendah kualitas dimiliki yang coba ditutupi. Sungguh, penilaian diri hanya dihargai oleh pemilik kualitas diri, tapi penilaian tampilan (pakaian) hanya dihargai oleh manusia asesories.
Dalam konteks Islam, ada 4 (empat) golong-an popularitas manusia, yaitu : (1) terkenal di bumi dan terkenal di langit. (2) tak dikenal di bumi, tapi terkenal di langit. (3) terkenal di bumi, tapi tak dikenal di langit. (4) tak dikenal di bumi dan tak dikenal di langit.
Manusia pada golongan 1 dan 2 akan mem-peroleh kemuliaan di sisi Allah dan Rasul-Nya. Golongan ini merupakan manusia beruntung. Sedangkan golongan 3 dan 4 tak pernah mendapat kemuliaan di sisi-Nya. Golongan ini merupakan manusia celaka dan sangat merugi.
Kedua, Sungguh, karakter manusia hanya mampu mengenal sesama dalam ruang terbatas. Ia merasa terkenal, tapi pada ruang terbatas. Apatahlagi bila kehadirannya tak pernah meninggalkan kebaikan peradaban. Pada lintas generasi, ia tak pernah dianggap ada. Manusia tipikal ini acapkali tak kenal pada diri dan Rabb-nya. Ia hanya mengenal sebatas tampilan syariat, tapi tak mampu mengenal pada ruh hakikat. Padahal, kaum sufi pernah berpesan, “barang siapa yang mengenal dirinya, maka sungguh ia telah mengenal Rabb-nya”.
Bila logika ini digunakan, maka tatkala diri memahami dan menghargai sesama, pertanda ia memahami dan mengenal diri-nya. Bila ia mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Rabb-nya. Demikian pula makna sebaliknya. Tak sedikit yang tak mengenal dirinya. Akibatnya, ia tak mampu menghargai sesamanya dan melupakan Rabb-nya. Sayangnya, fenomena pada makna sebalik-nya ini lebih dominan terjadi ketimbang makna pertama yang seharusnya dimiliki.
Kadangkala, manusia hanya mengedepankan kehebatan dirinya, tanpa mau mengakui kelebihan orang lain. Ia hanya mau katanya didengar, tanpa mau mendengar kata orang lain. Andai ia mau mendengar, hanya terhadap siapa yang berbicara, bukan melihat kualitas yang dibicarakan dan dilakukan. Padahal, Sayidina Ali bin Abi Thalib pernah berpesan : “Jangan melihat siapa yang ber-bicara, tapi lihatlah apa yang dibicarakan”. Boleh jadi dari lisan dan karya manusia biasa, ternyata ia berupa butiran mutiara hikmah atau kebaikan yang menggetarkan pintu langit. Sementara manusia jahil justeru melaksana-kan makna sebaliknya “jangan melihat apa yang dibicarakan, tapi lihatlah siapa yang berbicara”. Akibatnya, pengharga-an hadir atas status yang berbicara, bukan atas kualitas apa yang dibicarakan. Boleh jadi dari untaian lisan atau karya manusia yang konon pemilik status mulia, ternyata hanya berupa onggokan sampah yang mengotori dan merusak peradaban semata.
Ketiga, Bagi pemilik mata batin yang jernih, kemuliaan hadir pada kualitas takwa dan keindahan adabnya. Demikian tuntunan Allah dan Rasul-Nya bagi hamba pemilik kebijakan. Sementara, bagi pemilik mata lahiriyah yang berselimut nafsu duniawi, penilaian hadir pada kualitas pakaian (jabatan, kekayaan, kuasa) yang serba mahal. Akibatnya, tatkala atribut pakaian tak ada lagi, semua peng-hargaan hilang sirna tak tersisa. Ternyata, manusia mulia dan terhormat hanya oleh pakaiannya (status, jabatan, dan kuasa), bukan pada kualitas dirinya. Untuk itu, wajar bila manusia berusaha keras –meski dengan menghalalkan segala cara– agar memperoleh pakaian dunia. Tapi, bagi pemilik mata hati yang berbudi, pakaian jasmani tak pernah menyilaukan matanya. Sungguh, semua penilaian tergantung pada kualitas diri yang menghargai. Sebab, tingkatan penghargaan tentu hadir pada manusia yang memiliki kualitas yang sama.
Manusia dihargai pada tataran lahiriyah yang membalut tubuh, bukan pada pemilik tubuh. Untuk itu, wajar bila kepedulian manusia lebih dominan pada “pembalut tubuh”. Tak peduli harus mengeluarkan biaya mahal untuk penampilannya agar dihargai dan dihormati. Pakaian mewah yang bisa menutupi “borok tubuh dan hati yang busuk”. Sungguh, kualitas pakaian mampu mengangkat status manusia. Padahal, bisa jadi yang memakai manusia berkarakter hewan. Makna pakaian mewah bisa berwujud pada beberapa atribut, antara lain : (1) status dan tingkatan jabatan. Status keturunan yang dibanggakan dan jabatan mempengaruhi penghormatan yang diperoleh. Padahal, status keturunan belum tentu berkorelasi pada kualitas dirinya. Bagai setandan buah kelapa, kalanya bernas semua tapi kalanya ada pula yang kosong isinya.
(2). Deretan gelar. Gelar akademik, kebang-sawanan, atau gelar adat ikut berpengaruh hadirnya penghargaan dan penghormatan. Semakin panjang deretan gelar diperoleh atau dimiliki, semakin tinggi penghormatan didapatkan. Wajar bila upaya meraih deretan gelar begitu digandrungi dan menjadi tujuan. Ada yang meraihnya dengan cara benar, maka kebenaran yang akan dipanen. Sedangkan, bila apa yang diraih melalui sejuta cara dan melanggar aturan, maka kehinaan akan dipetik.
Kesemua bentuk di atas semakin sempurna tatkala ditopang oleh tumpukan pundi dan kehadiran selembar “surat sakti”. Kekuatan tersebut akan menghantarkan si tuli bisa menjadi pembisik, si buta bisa menjadi pembimbing menuju cahaya, si bisu bisa menjadi penyampai berita, si dungu bisa menjadi penasehat, si pincang bisa mengejar kereta api, atau si kudung bisa memegang sesuatu dengan erat. Semua status hadir karena asesories kemewanan jasmani yang dimiliki dan “kesaktian” yang dibeli, tapi bukan kualitas pada diri yang sebenarnya. Meski keyakinan manusia mempercayai bahwa Allah Maha Melihat, tapi tataran realita justru nyata telah menafikan atas apa yang diyakininya. Manusia seperti ini secara tegas dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “Di antara manusia ada yang berkata, kami beriman kepada Allah dan hari akhir, padahal sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang yang mukmin” (QS. al-Baqarah : 8).
Padahal Allah melihat semua yang ada, baik nyata atau diaembunyikannya. Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang gaib di langit dan di bumi. Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS. al-Hujurat : 18).
Menurut Ibnu Katsir, ayat di atas begitu jelas dan tanpa keraguan. Meski manusia ber-upaya menampilkan (publikasi) keshalehan dan menutupi kesalahan dengan berbagai alasan dan tipu daya, namun tak akan pernah mampu menutupi perbuatan (keshalehan dan kesalahan) dari pengawasan-Nya.
Melalui cerita Nasrudin Hoja, terlihat bahwa secara hakikat, manusia seyogyanya dihargai atas kualitas ilmu dan adab yang dimiliki. Standar ini menjadi ukuran bagi Allah melihat kualitas hamba-Nya. Hal ini merujuk pada sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik dan harta kalian, tetapi Ia melihat hati dan amal kalian” (HR. Bukhari).
Bila hakikat atribut syariat pakaian, jabatan, harta, gelar, dan keturunan yang menjadi penyebab diri dihormati, maka seluruh penghormatan menjadi hak atribut, bukan hak diri pemakai atribut. Sebab, gemuruh tepukan dan penghargaan hanya hadir ketika atribut disandang. Penilaian seperti ini hadir pada diri pengkhianat dan bersifat temporer. Sebab, ketika atribut hilang, maka bersamaan sirnanya penghormatan. Bak pepatah Arab mengingatkan “tidaklah kenikmatan dunia, melainkan bagai setetes madu. Barangsiapa yang hanya mencicipi sedikit (sekedarnya), maka ia akan selamat. Namun, barangsiapa yang menceburkan diri ke dalamnya (rakus), maka ia akan binasa”.
Berbeda bila kualitas diri yang menjadi penyebab ia dihormati. Kemuliaannya senantiasa melekat dan dikenang abadi. Untuk itu, sadarlah bagi diri yang hanya menumpang kemuliaan pada atribut. Ketika menumpang, kemuliaan ketika atribut belum rusak. Idealnya, semua penghargaan menjadi hak diri, bukan atribut yang membungkusnya. Bila adab yang ditanam, maka akan berbuah kebajikan. Tapi, bila diri tak pernah sadar dan bibit kezaliman yang ditanam, maka tumbuh subur kebencian dan cibiran ketika atribut tak lagi ada. Ketika itu, ia akan merasa sendiri di tengah keramaian dan tak tau jalan keluar di tengah puluhan pintu yang terbuka lebar.
Sungguh, pilihan pada penghargaan temporer atau abadi sangat tergantung pada kualitas diri dan benih tanaman yang ditanam. Peng-hargaan hadir pada manusia yang memiliki kualitas dan tujuan yang sama (sefrekuensi). Namun, hanya penilaian Allah SWT yang tak pernah ingkar janji dan keliru. Hal ini diingat-kan-Nya : “Sesungguhnya yang paling mulia dihadapan Allah di antara kalian adalah yang paling bertakwa” (QS. al-Hujurat : 13).
Menurut Ibnu Katsir, ayat di atas menegaskan semua manusia sama derajatnya. Adapun yang membedakan hanya kualitas ketaqwaan-nya pada Allah SWT, bukan karena keturunan, gelar, harta, atau kedudukan. Untuk itu, pada ayat sebelumnya (QS. al-Hujurat : 11), Allah SWT melarang umat-Nya berlaku zalim, meng-olok-olok, dan sombong (saat memakai atribut). Atau, terlalu memuliakan atribut (kultus politis sesaat). Padahal, atribut yang dipakai pada waktunya akan bernoda dan koyak. Pada gilirannya akan dibuang dan diganti. Roda terus berputar. Hanya karakter manusia yang sulit berubah menjadi mulia. Selalu mengedepankan kepentingan atribut sesaat, bukan kualitas diri yang beradab.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 4 Nopember
2024