Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Semua manusia (terutama kaum wanita) ingin tampil sempurna. Untuk itu, bersolek merupakan aktivitas yang selalu dilakukan. Sebab, bersolek dan memperindah diri merupakan naluriah setiap manusia. Bahkan, Islam menganjurkan keindahan. Hal ini merujuk pada sabda Rasulullah SAW : “bahwasanya Allah itu indah dan menyukai keindahan” (HR. Muslim).
Merujuk hadis di atas, Imam Ibnu Qayyim dalam kitab Tauhid al-‘ilmi al-khabari al-I’tiqadi, bahwa : “Keindahan Allah ada empat varian, yaitu : (1) Keindahan zat ; (2) keindahan sifat ; (3) keindahan perbuatan ; (4) keindahan nama. Semua keindahan-Nya begitu sempurna dan tanpa batas. Menyadari terhadap keterbatasan yang dimiliki, manusia berupaya memperindah dirinya dengan bersolek atau berdandan (make up) dan menggunakan asesories jasmani lainnya. Namun, Islam membatasi upaya bersolek bukan untuk kemaksiatan.
Secara sederhana, bersolek (make up) merupakan seni merias wajah atau mengubah bentuk asli dengan bantuan alat dan bahan kosmetik dengan tujuan untuk memperindah atau menutupi kekurangan sehingga wajah terlihat ideal. Upaya “bersolek” bertujuan untuk memperbaiki ketidaksempurnaan atau menyamarkan kekurangan yang ada.
Dalam perkembangannya, upaya manusia untuk menutupi kelemahan fisiknya bukan sebatas pada make up. Sejumlah upaya dilakukan, meliputi : pakaian, kendaraan, rumah, status, kekayaan, jabatan, berbagai asesories mewah, bahkan deretan gelar yang dimiliki. Semua diupayakan dan dipoles sesuai tujuan yang diinginkan. Ada yang dipoles pada tingkat kesederhanaan sampai tampilan glamour serba “jet set”. Pada dasarnya, semuanya bertujuan untuk mendapatkan “nilai” dan dihargai sesuai apa yang diinginkan.
Andai obyek bersolek hanya pada aspek jasmani, maka dampaknya masih bisa diminimalkan dan berpengaruh pada ruang terbatas. Namun, bila obyek dan tujuan “bersolek” merekayasa sifat (karakter) untuk menutupi kebiadabannya, maka dampaknya lebih luas, masif, fatal, bahkan merusak peradaban. Ia bersolek untuk menutupi keburukan sifat aslinya (kesalahan) dengan polesan kebaikan (keshalehan). Cara ini dampaknya sangat berbahaya dan merusak. Apatahlagi bila upaya mempersolek karakter ditopang status “kebaikan” dan posisi mulia yang disandang. Kepercayaan dan kekaguman masyarakat dijadikan sebagai alat bagi menutupi kemunafikan dan sifat buruknya. Sebab, bersoleknya manusia munafik akan berujung pada pengkhianatan yang keji.
Paling tidak, ada beberapa pelajaran yang bisa diambil dari aktivitas bersolek dalam kehidupan, antara lain :
Pertama, Menampilkan kepalsuan. Sebab, penampilan yang direkayasa untuk menutupi kekurangan diri pada waktunya akan terbuka. Meski segelintirnya merubah bentuk jasmani yang diciptakan-Nya, tapi pada akhirnya akan terlihat jua. Meski hal ini jelas merupakan tindakan yang diharam-kan, tapi segelintirnya tetap melakukan-nya. Allah SWT mengingatkan melalui firman-Nya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (QS. al-Maidah : 87).
Sejak dulu, semua “kepalsuan” dilakukan untuk meningkatkan elektabiltas diri agar memperoleh penilaian positif dari pihak lain. Bersolek (make up) pada dimensi ini merupakan upaya berselindung untuk menutupi kelemahan diri yang sebenarnya, sembari menampilkan diri seakan sempurna. Padahal, semakin tebal “make up” yang ditempel, maka semakin banyak kelemahan ditutupi. Semakin tipis “make up” dipakai, semakin sedikit kelemahan dimiliki. Sungguh, kepalsuan pada umum-nya merupakan karakter tercela. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Mereka datang membawa bajunya (yang dilumuri) darah palsu…” (QS. Yusuf : 18).
Upaya mempersolek diri agar tampil seakan sempurna, acapkali dibantu para tenaga ahli (penata rias) dan juru foto yang mumpuni. Mereka membantu agar “wajah bopeng” yang ada terkesan mulus. Berbagai media digunakan. Namun “tak ada makan siang yang gratis”. Semua tergantung ketebalan pundi yang tersedia. Semakin berlipat pundi dimiliki, semakin berkualitas teknik make up dan edit foto dilakukan. Demikian pula sebaliknya.
Namun, kekuatan make up tak bertahan lama. Seiring panas matahari dan keringat yang bercucuran, semua polesan akan memudar. Ketika hal tersebut terjadi, maka wujud kualitas wajah dan karakter yang asli akan terlihat. Semua pada waktunya akan Allah pertontonkan sifat aslinya. Ketika hal tersebut terjadi, berbagai upaya “editan” tak lagi mampu menutupi keburuk-annya. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Semua wajah tertunduk di hadapan (Allah) Yang Maha Hidup lagi Maha Mengurus. Sungguh rugi orang yang membawa kezaliman” (QS. Thaha : 111).
Ketika Allah menampakan semua aib diri, semua tertunduk menyesali atas keingkar-an yang dilakukan. Semua tak mampu disangkal. Sebab, secara terang-terangan telah mempermainkan ayat-ayat Allah dan menginjak seruan Rasululullah. Apatahlagi di era destruksi digital, semua terlihat nyata. Bahkan, aktivitas beragama begitu dipertontonkan (riya’) secara fulgar dan glamour. Namun, semua sebatas upaya menutupi kesalahan diri yang sebenarnya. Padahal, prilaku ini telah diingatkan oleh Rasulullah melalui sabdanya :“Ada dua macam umatnya yang tidak akan men-dapatkan syafaat dariku, yaitu pemimpin yang zalim, dan orang yang bersikap berlebih-lebihan (dalam beragama)” (HR. ath-Thabrani).
Dalam kosakata Melayu, tampilan diri dan sifat kepalsuan diingatkan melalui ungkap-an, antara lain “telunjuk lurus kelingking berkait, bertanam tebu di bibir, lain di mulut lain di hati, atau musang berbulu domba”. Bahkan, kalanya untuk menutupi kejelekan sifatnya, acapkali nama Allah dan Rasulullah dibawa. Sifat manusia seperti ini secara tegas dinyata-kan Allah dalam firman-Nya : “Dan di antara manusia ada yang berkata, Kami beriman kepada Allah dan hari akhir, padahal sesungguh-nya mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman” (QS. al-Baqarah : 8).
Begitu jelas Allah mengingatkan, seiring begitu jelas pembangkangan dilakukan. Bahkan, kalanya dilakukan dengan penuh kesadaran dan terencana.
Kedua, Penampilan semi hakiki. Upaya “bersolek” dilakukan untuk menghadirkan energi positif (spirit) untuk memotivasi (sumber nilai) hidup lebih baik. Untuk itu, Islam tidak melarang berhias. Namun, ada beberapa batasan yang perlu diperhatikan antara lain ; bertujuan mulia, mengguna-kan bahan yang halal atau mendatangkan mudharat, tidak berhias dengan cara yang dilarang (menyambung rambut, tato, atau sejenisnya), tidak bertujuan maksiat (tabarruj), tidak menyerupai lawan jenis, tidak berlebihan (mubazir), operssi plastik, dan lainnya. Pelarangan ini pada prinsip-nya karena merubah ciptaan-Nya. Ketika hal tersebut dilakukan, berarti bentuk perbuatan kufur nikmat. Padahal, Allah menciptakan yang terbaik bagi hamba-Nya.
Ketiga, Penampilan hakiki hadir sebagai bentuk kesadaran yang terpancar pada karakter (watak) diri. Konsistensinya menghadirkan akhlaq al-karimah (adab). Tipe ini bersolek sebatas mengikuti akhlak yang diajarkan Rasulullah. Ia lebih fokus dan sibuk pada perbaikan adab diri, bukan asesories diri dan sibuk menilai orang lain.
Mungkin “bersolek” (make up) pada tipikal ke-3 yang patut dilakukan. Sementara tipe ke-1 (satu) dan ke-2 (dua) berkorelasi dengan kata elektabilitas yang belakangan trend digunakan. Bila kata elektabilitas dikaji, maka (mungkin) ia terdiri dari 2 (dua) suku kata, yaitu : elek (elekta) dan bilitas. Dalam bahasa Jawa, kata elek berarti jelek (buruk). Atau kata elekta dalam numerologi berarti orang yang magnetis, tapi sulit untuk amanah. Sedangkan kata bilitas adalah derajat kemudahan dicapai oleh orang terhadap suatu objek pelayanan ataupun lingkung-an. Mungkinkah elektabilitas menyamar-kan (menutupi) keburukan dengan ber-bagai pencitraan untuk menaikan tingkat derajat (popularitas) yang diinginkan. Atau tampil simpatik untuk menutupi kepura-puraan yang sebenarnya. Tapi, makna ini hanya sebatas imajiner penulis atas fenomena yang muncul. Tentu bukan bermaksud merubah makna elektabilitas yang sesungguhnya. Tapi, terkadang sebutan atau pilihan kata (tanpa disadari) hadir sebagai cermin diri yang sebenarnya dan sedang ditutupi tapi “menganga”.
Meski berbagai polesan dipakai untuk menutupi kekurangan diri dan tujuan tertentu, namun sifat dan kualitas manusia dapat dilihat ketika mereka bertemu. Isi dan pilihan topik yang dibicarakan tak mampu beriringan dengan polesan yang dilakukan. Kualitas ini berlaku secara umum, tanpa melihat status (ekonomi, politik, pendidikan, dan lainnya) yang disandang. Untuk itu, Socrates membagi kualitas manusia pada 3 (tiga) level, yaitu :
(1). Level atas. Bila level ini berkumpul, materi yang dibicarakan berkaitan tentang sejumpah ide baru, perkembangan ilmu, atau temuan baru (peradaban).
(2). Level menengah. Bila level ini ber-kumpul, materi yang dibicarakan berkaitan tentang peristiwa yang sudah dan sedang terjadi atau posisi dan prestasi yang diraih. Isu utama memperlihatkan kehebatannya.
(3). Level bawah. Bila level ini berkumpul, materi yang dibicarakan berkaitan tentang diri orang lain. Pada umumnya, topik yang dibicarakan berkaitan persoalan negatif (gosip) pada orang yang tak disenangi. Tujuannya agar orang yang dibicarakan menjadi hina di mata orang lain. Andai apa yang dibicarakan tak berhasil, ia akan berupaya membuat rekayasa dengan berita yang dikarangnya. Dalam Islam, bila yang dibicarakan benar dan sengaja membuka aib sesama, maka tergolong perbuatan ghibah. Andai yang disampai-kan salah, maka merupakan perbuatan menyebarkan fitnah. Kedua sifat level bawah ini sangat dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dinukilkan pada sabda Rasulullah. Dari Abu Hurairah RA, Nabi SAW bersabda : “Tahukah kamu, apa itu ghibah ?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Kemudian Beliau bersabda, “(ghibah yaitu) kamu membicarakan saudaramu atas hal-hal yang tidak disukainya (dibencinya).” Sahabat bertanya, “Lalu bagaimana jika apa yang aku bicarakan itu memang benar ada pada diri saudaraku ?” Rasulullah SAW berkata, “Jika apa yang kamu bicarakan itu memang ada pada diri saudaramu, maka kamu telah menggunjingnya. Dan jika yang kamu bicarakan itu tidak ada pada diri sau-daramu, maka kamu telah berbuat kedusta-an (fitnah) terhadapnya” (HR. Muslim).
Anehnya, meski hadis di atas begitu jelas, penyebar hoax, ghibah, dan fitnah selalu “bersolek” bak manusia sempurna dengan keshalehan dan intelektual kelas tinggi. Meski tanpa usul periksa dan tak faham persoalan, ia sebarkan kebencian melalui fitnah dan hoax . Sifat ini berpotensi dilakukan oleh semua manusia tanpa melihat strata (status) yang dimiliki. Sifat ini terlihat nyata dan cukup menyedihkan. Akibatnya, semakin sulit mencari “obor” menerangi kegelapan umat. Sebab, “obor” justeru yang membakar peradaban.
Rasulullah sangat mengecam penyebar fitnah. Hal ini sesuai sabdanya : “Barang siapa memfitnah saudaranya (dengan tujuan mencela dan menjatuhkan kehormatannya), maka Allah akan menahannya di jembatan neraka jahanam sampai ia bersih dari dosanya (dengan siksaan itu)” (HR. Abu Daud).
Di era digital, materi ghibah, flexing, dan fitnah begitu menarik, subur, dan kalanya menjanjikan pundi. Seakan, model ini menjadi pilihan hobi yang menghadirkan kepuasan, apalagi bila mampu membuka atau menciptakan aib sesamanya. Kesibukan ini membuat para penyebar ghibah dan fitnah lupa menutup aibnya yang sebenarnya begitu membusuk.
Anehnya, meski dunia semakin maju dan intelektual tumbuh menjamur, tapi karakter dan adab manusia justru semakin mundur. Segelintirnya lebih tertarik terhadap isu hoax, flexing status, ghibah, dan membuat fitnah, ketimbang mengkaji atau berbagi ilmu (kebenaran) untuk mengajak pada kebaikan. Mungkin demikian gerak terbalik sifat dan prilaku manusia akhir zaman. Interaksi yang tampil penuh kemunafikan. Semua begitu nyata berbeda antara dunia nyata yang seakan beradab dan di dunia maya yang terkesan tanpa adab. Begitu indah Allah membuka sifat hamba-Nya.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 30 September 2024