Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Tak terasa, tahun 2024 akan berlalu dan disambut tahun 2025. Euforia pergantian tahun begitu terasa. Berbagai persiapan direncanakan secara matang dan dilakukan dengan penuh persiapan. Gegap gempita dan kemeriahan pergantian tahun begitu memukau. Tak ada pojok ruas jalan yang kosong. Semua tempat berkumpul penuh sesak dipadati manusia yang ingin melepas akhir tahun dan menyambut tahun baru. Fenomena ini terus terjadi setiap tahunnya.
Meski berbagai alasan euforia penyambutan tahun baru, perlu pendewasaan dalam memahami pergantian tahun. Pendewasaan agar diri semakin menyadari hakikat tahun baru. Memaknai untuk mengisi pergantian tahun bagi membangun peradaban. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Dialah Allah yang telah menjadikan matahari sebagai (sistem) penerangan dan (menjadi-kan) rembulan sebagai (cahaya), serta menetapkan sistem tersebut pada tempat-tempat orbitnya supaya kalian mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)” (QS. Yunus : 5).
Ayat di atas menjadi motivasi agar manusia mengambil pelajaran dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan sains. Melalui sistem ini, Allah menjelaskan tentang perhitungan waktu yang terkait erat dengan pergantian tahun. Ketika melihat keteraturan rotasi semua planet pada orbitnya, manusia bijak akan merasakan, memahami, dan menyadari keagungan-Nya yang menciptakan alam secara sistematis. Kesemuanya mengandung maksud agar manusia sadar untuk berbuat kebaikan dan keteraturan, bukan justeru semakin lupa diri dan berbenturan dengan aturan Ilahi. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Allah tidak menciptakan demi-kian itu, kecuali dengan benar. Dia menjelas-kan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada kaum yang mengetahui” (QS Yunus : 5).
Penyadaran ini diperlukan agar pergantian tahun bukan bentuk euforia tanpa makna dan sebatas rutinitas semata. Padahal, Allah berulangkali bersumpah dengan waktu (QS. al-‘Ashr : 1 ; QS. ad-Dhuha : 1 ; QS. at-Takwir : 18 ; QS. al-Fajr : 1 ; QS. al-Lail : 1 ; QS. asy-Syams : 1). Kesemuanya untuk mengingatkan manusia agar bijak dalam mengisi waktu. Paling tidak ada beberapa makna pergantian tahun yang perlu dijadikan pedoman. Ada beberapa pilihan dalam menyikapi tahun baru, antara lain :
Pertama, Tahun baru menghadirkan kesadar-an dan komitmen perubahan hakiki (taubat an-nasuha) menuju kebajikan. Sebab, pergantian tahun menandakan bertambahnya umur dan secara teori semakin dekat pada akhir kehidupan (kematian). Untuk itu, tahun baru merupakan peringatan atas semua perbuatan yang akan dipertanggungjawabkan dihadapan Sang Pencipta. Ketika waktu tersebut tiba, tak ada perbuatan yang mampu ditutupi dan sosok pembela menghampiri. Semua akan mendapatkan balasan atas pilihan perbuatan yang dilakukan. Untuk itu, momen pergantian
Kedua, Tahun baru bak baju baru. Hanya saja, baju baru di tubuh bijaksana atau sosok penista. Bila baju baru di tubuh dan karakter manusia bijaksana (positif), maka kedamaian akan diraih. Tapi, bila baju baru di tubuh dan karakter penista (pelaku negatif), maka tahun baru hanya sebatas berganti asesories, namun berprilaku melanggar norma yang ada (negatif). Akibatnya, tahun baru hanya sebatas rutinitas pergantian waktu yang ditandai perubahan angka, gemuruh petasan, gemerlap hiburan akhir tahun, dan varian penyambutan lainnya. Hanya tersisa tumpuk-an sampah yang berserakan tanpa rasa bersalah. Mereka merupakan sosok merugi karena tak mampu mencari “lorong waktu” untuk melepaskan diri dari “penjara nafsu” yang begitu kuat mencengkeram. Bentuk penyambutan selalu diperdebatkan, tapi wujud kualitas karakter manusia yang meng-isi pergantian tahun tak pernah dipersoalkan. Akibatnya, manusia alpa menyikapi perganti-an tahun untuk perbaikan diri.
Secara logika, pergantian tahun menandakan bertambahnya usia dan semakin dekat pada batas akhir kehidupan. Namun, anehnya manusia bukan semakin bijak dan sadar, tapi justeru bersuka-ria (segelintirnya tanpa kesadaran) menyambut gerak menuju “garis finis” kehidupannya. Pergantian tahun ternyata tak membuat manusia bijak untuk merubah prilaku, tapi kalanya semakin jahil dan menganggap seakan hidup selamanya. Pergantian tahun hanya sebatas berubah angka, bertambah umur, tenaga berkurang, dan fisik yang semakin uzur. Bertambah umur hanya sekedar deret hitung (kuantitas), bukan deret ukur (kualitas). Status sebatas gengsi, gelar sekedar prestise, dan tampilan hanya kamusflase. Sementara asa keduniaan semakin kokoh dengan kerakusan dan kezaliman yang begitu nyata.
Fenomena ini menghantarkan tahun baru hanya sebatas pergantian tahun tanpa kesadaran layaknya manusia beradab. Bila hal ini yang terjadi, maka tahun baru layaknya baju baru dipakaikan pada seekor hewan. Ia hanya berbaju baru tanpa merubah karakter dan kebiasaan si pemakai (diri). Seyogyanya, baju baru menghadirkan tampilan lebih baik, semangat dan bijaksana, serta perubahan karakter si pemakai agar lebih beradab seiring bertambah umurnya.
Ketiga, Tahun baru penambahan angka dan usia yang seyogyanya berkorelasi dengan peningkatan kualitas diri berupa adab dan prilaku kebajikan. Bagaikan buah kelapa, semakin tua akan semakin kental santannya. Semakin berumur seseorang, seyogyanya semakin banyak ilmu, pengalaman, dan kebajikan yang mampu diberikan. Tahun bertambah pertanda umur berkurang. Jangan sampai pergantian tahun hanya menghantar-kan diri “tua-tua keladi”. Semakin berumur (tua) semakin menjadi-jadi berprilaku negatif, kesombongan, kezaliman, dan nyata pula pelanggaran yang dilakukan.
Sungguh, manusia acapkali tak pernah atau mampu menyadari pesan pergantian tahun. Seakan, pergantian tahun sebatas rutinitas rotasi alam. Manusia tak bergeming dan peduli atas pesan alam agar selalu berusaha melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Mungkin manusia telah kehilangan kesadaran realita. Kesadaran atas kehancur-an peradaban, kemunduran sisi kemanusiaan, punahnya keadilan, kerusakan alam semesta, ketimpangan kesejahteraan, hilangnya sosok panutan, dan varian lainnya. Manusia hanya sibuk pada mimpi yang membuatnya lupa diri. Mimpi kuasa, status, popularitas, tahta, harta, dan varian lainnya. Untuk itu, wajar bila alam semesta meronta. Namun manusia tak pernah bergeming menjawab pesan yang disampaikan Allah melalui gerak alam.
Ketika pesan alam yang kasat mata telah dinafikan, apatahlagi pesan Allah SWT. Padahal, Allah telah mengingatkan melalui firman-Nya : “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling me-nasihati untuk kebenaran dan saling me-nasihati untuk kesabaran” (QS. al-‘Ashr : 1-3).
Ayat di atas berisi penjelasan tentang hakikat keuntungan dan kerugian dalam kehidupan, berikut peringatan pentingnya pergantian waktu yang dialami manusia. Ketika pilihan memanfaatkan waktu keliru dilakukan, maka manusia akan celaka akibat menyia-nyiakan waktu dengan perbuatan yang tak memiliki manfaat, bahkan menimbulkan mudharat dan kezaliman. Sebaliknya, keselamatan hanya mampu diraih oleh manusia yang beriman, menjalankan amal sholeh, dan menasehati kebenaran dengan penuh kesabaran yang akan memetik keselamatan.
Bila dasar di atas dijadikan acuan, maka begitu sulit menemukan manusia pilihan yang dimaksud. Kehadirannya “bagai menemukan jarum ditumpukan jerami”. Ia ada tapi sulit ditemukan. Andai terlihat dan ditemukan, eksistensinya acapkali ditutupi oleh tumpukan kepentingan. Akibatnya, hadir dominasi komunitas manusia “minta dipilih” (kuantitas statusnya), bukan menjadi manusia “pilihan” (kualitas ridho-Nya). Untuk itu, wajar bila “waktu” tersia-siakan dengan aktivitas pelanggaran demi pelanggaran, bukan waktu untuk memperbaiki ke arah kebajikan. Fenomena pilihan ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Dan orang-orang yang tidak menyaksikan kepalsuan, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya” (QS al-Furqan : 72)
Wahbah az-Zuhaili menafsirkan ayat di atas agar manusia tidak melakukan saksi palsu, mendatangi tempat kebathilan, dan berinter-aksi pada prilaku yang sia-sia (ucapan dan perbuatan). Hanya saja, dinamika zaman (terutama media sosial) justeru menggiring manusia semakin intens berbuat sia-sia. Penyebaran fitnah pada lawan dan “angkat telor” pada atasan, publikasi (flexing) atas aktivitas diri, serta menyebar kebencian pada sesama. Kalanya, wujud silaturrahim begitu harmonis di media sosial, tapi tak saling peduli bila di dunia nyata. Meski demikian, tanpa disadari ternyata media sosial mampu memperlihatkan sisi karakter dan sifat asli yang tersembunyi. Semakin nyata karakter kemunafikan, usil, pamer, bergosip, menyebar hoax, pergunjingan, dan sifat negatif lainnya. Kesemua karakter ini justeru menjadi trend era tanpa peradaban. Anehnya, karakter dan prilaku “jahiliah” ini justeru memperoleh respon (antusias) yang tinggi. Namun, ketika informasi cerdas mengisi media sosial untuk menyebarkan kebajikan justeru kurang mendapat respon, terkucil, tak dihargai atau dinilai negatif, dan dipandang aneh. Sungguh, pergantian tahun pertanda semesta mampu bergerak (rotasi) sesuai sunnatullah. Namun, rotasi alam tak mampu menggerakan hati dan akal manusia untuk lebih beradab.
Semoga pergantian tahun menjadi momen evaluasi (muhasabah) agar lebih baik, bukan menjadi tumpukan sampah bagi peradaban. Melalui kesadaran tersebut, dimungkinkan tampil manusia bijaksana dan beradab. Bukan sebaliknya, hanya tampil manusia yang saling menginjak, menyakiti, dan menampilkan kebiadaban.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 30 Desember 2024