Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Semut merupakan salah satu hewan yang diabadikan oleh Allah SWT sebagai nama surat (QS. an-Naml) dalam al-Quran. Selain semut, al-Quran juga mengabadikan nama hewan lainnya, seperti : sapi betina (QS. al-Baqarah), lebah (QS. an-Nahl), laba-laba (QS. al-Ankabut), dan gajah (QS. al-Fiil).
Selain hewan di atas, al-Quran juga me-nyebutkan nama hewan lainnya, seperti : lalat, kera, burung (Ababil), anak sapi, kutu, kuda, lembu, gagak, anjing, keledai, domba, nyamuk, ngengat, bagal, babi, ular, burung puyuh (salwa), ikan (paus), katak, belalang, dan serigala. Dibalik semua itu pasti ada hikmah dan pelajaran yang disampaikan Allah pada hamba-Nya (QS.Ali Imran : 191).
Tentu kesemua nama dan fenomena di atas anugerahkan berbagai keistimewaan. Semua mengandung pesan-Nya untuk pelajaran bagi manusia. Namun, manusia acapkali mengingkarinya. Padahal, begitu jelas dan tegas Allah paparkan semuanya agar manusia bijak melaksanakan tugas kekhalifahan yang diemban.
Semut merupakan salah satu jenis hewan paling kecil dibanding hewan lain yang diabadikan sebagai nama surah dalam al-Quran. Melalui semut, Allah sampaikan pesan dan pelajaran pada manusia. Ada beberapa pelajaran yang dapat diambil dari aktivitas kehidupan komunitas semut, antara lain:
Pertama, semut mengajarkan wujud silatur-rahim tanpa tendensi, kerjasama yang harmonis, dan penuh kekompakan. Setiap bertemu dengan sesamanya, semut saling bertegur sapa dan “berjabat tangan”, tanpa menggunjing dan saling buang muka, apatahlagi flexing atas apa yang dimiliki. Tak ada rasa iri, dengki, dan berpangku tangan, apalagi saling memfitnah dan mengadu domba. Semua sibuk bekerja dan berkarya sesuai tugas dan fungsinya, tanpa pernah “cawe-cawe”, iri, dengki, dan usil pada pekerjaan semut lainnya.
Berbeda pada sebagian makhluk Allah lainnya, terutama manusia. Silaturrahim berselubung kepentingan dan membantu atau dibantu penuh pamrih. Bila keinginan dan pamrihnya telah diperoleh, sirna pula silaturrahim. Semua hanya bila ada “gula”. Bila rasa manis telah sirna, tak ada lagi tegur sapa. Mengharap amanah, tapi tanpa kemampuan untuk melaksanakannya. Begitu nyata wujudnsilaturrahim bak “buih sabun”. Tatkala amanah diperoleh melalui jalan “negosisasi”, maka ketika melaksana-kan tugas “mengumpul pundi”, dan akhir-nya berada dibalik dijeruji besi.
Berbeda jauh dengan kloni semut yang menjalin silaturrahim penuh keikhlasan. Padahal, Rasulullah SAW telah mengingat-kan melalui sabdanya : “Tidak akan masuk surga orang yang memutus silaturrahim” (HR. Mutafaqun ‘Alaih).
Sungguh jelas peringatan Rasulullah pada umatnya. Namun, manusia acapkali tak mau peduli akibat dominasi nafsu serakah dan kesombongan yang membelenggunya.
Kedua, semut merupakan makhluk yang selalu menjaga kebersihan. Bahkan, andai temannya mati, kawanan semut akan datang untuk mengangkatnya. Semua dilakukan agar tak menjadi sampah. Kebersihan semut begitu nyata tanpa menyisakan kemudharatan pada alam semesta. Perilaku semut yang demikian merupakan wujud atas firman-Nya : “…Sesungguhnya Allah menyukai orang- orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (QS. al-Baqarah : 222).
Sementara segelintir manusia yang berakal, tapi justeru tak mampu menjaga kebersihan diri dan alam. Bahkan acapkali menjadi “sampah peradaban”. Dalam diri-nya tersisa kotaran yang busuk. Onggokan kotoran pada hati dan akal yang keluar dari mulutnya. Kotoran ini akan mendorongnya menyebarkan kotoran pada alam semesta.
Ketiga, Taat aturan sesuai bidang kerja. Ada semut pekerja, semut pejuang, semut ratu, dan semut pejantan. Masing-masing memiliki tanggungjawab dan tugas yang berbeda sesuai dengan fungsinya dalam koloni. Meski tanpa pernah melakukan “pengambilan sumpah” dan perjanjian di atas materai, setiap semut tak pernah meninggalkan dan mengkhianati tugasnya. Semua bekerja sesuai tusi yang ditetapkan pada kloninya. Tak ada yang berpangku tangan dan iri pada tusi semut yang lain. Hal ini berbeda pada segelintir manusia yang menyisakan saling iri dan sombong atas tusinya. Padahal, ia diciptakan sebagai makhluk yang lebih sempurna di banding semut dan makhluk lainnya.
Keempat, Hidup hemat dan tak boros. Semut merupakan gambaran hewan yang menerapkan pola hidup hemat. Seakan sadar atas ketidakpastian hari esok, semut makan sesuai ukuran kebutuhannya dan menyimpan makanan di “lumbung makan-an” yang disiapkan. Tak ada pencuri di koloninya. Dampaknya, kumpulan semut tak pernah kelaparan atau “mengimport” makanan bila musim paceklik tiba. Untuk itu, kerajaan semut tampil menjadi “koloni tanpa hutang”. Sebab, kerajaan semut bijak dan amanah dalam menata perekonomiannya. Hidup dinamis tanpa mengemis dan tak memaksakan keinginan di luar kemampuan atau kebutuhannya.
Kelima, Makhluk yang optimis dan tidak serakah. Secara science, meski tubuhnya kecil tapi persendian semut dapat meng-angkat berat lebih dari 3.000 kali berat badan mereka sendiri tanpa patah. Untuk itu, ia mampu menahan beban 5.000 kali lebih berat dari badannya (scaling). Kendati demikian, ia biasanya selalu membawa beban yang berukuran kecil. Di sini terlihat, meski ia mampu membawa beban yang lebih berat, tapi ia tidak serakah. Ia bawa sesuai yang diperlukan, bukan sesuai keinginan. Sebab, ia sadar atas keterbatasannya. Berbeda dengan manusia. Segelintirnya malas berusaha tapi ingin mendapatkan semuanya. Berbagai jalan pintas ditempuh, meski dengan menghalalkan segala cara.
Keenam, Komunitas semut dipimpin seorang ratu semut. Sosoknya merupakan pemimpin yang bijaksana, manajer yang mumpuni membagi habis semua tugas, melindungi, dan mengayomi, bukan menzhalimi. Kisah ini dinukilkan pada perjalanan nabi Sulaiman AS. Ketika rombongan nabi Sulaiman lewat, Jirsan sang ratu semut yang berasal dari Bani Syishibban berkata pada rakyatnya agar menyelamatkan diri. Sebab, rombongan nabi Sulaiman akan melewati jalan tersebut. Perintah ratu semut ini dinukilkan Allah melalui firman-Nya : “Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarang-mu agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari” (QS. an-Naml : 18).
Tindakan ratu semut yang mengingatkan rakyatnya untuk menyelamatkan diri merupakan bentuk kepedulian dan sayang pada rakyatnya. Ia tidak mau rakyatnya menderita dan sengsara. Ia tampil memberi perintah penyelamatan, bukan kesesatan. Sementara dirinya paling belakangan lari menyelamatkan diri. Ia rela menderita asal rakyatnya selamat dan bahagia. Sungguh sosok ratu semut yang mengayomi dan peduli.
Ketujuh, Semut suka pada rasa manis. Di mana ada gula, di situ ada semut. Kebiasa-an semut ini bernilai positif dan perlu dimaknai secara positif. Semut selalu mendekati kebaikan (manis) dan menjauh dari keburukan (pahit). Demikian seyogya-nya sifat manusia. Hanya “mengerubungi” manusia mulia (dihadapan Allah), bukan terhadap hamba yang dimurkai-Nya. Namun, segelintir manusia justeru hanya mengerubungi (mendekati) mereka yang bisa memenuhi keinginannya. Semua ingin berebut menghampiri pemilik “sesuatu” untuk mendapatkan “sesuatu”. Ia tak lagi peduli “gula ternyata racun”. Tapi, bila rasa “manis” telah sirna, ia akan meninggalkan, bahkan kelak mempergunjingkannya.
Adapun pelajaran yang dapat diambil dari sosok nabi Sulaiman AS (berkaitan dengan semut), antara lain :
Pertama, Keluasan ilmu dan kuasa nabi Sulaiman AS digunakan untuk melindungi dan mengayomi semua rakyatnya, bukan membangun kezaliman, menindas, dengki, serakah, dan menyombongkan diri. Hal ini dapat dilihat ketika mendengar perintah ratu semut agar semua rakyatnya segera menyelamatkan diri, maka nabi Sulaiman tersenyum dan memerintahkan pasukan-nya untuk berbelok agar kawanan semut tak terinjak dan celaka.
Apa yang dilakukan nabi Sulaiman AS merupakan tampilan pemimpin yang berilmu dan bijaksana. Sosok pemiliki ilmu yang luas dan kepekaan atas seluruh isi alam. Meski nabi Sulaiman memiliki kuasa yang membentang dari masyriq sampai maghrib, tapi tak menjadikannya pongah dan berlaku sewenang-wenang (zalim) pada semua rakyatnya. Namun, semakin tinggi karunia Allah padanya, membuat ia semakin tawadhu’ dan bijaksana.
Kedua, Mensyukuri atas semua nikmat yang dianugerahkan Allah. Kebijaksanaan nabi Sulaiman AS merupakan wujud kesyukuran kepada Allah SWT atas nikmat yang telah dianugerahkan kepadanya. Hal ini dinukilkan oleh Ibnu Katsir dalam kitab Qashasul Anbiya’, bahwa tindakan bijak-sana merupakan karakter hamba yang menyadari bahwa semua kekayaan, ilmu, dan derajat yang dimiliki berasal dan akan kembali pada-Nya. Sikap ini membuatnya selalu sadar dan bersyukur atas nikmat Allah SWT yang telah dititpkan kepadanya. Sikap mulia yang perlu ditauladani.
Ketiga, Saling menghormati dan meng-harga terhadap semua ciptaan-Nya. Adab yang ditunjukkan nabi Sulaiman AS merupakan wujud tugasnya sebagai khalifah rahmatan lil ‘aalamiin. Sikap yang ditunjukkan bukan hanya pada sesama manusia, tapi seluruh ciptaan Allah SWT. Adab yang demikian dinukilkan dalam pepatah leluhur, bahwa : “terhadap yang tua dihormati, pada yang kecil disayangi, dengan sebaya jadikan teman”.
Namun, lintas sejarah manusia acapkali berbeda dalam bersikap. Penghormatan hanya terhadap pemilik derajat, rasa sayang pada pemilik tumpuan (harapan), dan memilih teman hanya pada ruang yang menguntungkan. Ketika semua ada, maka bak setitik madu yang dikerumuni semut. Tapi, tatkala semua telah sirna, suasana sepi tak ada lagi yang peduli. Semua terjadi sebagai penunjuk karakter yang tersembunyi. Mungkin hadir karena kezaliman diri ketika berkuasa atau kedunguan dalam memilih sosok yang mengitari ternyata penuh kepalsuan.
Keempat, Nabi Sulaiman AS merupakan tipologi pemimpin yang berilmu dan bijak-sana. Ilmu yang dimiliki menuntunnya ber-adab. Dengan adab, ia peroleh hikmah yang menghadirkan kebijaksanaan dalam kebajikan untuk meraih kemakmuran.
Begitu mulia adab yang dimilikinya. Pada hewan sekecil semut saja ia lindungi, apalagi hewan lainnya. Dengan hewan saja ia beradab, apalagi dengan sesama manusia. Dengan sesama manusia saja ia beradab, apalagi pada Allah Sang Pencipta alam semesta. Andai logika ini digunakan untuk menunjukan kebalikannya, maka tatkala terhadap Allah saja manusia berani berdusta dan mengingkari janjinya, apatah-lagi dengan sesamanya, bahkan alam semesta. Andai pada sesama saja saling menzalimi, apatahlagi pada makhluk lainnya. Andai pada sesama manusia saling memangsa dengan rakus, maka sifat kerakusan tersebut akan mendorong-nya melahap seluruh isi alam semesta.
Sungguh, ratu semut dan nabi Sulaiman AS merupakan wujud hamba-Nya yang bertipikal melindungi dan menyayangi atas semua elemen yang dipimpinnya. Mereka lebih mendahulukan keselamatan dan kepentingan umum. Mereka tak berfikir untuk diri dan koleganya. Demikian Allah SWT menunjukkan pada manusia agar menjadi khalifah rahmatan lil ‘aalamiin. Demikian pula bila rakyat amanah atas fungsinya, maka Allah akan mengutus pemimpin yang baik. Namun, bila aturan-Nya dilanggar, maka Allah SWT hadirkan pemimpin yang bertabiat sama untuk memetik sengsara. Kesengsaraan sebagai-mana ditimpakan-Nya pada iblis, Namrudz, Fir’aun, Haman, Bal’am bin Baura, Qorun, Abu Lahab, Abu Jahal, dan lainnya (berikut pengikutnya). Semua merupakan bukti nyata untuk menjadi pelajaran (i’tibar) dan pedoman atas pilihan yang diambil. Andai
pilihan salah yang diambil, maka kehancur-an akan diraih. Tapi, bila pilihan bijak dan benar, maka buah kebajikan akan dipetik. Kesemua pilihan pasti ada balasannya.
Dirgahayu negeriku yang ke-79 tahun (17 Agustus 1945 – 17 Agustus 2024). Tulisan ini kupersembahkan sebagai kado cintaku pada NKRI. Bukan sebatas untaian kata dan slogan hampa, bukan teriakan nyaring tanpa makna dan penuh kemunafikan semata. Tapi, teriakan karya nyata beriring senandung munajat pada Allah SWT agar kisah nabi Sulaiman AS dan semut akan selalu terwujud dalam realita, aamiin.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 19 Agustus 2024