Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Setiap manusia berharap memiliki rumah untuk tempat tinggalnya. Tapi setelah memiliki rumah, ada penghuni yang rajin membersihkan dan menata rumahnya. Hatinya senantiasa senang dan bahagia tatkala rumahnya bersih tanpa sampah atau kotoran. Manusia yang memiliki sifat ini merupakan diri yang mengimplementasikan firman Allah SWT : “… Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (QS. al-Baqarah : 222).
Namun, ada pula penghuni yang hobi membuat sampah dan jarang membersihkan rumahnya. Sebab, ia hanya sibuk berada di luar rumah untuk menciptakan sampah dan mencari sampah rumah orang lain. Akibatnya, rumahnya sendiri justeru yang kotor karena tak sempat dibersihkan.
Meski harapan memperoleh rumah yang bersih tanpa sampah merupakan fitrah semua manusia. Namun, disebabkan kebiasaan dan sifat malasnya, manusia memilih tak peduli dengan kebersihan “rumahnya”. Padahal, secara tegas Rasulullah SAW memerintahkan manusia untuk menjaga kebersihan (diri dan lingkungan). Hal ini dapat ditemukan dalam sabdanya : “Bersihkanlah segala sesuatu semampu kamu. Sesungguhnya Allah SWT membangun Islam di atas dasar kebersihan dan tidak akan masuk surga kecuali setiap yang bersih” (HR. ath-Thabrani).
Meski hadis di atas begitu jelas, namun dalam realita masih ditemukan segelintir manusia yang memiliki tipikal masa bodoh terhadap kebersihan rumah dan lingkungan. Bahkan, secara sengaja menciptakan dan menebarkan tumpukan sampah yang akan menyengsarakan sesama. Perilaku ini merupakan tindakan yang dilarang dalam Islam. Untuk itu, Rasulullah SAW mengingatkan manusia melalui sabdanya : “Ada seorang lelaki yang membuang dahan pohon yang menghalani jalan, lalu ia berkata, ‘Demi Allah, aku akan singkirkan dahan ini agar tidak mengganggu dan menyakiti kaum muslimin,’ maka Allah pun memasukkannya ke surga” (HR. Muslim).
Demikian fenomena kebersihan dan kepedulian menjaga diri dan lingkungan dalam realita kehidupan. Secara umum, manusia tak ada yang menyukai sampah dan kotoran, tapi anehnya manusia justeru suka membuat sampah dan berbuat kotor. Meski masih ada manusia yang masih peduli tatkala berkaitan sampah zahir, apatahlagi sangat peka atau sensitif terhadap “sampah” pada orang lain. Akan tetapi, terhadap tumpukan sampah batin pada dirinya justeru tak pernah diperdulikan. Akibatnya, sampah pada diri menumpuk tinggi menggunung dan menimbulkan bau busuk yang menyengat. Wajar bila kondisi ini menjadi tempat bersemayam sejuta penyakit hati. Untuk itu, Rasulullah mengingatkan bahaya kotornya hati yang berdampak pada kotornya perilaku hamba. Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya pada diri manusia itu ada segumpal daging (mudhghah) yang apabila daging itu baik, maka baiklah tubuh seluruhnya. Dan apabila ia rusak, maka akan rusaklah segala perbuatan dan aktivitasnya” (HR. Muslim).
Merujuk fenomena dan hadis di atas, maka tulisan “sampah rumah” kali ini merupakan tamsilan atas diri manusia. Sampah merupakan kotoran hati (rohani) dan rumah adalah tubuh diri (jasmani) yang berwujud perilaku. Berkaitan hal tersebut, ada beberapa tipikal manusia yang berhubungan “sampah rumahnya”, yaitu :
Pertama, Sibuk melihat sisi kelemahan dan berupaya mem-bersihkan diri (hati) dan rumahnya (perilaku). Kesibukan ini membuat ia lupa atas semua kebaikan yang dilakukan. Waktunya hanya melihat kekurangan dan kesalahan dirinya. Untaian munajat harap pibta ampunan menjadi gerak setiap nafasnya. Tak ada ruang sedikit pun untuk merasa hebat, apatah lagi menilai diri mulia. Seluruh organ dan pori-porinya hanya berisi pengharapan ampunan atas kesalahan yang pernah dilakukan.
Sungguh mulia manusia memiliki tipikal ini. Apa yang dilakukan semata mengimplementasikan sabda Rasulullah SAW : Dari Anas bin Malik RA, Rasulullah ﷺ bersabda, “Sungguh beruntung seseorang yang disibukkan dengan aibnya sehingga lalai dengan aib orang lain” (HR. Al-Bazzar).
Kesibukan terhadap aibnya seiring berupaya memperbaiki diri dengan perilaku mulia. Upaya ini dilakukan secara kontinue. Ia malu terhadap Allah atas semua kealpaan dan kekurangan dirinya. Kesibukan hamba yang demikian membuat dirinya tak pernah memiliki peluang untuk melihat kelemahan sesama.
Kedua, Sibuk memperlihatkan kebaikan diri, lupa keburukan diri. Sikap manusia tipikal ini akan menumbuhkan sifat sombong pada kehebatan diri (berikut variannya), memamer-kan (riya’) atas semua yang dimiliki (dicapai), dan terbangun kemunafikan untuk meraih tujuan. Sifat yang demikian sangat dilarang dalam Islam. Untuk itu, Allah SWT meng-ingatkan melalui firman-Nya : “Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah membalas tipuan mereka (dengan membiarkan mereka larut dalam kesesatan dan penipuan mereka). Apabila berdiri untuk shalat, mereka me-lakukannya dengan malas dan ber-maksud riya’ dihadapan manusia. Mereka pun tidak meng-ingat Allah, kecuali sedikit sekali” (QS. an-Nisa’ : 142).
Ayat di atas diperkuat melalui penjelasan Rasulullah SAW lewat sabdanya : “Takutlah kalian kepada syirik kecil.” Para sahabatnya bertanya: “Wahai utusan Allah, apa yang sejatinya dimaksud dengan syirik kecil itu ?” Rasulullah SAW berujar, “Yaitu sifat riya’ (pamer diri). Kelak di hari pembalas-an, Allah mengata-kan kepada mereka yang memiliki sifat riya’. Pergilah kalian kepada mereka, di mana kalian dulu pernah memperlihatkan amal kalian kepada mereka semasa hidup di dunia. Lihatlah apakah kalian memperoleh imbalan pahala dari mereka ?” (HR. Ahmad).
Merujuk sabda Rasulullah di atas, fenomena terhadap manusia pemilik tipikal di atas semakin terlihat nyata di era modern. Melalui media sosial yang tersedia, publikasi diri memperoleh momentum untuk dimunculkan. Publikasi atas semua yang dimiliki dan dikerjakan (bahkan pada ruang privasi) dengan tujuan memperoleh pujian dan decak kagum. Meski semua tergantung dengan niat setiap manusis, tapi penonjolan diri yang terlalu vulgar menyebabkan munculnya buruk sangka pada sesamanya. Bila ingin mempublikasikan diri dengan niat baik, maka lakukanlah secara wajar tanpa menghilangkan hukum kausalitas (emanasi) bahwa apa yang diperoleh (dipetik) merupakan benih yang telah ditanam manusia sebelumnya. Semua hadir melalui proses panjang dan kerjasama banyak pihak. Namun, acapkali publikasi yang dimunculkan seakan prestasi yang ada merupakan “tanamannya”. Untuk itu, upaya menutup sejarah sejarah dilakukan. Hadir perilaku bak “politik belah bambu”. Menginjak kausalitas pelaku sejarah sebelumnya untuk mengangkat kehebatan diri sendiri. Seakan, apa yang diperoleh merupakan keberhasilan tunggal. Padahal, sikap yang demikian bentuk perilaku sombong yang menunjukkan sikap tak beradab. Sikap tersebut sebenarnya upayanya untuk menutupi kelemahan dan kejahilannya. Tapi, upaya yang dilakukan hanya seperti menutup borok dengan selembar daun ilalang. Sungguh, perilaku yang demikian menunjukan kekerdilan diri dan bentuk pemilik peradaban (adab) yang rendah.
Ketiga, Selalu sibuk menilai sesama, menyibak aib, dan berusaha mencari sampah orang lain. Sementara di sisi lain, ia lupa dan tak pernah mengakui kekurangan atau aib dirinya sendiri. Sementara terhadap lawan, tak tersisa kebaikan dan terhadap kawan tak ada sedikit jua keburukan. Sifat ini merupakan perilaku kaum Yahudi yang mengajak orang lain berbuat baik, sementara dirinya berbuat kezaliman dan melakukan berbagai pelanggaran (QS. al-Baqarah : 44). Untuk itu, Allah mengingatkan melalui firman-Nya : “Wahai orang-orang beriman ! Mengapa kamu mengata-kan apa yang tidak kamu kerjakan ? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa saja yang tidak kamu kerjakan” (QS. as-Shaff : 2-3).
Sebagian ulama berpendapat, ayat di atas merupakan teguran terhadap manusia (sahabat) yang membangga-banggakan perbuatan yang tidak pernah mereka kerjakan. Mereka berkata “Aku melakukan ini dan itu,” padahal dia tidak pernah melakukan apa yang dikatakannya. Allah SWT sangat mencela sikap yang mereka tunjukan atas sesuatu yang tidak mereka kerjakan. Dalam pepatah Melayu, tipikal manusia diungkap dengan beberapa tamsilan seperti “sosok pahlawan kesiangan, menembak di atas kuda, atau kerbau punya susu tapi sapi dapat (inginkan) nama”.
Ketika berkaitan persoalan aib pada orang lain, habis waktu-nya hanya untuk mencari kesalahan sesama. Seluruh energi dan amunisi digunakan untuk mencungkil dan menciptakan aib atau kesalahan lawan. Sementara, anehnya ia tak ada waktu untuk melihat aib dan kesalahan diri dan kawannya. Andai diketahui adanya kesalahan pada dirinya, ia berusaha untuk menimpakan kesalahan tersebut pada orang lain (alibi mencari kambing hitam). Sikap ini telah diingatkan Allah SWT melalui firman-Nya : “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang” (QS. al-Hujurat : 12).
Merujuk ayat di atas, Imam Dzunnun al-Mishri pernah mem-beri nasihat, bahwa “Jangan kau sibukkan dirimu pada aib orang (lain) daripada aibmu sendiri, (karena) kau tidak punya wewenang menjadi pemeriksa atau pengawas mereka.”
Nasehat di atas memiliki makna sangat dalam. Sebuah nasehat yang hadir dari keprihatinan seorang ulama terhadap perilaku manusia pada masanya dan masa selanjutnya. Sebab, sejarah terus berputar dan berulang. Pembedanya hanya pada waktu, pelaku, subjek, dan objeknya semata. Sementara substansinya tetap sama. Meski ayat, hadis, dan nasehat ulama begitu jelas memberi pedoman, namun seakan tak mampu menyadarkannya. Berbagai keingkaran manusia tetap terjadi meski bukti kebenaran dan peringatan begitu jelas dipelupuk matanya.
Pada umumnya, manusia seringkali terjebak pada “kenik-matan” dipuja dan dibenarkan atas semua perilaku yang dilakukan. Padahal, ia tak menyadari bahwa pujian bukan karena terpuji dan dinilai baik tanpa pernah berbuat kebaikan. Secara psikologis, ternyata kejiwaan manusia memang lebih mudah menyalahkan dan suka menilai orang lain. Sebaliknya, manusia tidak suka disalahkan dan dinilai salah, bahkan oleh dirinya sendiri, apatah lagi oleh orang lain. Bila sifat ini mendominasi, maka tumpukan sampah dalam diri akan semakin menumpuk. Ketika hal ini dibiarkan dan tak segera dibersihkan, tumpukan sampah tersebut akan mengeluarkan bau busuk menyengat seiring hadirnya ulat belatung yang berkembang biak. Dengan demikian, “isi diri” semakin rusak dan “rumah diri” akan semakin tak layak untuk ditempati oleh makhluk yang bernama manusia.
Sungguh, manusia merupakan makhluk yang mudah menipu, ditipu, tertipu, mengotori, dan dikotori oleh berbagai jenis sampah. Perilaku ini kerap terjadi pada pribadi, antar individu, dan komunitas. Bahkan, tipuan dan tumpukan “sampah” bahkan terjadi pada internal diri. Hati dan akalnya ditipu nafsu yang dimuarakan pada lisan dan perilaku yang bermuatan sampah. Bila diri sendiri (jasmani dan rohani) tega ditipu dan dikotori, apatahlagi terhadap semua yang ada di luar diri. Pada waktunya, semakin nyata terlihat beda emas dan tembaga, kebersihan dan sampah, benar dan salah, tinta emas dan tinta hitam, kejujuran dan kemunafikan, serta varian isi diri lainnya. Pilihan tentu dikembalikan pada setiap manusia atas semua “sampah rumah” pada dirinya. Apakah hanya sibuk mencari dan mengurusi sampah orang lain dengan membiarkan tumpukan sampah di rumahnya sendiri. Bila pilihan ini yang diambil, maka kehancuran akan terjadi dan ruang balas dendam tak terelakkan. Meski sejuta retorika pembenaran dilakukan dan berbagai asesories dipakai untuk menutupi “sampah diri”, semua pada waktunya akan terbuka jua. Pujian yang hadir hanya bak kipas yang membuat api neraka semakin berkobar. Demikian firman Allah dan sabda Rasul-Nya yang tak pernah ingkar janji dan tak bisa dibohongi. Semua pasti akan diminta pertanggung-jawaban atas apa yang dilakukan.
Namun, bila setiap diri selalu sibuk memperbaiki diri untuk berbuat lebih baik (dihadapan Allah dan Rasulullah) dan tampil sebagai pemilik peradaban tinggi, maka alam semesta akan damai dalam kesejahteraan dan bahagia dalam kemakmuran. Ketika pilihan ini yang diambil, meski penduduk bumi tak memandang, namun yakinlah bahwa seluruh penghuni langit akan menyambut dan menunggu kehadirannya untuk menikmati hasil (panen) kebajikan yang telah ditanam sebelumnya.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 15 Januari 2024